13 Mar 2011

Terobosan Media Sosial di Dunia Arab

Image"Kalian tidak mengerti apa-apa! Jangan sok patriotis! Saya seorang patriot yang lebih baik dari kalian semua! Saya pergi perang dan bertempur!"


Demikian Perdana Menteri Mesir Ahmed Shafiq yang kehilangan kesabaran dalam sebuah siaran langsung televisi dua minggu lalu. Hari berikutnya dia mengundurkan diri. Di Mesir yang baru, sebuah acara bincang-bincang bisa menjatuhkan seorang perdana menteri. Laporan John Tyler.


Sosial media mungkin telah memainkan peran sentral dalam pemberontakan di Tunisia dan Mesir, tetapi media mainstream (arus utama, red.) di dunia Arab juga semakin penting.


Situasi ini berbeda untuk setiap negara, tetapi kecenderungannya adalah: tekanan publik akhirnya menghasilkan lebih banyak kebebasan berekspresi di media Arab.


Perkembangan terbesar terjadi di dua negara dimana pemberontakan berhasil menggulingkan rejim, yaitu Mesir dan Tunisia. Lanskap media di kedua negara ini sekarang berada dalam keadaan mengambang, terutama di Mesir.


Marianne Nagui dari Free Voice, yayasan Belanda yang mempromosikan independensi media di Timur Tengah dan di kawasan lain mengatakan, Mesir berada dalam pergolakan. "Kita hidup di awal kebangkitan revolusi, dan itu sangat kacau, dan sangat, sangat tidak teratur." Semua media, baik koran, televisi, atau media sosial, mengabarkan apa pun yang mereka suka, dan mengkritik siapa pun yang mereka mau. Hal ini bisa bikin kebablasan, kata ibu Nagui.


Resminya, yang berwenang mengambil pendekatan lepas tangan, tapi badan intelijen tetap aktif di bawah radar. Ini bisa menyulitkan wartawan untuk tahu apa yang boleh atau tidak boleh mereka liput.


Sameh Saeed menjalankan sebuah platform online yang disebut Huquq, yang mempekerjakan lebih dari 20 wartawan. Dia mengatakan intimidasi mulai sering terjadi, tetapi tidak selalu jelas siapa yang berada di balik itu. Dia menggambarkan insiden baru-baru ini yang dicurigai diperintahkan oleh militer. Seorang awak film dokumenter sedang merekam demonstrasi di luar bekas kementerian informasi ketika beberapa orang berpakaian preman menyuruh mereka berhenti. Kamera mereka disita, dan Mr Saeed menghabiskan satu jam setengah bernegosiasi secara hati-hati dengan sekelompok orang bersenjata sebelum para wartawan berhasil lolos.


Pemerintah mendapat tekanan untuk melonggarkan pembatasan pers di negara-negara lain juga. Wartawan televisi dan koran pemerintah berdemonstrasi di Yordania minggu lalu, suatu tindakan tak terpikirkan tiga bulan yang lalu. Yaman mengumumkan undang-undang media baru yang lebih liberal - meskipun kritikus mengatakan itu cuma topeng, menutupi pemerintah yang bakal terus menekan kebebasan berekspresi.


Pembatasan media tetap terjadi di Maroko, namun Raja Mohammed VI telah mengumumkan rencana mengadakan referendum tentang perubahan konstitusi. Aboubakr Jamai, seorang wartawan Maroko yang mendirikan Le Journal di tahun 1990-an, mengatakan ini persis apa yang diserukan oposisi.


Mr Jamai tidak peduli kemungkinan tindakan keras atas wartawan. "Domestikasi pers telah mencapai puncaknya. Keadaan tidak bisa lebih buruk lagi." Sebaliknya saat ini segala sesuatu terjadi di Facebook, katanya. "Jika Anda seorang jurnalis dan Anda ingin meliput protes pada tanggal 20 Februari, atau seruan protes tanggal 20 Maret, Anda harus berada di laman Facebook yang tepat. Jangan buang waktu Anda di tempat lain."


Bahkan negara-negara garis keras seperti Suriah dan Arab Saudi tidak kebal terhadap semangat zaman. Di Suriah, larangan atas Facebook dicabut. Media sosial juga menerobos hingga ke Arab Saudi. Namun, menyimpang dari trend keterbukaan yang marak sekarang, pemerintah Irak bereaksi atas protes Jumat mingguan dengan menindak pers.


Sementara Libia tetap jadi sorotan saat ini. Stasiun televisi satelit al-Jazeera dan al-Arabiya punya peran sendiri: menjadi satu-satunya sumber berita non-pemerintah bagi sebagian besar Libia.


Idris Ibnu Tayeb, penulis Libya terkenal yang sudah lama mengkritik rezim Gaddafi, mengatakan perubahan terjadi di bagian timur negara itu. Bicara dari rumahnya di Benghazi, Bapak Ibnu Tayeb mengatakan wartawan di sana menerbitkan surat kabar pendek dengan berita pertempuran dan pengumuman. Radio Free Libya sekarang memancarkan siaran gelombang tengah dari Benghazi yang mencapai hingga ke bagian barat negara itu, dan televisi Radio Free Libya akan segera mengudara.


Tetapi bahkan ketika pertempuran berhenti pun, masih banyak yang harus dikejar, demikian Ibnu Tayeb. Sedikit sekali pembangunan dalam hal institusi, termasuk media." Selama 42 tahun pemerintahan Gaddafi, kami bergulat dengan ketiadaan."


Berkat al-Jazeera, Libya mampu mengikuti pengunduran diri Perdana Menteri Mesir Ahmed Shafiq. Shafiq adalah personifikasi kekuatan media yang baru ditemukan media di dunia Arab. Dan walaupun Shafiq jatuh setelah tampil di format tradisional, pengunduran dirinya justru menunjukkan sejauh mana media baru merambah dunia Arab. Dewan Tertinggi Militer yang memerintah Mesir mengumumkan pengunduran diri Shafiq, di mana lagi kalau bukan di Facebook.(rnw)

Artikel Terkait

- Reviewer: Asih - ItemReviewed: Terobosan Media Sosial di Dunia Arab Deskripsi: "Kalian tidak mengerti apa-apa! Jangan sok patriotis! Saya seorang patriot yang lebih baik dari kalian semua! Saya pergi perang dan ber... Rating: 4.5
◄ Newer Post Older Post ►