Ketika Hugo Rafael Chavez Friaz dari partai sayap kiri menjadi pemimpin Revolusi Bolivari pada tahun 1999, dan dipilih oleh rakyat menjadi Presiden Venezuela, mungkin banyak pihak di kawasan Amerika Latin dan wilayah lain di dunia tidak akan menyangka bahwa pemimpin karismatik Amerika Latin ini mampu menghadirkan perubahan besar di negara Venezuela. Revolusi Bolivari dirintis oleh Simon Bolivar, seorang pemimpin revolusi di abad ke-19.
Chavez terpilih sebagai Presiden Venezuela pada 6 Desember 1998 dan resmi bertugas pada 2 Februari 1999. Selama empat kali berturut-turut Chavez terpiih sebagai presiden. Pada era kepemimpin Chavez, selain reformasi politik penting, Chavez mampu menghadirkan perubahan siginifikan di sektor ekonomi. Banyak program ekonominya yang direalisasikan dan akibatnya kesejahteraan rakyat Venezuela meningkat. Mungkin yang paling menonjol dari seluruh upaya Chavez di bidang ekonomi adalah keberhasilannya mereduksi jurang perbedaan antara kaya dan miskin.
Termasuk di antara reformasi struktur ekonomi Venezuela oleh Chavez adalah nasionalisasi industri-industri yang mendatangkan keuntungan besar, mereduksi pengaruh perusahaan multi-nasional dan pembatasan aktivitasnya, serta pelimpahannya kepada negara.
Meski antara tahun 1999 hingga 2004, pertumbuhan ekonomi Venezuela turun hingga 1,2 persen akan tetapi Chavez mampu mendongkrak kembali pertumbuhan ekonomi negaranya dengan merevisi kebijakan ekonomi di bidang industri minyak. Sehingga pada tahun 2004 angka pertumbuhan ekonomi Venezuela meningkat hingga 18 persen.
Akan tetapi Venezuela dan Chavez didera berbagai masalah yang sebagian besarnya datang dari jirannya dari utara yakni Amerika Serikat. Dalam beberapa tahun terakhir, Paman Sam merasa pengaruh dan kepentingannya terancam menyusul kebangkitan pemerintahan-pemerintahan populis mulai dari Venezuela, Bolivia dan Ekuador. AS berusaha menggerogoti pemerintahan tersebut dan aksi paling anyar Washington dalam hal ini adalah upaya kudeta terhadap pemerintahan Chavez pada tahun 2002. Gedung Putih menggunakan pionnya di Venezuela yaitu Enrique Capriles, seorang tokoh oposisi.
Amerika Serikat melindungi Capriles di Washington dan pada hari-hari terakhir sebelum Chavez meninggal, dua pejabat militer Amerika Serikat yang bertugas di Kedutaan Besar AS di Caracas diusir karena mencampuri urusan dalam negeri Venezuela. Hal ini jelas membuktikan bahwa AS telah mempersiapkan program-program khusus untuk Venezuela pasca Chavez.
Salah satu kebijakan Chavez yang membakar jenggot Paman Sam adalah peningkatan kerjasama Venezuela dengan Republik Islam Iran. Kesamaan perspektif anti-hegemoni melandasi kerjasama harmonis kedua pihak. Hal ini dapat dilihat dari tingginya volume kunjungan para pejabat tinggi kedua negara.
Selama itu, Chavez telah lima kali berkunjung ke Tehran dan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad juga enam kali berkunjung ke Tehran. Bahkan sejumlah media massa menyebut Chavez dan Ahmadinejad sebagai "dua icon anti-imperialisme".
Ahmadinejad dua kali terpilih sebagai Presiden Iran dan selama itu kerjasama Tehran dan Caracas di bidang perdagangan, energi dan pertahanan meningkat tajam. Fenomena ini tentunya mengusik ketenangan Amerika Serikat sampai-sampai Hillary Clinton, mantan menlu AS, menggunakan istilah "peningkatan hubungan yang sangat mengkhawatirkan."
Namun pada akhirnya, Chavez, sang pemimpin karismatik di Amerika Latin itu meninggal dunia ketika negaranya telah berubah menjadi negara independen dengan kebijakan-kebijakan anti-imperialis yang justru mampu tampil sebagai kekuatan ekonomi baru. Pada era pemerintahannya, Chavez mampu mengeksplorasi potensi-potensi besar Venezuela dan mengembangkannya. Dan selain menjadi simbol keberhasilan Revolusi Bolivari, sepeninggal Chavez, Venezuela diprediksi tetap mampu melanjutkan perannya sebagai pemimpin gerakan revolusi di Amerika Latin menentang hegemoni dan imperialisme kaum durjana.(IRIB Indonesia/MZ)