Putra pemimpin Libya Moammar Khadafy, Saif al-Islam, menilai Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah melakukan operasi kontraproduktif di Libya. Libya memang butuh ”darah baru” untuk masa depannya, tetapi konyol jika Barat dan oposisi menginginkan ayahnya turun.
Pernyataan Saif itu dirilis televisi BFM, Perancis, Senin (11/4) di Paris. Tayangan itu adalah hasil wawancara wartawan televisi dengan Saif, akhir pekan lalu.
Menurut Saif, ayahnya ingin mendorong elite baru pemuda untuk memerintah dan mengelola urusan domestik Libya. ”Kami ingin darah baru. Itulah yang kami inginkan untuk masa depan Libya. Namun, berbicara tentang (Khadafy) harus turun, itu benar-benar konyol,” kata Saif.
Barat seharusnya bekerja sama dengan pemerintah demi mewujudkan demokrasi di Libya. ”Jika Barat ingin demokrasi, konstitusi baru, pemilihan umum, kami setuju. Barat harus membantu kami menciptakan iklim yang baik. Barat malah melakukan sebaliknya dengan mengebom kami, sebuah dukungan bagi pemberontak. Semua itu sangat kontraproduktif,” ujarnya.
Putra Khadafy berpendidikan Barat ini mengatakan, meskipun ayahnya turun, krisis Libya tidak otomatis akan reda. ”Lengsernya Khadafy tidak akan mengubah apa-apa karena rakyat tak menghendaki para teroris memerintah Libya,” katanya.
”Pertanyaannya adalah bagaimana menyingkirkan militan bersenjata ini? Milisi tidak boleh memerintah,” ujar Saif.
Dengan demikian, upaya Uni Afrika mencari solusi damai guna mengakhiri krisis pun mentah lagi. Rezim menolak opsi agar Khadafy turun dan meninggalkan negerinya.
Di lain pihak, oposisi juga menolak opsi negosiasi dan menuntut Khadafy menyerahkan kekuasaannya. Oposisi, Senin di Misrata, menyindir laporan yang menyebutkan Khadafy bersedia melakukan gencatan senjata.
Mantan Menteri Luar Negeri Libya Moussa Koussa, yang berada di Inggris setelah membelot, mengatakan, Libya bisa menjadi ”Somalia baru”, terutama jika perang tidak segera berakhir. ”Ini dapat menyebabkan pertumpahan darah yang banyak. Libya bisa menjadi Somalia baru. Kami menolak Libya pecah,” katanya.
Tidak berbuat banyak
Menteri Luar Negeri Perancis Alain Juppe, Selasa, mengatakan, NATO ”tidak cukup” bertindak untuk merobohkan loyalis Khadafy yang telah menyerang rakyat sipil. Dia mengatakan, NATO harus menghancurkan senjata Khadafy yang telah menyasar warga di Misrata.
NATO harus memainkan perannya secara maksimal. Dia juga mendesak Uni Eropa mengirim lebih banyak bantuan kemanusiaan ke Misrata. Kota ketiga terbesar di Libya ini menjadi medan tempur paling sengit yang melibatkan loyalis, oposisi, dan NATO. Khadafy tetap unggul.
Selasa, loyalis juga menyerang Ajdabiya. Tujuh oposan tewas dan sejumlah oposan lainnya terluka sehingga dilarikan ke rumah sakit. Seorang oposan, Alaa Abdeljalil (35), mengatakan, para korban tewas akibat serangan roket loyalis Khadafy.
Stasiun televisi Libya melaporkan, serangan NATO di Kikla, kota di selatan Tripoli, hari Selasa menewaskan sejumlah warga sipil dan polisi. Organisasi Internasional untuk Pengungsi (IOM) mengatakan, Misrata dalam kondisi prihatin. Sebuah kapal bantuan kemanusiaan dari Italia sedang menuju Libya.
sumber: kompascetak