LONDON (SuaraMedia News) – Soha Sheikh, seorang warga muda London, mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara menjadi orang Inggris dengan mengenakan jilbab, sebuah aturan berpakaian yang diwajibkan dalam Islam.
“Saya rasa jilbab adalah gambaran tentang ke-Inggris-an,” ujar asisten pustakawan berusia 25 tahun yang memegang gelar dalam bidang studi media ini kepada The Independen, Rabu 13 Januari waktu setempat.
Sheikh, yang telah mengenakan jilbab sejak bersuia 12 tahun, mengatakan bahwa jilbab merupakan bentuk konkrit dari esensi multibudaya Inggris, rumah bagi dua juta Muslim.
“Kau tidak harus selalu menyesuaikan dengan stereotype atau gaya berbusana tertentu,” ujarnya.
“Jika kau menyingkirkan perbedaan ini, maka tempat ini bukan Inggris.”
Ia mengakui bahwa banyak sesama warga Inggris yang tidak memiliki pandangan sama dengan dirinya mengenai jilbab.
“Ketika kita berbicara mengenai jilbab, hal pertama yang muncul ke dalam pikiran banyak orang adalah “wanita yang tertindas”. Sulit bagi beberapa orang untuk menerima bahwa ini adalah simbol pembebasan,” ujarnya.
“Jilbab bukan tanda pemisahan.”
Islam melihat jilbab sebagai sebuah tata busana wajib, bukan simbol relijius yang memperlihatkan afiliasi seseorang.
Rajnaara Akhtar, yang tumbuh besar di dalam keluarga dengan ketujuh saudaranya semua mengenakan jilbab, sependapat bahwa pandangan publik mengenai jilbab biasanya tidak disertai dengan informasi yang cukup.
“Dengan jilbab di Eropa ada kesalahpahaman besar mengenai apa itu dan apa yang diwakilinya,” ujarnya.
“Meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk melawan stereotype ini, saya rasa pendapat bahwa wanita berjilbab adalah wanita yang tertindas, atau dipaksa untuk mengenakan pakaian jaman kuno, masih sangat lazim.”
Meski demikian, wanita Muslim berusia 31 tahun ini bersikukuh bahwa sudut pandang stereotype mengenai jilbab tidak berujung pada diskriminasi seperti yang terjadi di banyak negara-negara Eropa lainnya.
“Di Inggris, saya pikir jilbab sendiri tidak terlalu dipertanyakan karena diterima di dalam masyarakat.”
Banyak banyak wanita Muslim Inggris, keputusan mengenakan jilbab membawa mereka ke jalan yang berbeda.
“Wanita Muslim mengenakan jilbab untuk banyak alasan, termasuk ketaatan, identitas, dan bahkan pernyataan politik,” ujar Tahmina Saleem, rekan pendiri Inspire, sebuah konsultasi yang membantu wanita Muslim menjadi anggota aktif di komunitasnya.
Bagi Sheikh, sang asisten pustakawan, perasaan menjadi seorang Muslim yang berkembang selama perjalanannya ke Pakistan, tanah airnya, adalah yang memotivasi wanita ini memutuskan memakai jilbab.
“Saya paham bahwa ini adalah sesuatu yang ada dalam agama kami. Semua orang di sekitar saya semuanya memakai jilbab,” kenangnya.
“Ini adalah pilihan saya sendiri.”
Namun setelah beberapa lama, ia mulai menerima jilbabnya dengan perasaan bersatu dengan Muslim lain.
“Ada tingkat persatuan tertentu yang kau rasakan dengan wanita-wanita lain yang berjilbab, bahkan jika kau tidak mengenal mereka,” ujarnya.
“Mereka seringkali tersenyum pada saya di jalan dan mengucapkan salam.”
Shelina Zahra Janmohamed, 34, pertama kali mengenakan jilbab ketika berusia 13 tahun.
“Tapi saya tidak mengenakannya sepanjang waktu.”
“Saya tidak mengenakannya di sekolah, atau di tempat-tempat lain, dan saya membenarkannya terhadap diri saya sendiri dan orangtua saya,” ujarnya.
“Saya juga ingin memisahkan kehidupan di sekolah dan di rumah. Sebagai seorang remaja, saya tidak tahu bagaimana mengintegrasikan komponen-komponen ini.”
Namun ketika ia mulai masuk kuliah di Universitas Oxford tahun 1992, Janmohamed mulai memakai jilbab sepanjang waktu.
“Saya merasa sangat nyaman mengenakannya dan orang-orang juga menerima.”
Janmohamed, penulis buku “Love in a Headscarf”, mengatakan bahwa semakin banyak ia membaca tentang jilbab semakin ia merasa yakin bahwa itu adalah bagian dari identitasnya. (rin/io) www.suaramedia.com