10 May 2010

Mempertanyakan Kebijakan Penyelamatan Bank Century

ImageSenin (2/11) siang itu matahari tepat di atas kepala. Namun, sengatan panasnya matahari tidak menyurutkan niat ribuan orang untuk menyuarakan pendapatnya di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Salah satu tuntutan utama mereka adalah penangguhan penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sedang menyelidiki kasus pengambilalihan Bank Century kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mereka juga ingin Bibit dan Chandra sekaligus dibebaskan dari segala tuntutan yang kurang berdasar.



Selain aksi di Bundaran HI tersebut, aksi di dunia maya juga tidak kalah dahsyatnya. Melalui jejaring sosial Facebook, menjelang dini hari Sabtu (7/11), jumlah pendukung pimpinan nonaktif KPK yang telah ditangguhkan penahanannya oleh polisi tersebut menembus angka 1.000.000. Sungguh fenomenal. Teknologi informasi telah menjadi bagian integral dari perjalanan demokrasi di Indonesia. Selain jejaring maya yang satu ini, masih banyak dukungan lain di berbagai jejaring sosial ini. Hampir 100% publik mendukung Bibit–Chandra yang berarti juga mendukung pemberantasan korupsi, yang salah satunya diduga ada pada kasus pengambilalihan Bank Century.



Dalam posisi seperti ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang mengambil posisi mengamankan citra baiknya, justru menjadi bagian dari kritik tersebut. “Mungkin SBY biang dari kekisruhan yang sedang terjadi,” tulis seseorang di status jejaring sosialnya. Kekecewaan ini akhirnya berimbas pula pada persepsi publik terhadap SBY. Berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) selama rentang waktu 26/10 sampai 4/11, kepercayaan publik kepada SBY turun menjadi hanya 53,85%. Kepercayaan ini melorot drastis dibandingkan perolehan suara SBY–Boediono dalam pemilihan presiden (pilpres) lalu yang lebih dari 60%.



Menurut Deny JA, direktur eksekutif LSI, salah satu alasan utama publik dalam menilai SBY tersebut adalah “beredarnya rumor kuat di masyarakat bahwa serangkaian kejadian yang terjadi sekarang diakibatkan KPK sedang mengusut kasus Bank Century yang dananya diduga juga mengalir ke rekening tim sukses SBY–Boediono pada pilpres lalu.” Dengan kesimpang-siuran berita ini, publik berkeyakinan bahwa SBY yang kurang membela KPK memang dikarenakan adanya agenda khusus.



Melihat perkembangan bola liar kasus ini, maka Fraksi PDI-P di DPR secara tegas menyatakan akan menggunakan hak angketnya guna menuntaskan penggunaan dana rakyat untuk pengambilalihan bank yang pangsa pasarnya cukup kecil itu. Maruarar Sirait, anggota Fraksi PDI-P, dengan lantang mengatakan, “Tujuan kami hanya satu, membongkar kasus Bank Century sampai tuntas."



Langkah Fraksi PDI-P yang menggulirkan hak angket Bank Century itu juga akan diikuti oleh mayoritas fraksi yang ada di parlemen. Pada pertengahan minggu kedua November, beberapa fraksi di DPR akan mengajukan hak angket tersebut. Dengan berbagai perkembangan ini, titik api kasus Bank Century yang disulut setahun silam belum akan redup, bahkan kian terus membesar.


 


Kinerja Bank Century



Secara umum, berdasarkan pengamatan dan analisis Warta Ekonomi, kinerja keuangan Bank Century (BC) mengalami perubahan drastis selama rentang waktu triwulan III-2008 sampai triwulan IV-2008. Total aset bank yang merupakan gabungan dari Bank CIC Tbk., Bank Danpac Tbk., dan Bank Pikko Tbk. itu per 31 Desember 2008 tinggal Rp5,6 triliun. Padahal, pada tanggal yang sama setahun sebelumnya, total kekayaan BC masih sebesar Rp14,3 triliun. Bahkan tiga bulan sebelumnya, total aktiva BC masih Rp15,2 triliun atau menurun sekitar 65% selama 90 hari.



Perubahan drastis ini, dari sisi aktiva, disebabkan oleh menurunnya hampir semua kinerja. Giro pada Bank Indonesia (BI) yang tiga bulan sebelumnya masih sebesar Rp901 miliar, pada akhir 2008 tinggal Rp341 miliar. Giro pada bank lain, penempatan pada bank lain, dan efek-efek menurun drastis tinggal sebesar Rp12 miliar, Rp220 miliar, dan Rp692 miliar. Kinerja kredit juga terimbas, yakni tinggal Rp3,5 triliun.



Khusus terkait dengan giro pada BI inilah yang menjadi satu alasan yang digunakan oleh Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dalam mengambil alih BC ke LPS. Dalam periode ini, giro wajib minimum (GWM) yang dimiliki BC lebih rendah dari ketentuan yang ditetapkan BI, sehingga proses kliring BC dihentikan oleh BI. Lebih lanjut, dalam kaitan ini, BI juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/25/PBI/2008 yang menggantikan PBI No. 10/19/PBI/2008 yang intinya mengakomodasi kinerja keuangan BC.



Berdasarkan peraturan ini, GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar 7,5% dari DPK rupiah dan 1% dari DPK mata uang asing. Dengan ketentuan ini, kinerja keuangan BC yang memburuk dapat dihindarkan. Sementara itu, dari sisi kewajiban dan ekuitas, terlihat bahwa penurunan terbesar terjadi pada kegiatan yang berhubungan dengan pihak lain. Simpanan nasabah dari pihak ketiga menurun drastis dari Rp10,9 triliun menjadi Rp5,1 triliun. Simpanan dari bank lain dan kewajiban akseptasi menurun jadi tinggal Rp284 miliar dan Rp293 miliar. Padahal tiga bulan sebelumnya masih sebesar Rp1,1 triliun dan Rp1,7 triliun.



Selain itu, sampai dengan akhir 2008, uang negara yang digunakan untuk mengambil alih BC sudah sebesar Rp4,9 triliun. Pada periode ini, uang rakyat tersebut ekuivalen dengan 89% aset BC. Dari sisi kinerja keuangan yang tercermin dari laba rugi, terlihat bahwa disebabkan turunnya pendapatan bunga dan adanya biaya untuk penyisihan kerugian aset produktif sebesar Rp6,6 triliun, maka sampai akhir 2008 BC membukukan rugi bersih Rp7,3 triliun. Kerugian ini setara dengan 130% dari total aset BC (lihat, boks “Kinerja Keuangan Bank Century”).


 


Perppu JPSK



Pengambilalihan BC oleh LPS pada awalnya disinyalir akibat terbatasnya pendanaan awal (prefund) BC yang harus disetorkan ke BI pada 13 November setahun silam. Namun, dalam perjalanannya, masalah likuiditas ini terus berlanjut, bahkan kian akut, di mana dana nasabah mengalami penurunan cukup drastis. Kondisi ini berlanjut pada menurunnya rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio, CAR). Berdasarkan penilaian BI seperti yang tercantum dalam catatan atas laporan keuangan Bank Mutiara, CAR BC pada saat diambil alih oleh LPS negatif 35,92%.



Dengan perkembangan ini, maka beberapa PBI diintrodusir oleh BI supaya penyelamatan BC dapat dilakukan. Berdasarkan hasil 70% audit BPK terhadap BC tersebut, setidaknya ada dua PBI yang diubah. Misalnya, PBI tentang syarat minimal CAR perbankan yang layak mendapat Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Secara khusus, Fauzi Ichsan, chief economist Standard Chartered Bank Indonesia, juga mengatakan, “Bank Century banyak melakukan pelanggaran, tetapi tidak pernah diberi sanksi.”



Lebih lanjut, pada PBI semula, ditetapkan bank yang berhak mendapatkan fasilitas tersebut harus memiliki CAR minimal 8%. Namun, setelah keluarnya PBI tersebut, syarat minimal CAR diubah menjadi minimal positif. Pada saat itu, berdasarkan penilaian BI, CAR BC masih sebesar 2,35%, sehingga layak mendapatkan fasilitas pendanaan sebesar Rp689,39 miliar (lihat juga, boks “Rasio Kecukupan Modal Bank Century”).



Meski demikian, pendanaan yang diberikan kepada BC tidak kunjung memberikan hasil. Bahkan, dalam penilaian KSSK, kondisi BC kian memburuk. Berpijak pada kondisi ini secara khusus serta kondisi perekonomian Indonesia dan dunia yang sedang tertimpa krisis, maka KSSK melakukan rapat maraton pada 20 dan 21 November 2008.



Pada periode tersebut, kondisi makroekonomi Indonesia dan, terutama, dunia memang sedang labil. Di dalam negeri, beberapa kali Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan suspend (penghentian sementara) atas perdagangan saham karena anjloknya harga saham secara drastis. Kinerja ekspor juga tertekan akibat berkurangnya permintaan di negara-negara yang terkena krisis. Selain beberapa indikator tersebut, rupiah, yang terkait langsung dengan sistem perbankan, juga mengalami pelemahan yang cukup dalam.



Fakta empiris domestik yang didukung buramnya perekonomian global itulah yang diduga memengaruhi psikologi KSSK yang melakukan rapat secara terus-menerus. Mereka memiliki kekhawatiran yang besar akan berulangnya krisis 1998 yang juga akibat krisis perbankan.



Dari serangkaian rapat ini, KSSK akhirnya menyimpulkan bahwa BC sebagai bank gagal. Kesimpulan ini terutama didasarkan atas rasio kecukupan modal BC yang sangat buruk. Langkah berikutnya yang harus diambil oleh KSSK atas kesimpulan ini adalah mengambil alih BC oleh negara, dalam hal ini oleh LPS.



Berdasarkan argumentasi yang dikeluarkan oleh anggota KSSK, landasan hukum pengambilalihan BC oleh LPS adalah UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Terkait masalah ini, Firdaus Djaelani, kepala eksekutif LPS, menuturkan, “Berdasarkan UU LPS, LPS adalah sebagai pemegang saham sementara. Tiga tahun setelah pengambilalihan, bank tersebut harus dijual secara optimal. Namun, jika selama tiga tahun tersebut tidak bisa terjual, diberi waktu lagi maksimal lima tahun.”



Melihat landasan hukum ini, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang diundangkan pada 15 Oktober 2008 secara tersirat tidak digunakan sebagai landasan hukum pengambilalihan BC tersebut. Meski demikian, Perppu JPSK tersebut digunakan sebagai pijakan teoretis atas pengambilalihan BC oleh LPS. Hal ini terlihat dari desain besar yang disediakan dalam konsep JPSK yang diadopsi dari the best practice sistem keuangan di berbagai negara maju. Dalam naskah akademik JPSK yang dianalisis oleh Warta Ekonomi terlihat bahwa ada lima komponen besar yang harus disediakan oleh negara dalam sistem keuangan negara yang aman.



Kelima komponen itu adalah (i) adanya mekanisme lender of last resort dalam kondisi normal; (ii) adanya mekanisme pemberian fasilitas pembiayaan darurat (FPD); (iii) adanya sistem penjaminan simpanan; (iv) adanya regulasi permodalan perbankan; dan (v) adanya prosedur penyelamatan (bailout) atau likuidasi perbankan bermasalah.


 


Benarkah Sistemik?



Apabila disarikan dalam sebuah konsep khusus, dampak sistemik suatu bank berdasarkan desain JPSK yang disusun oleh pemerintah memiliki arti bahwa bank tersebut memiliki kaitan besar secara langsung dengan berbagai institusi keuangan lain, sehingga masalah yang terjadi akan menular ke perbankan lain dan bahkan perekonomian nasional. Untuk melihat apakah benar jika bank yang telah berganti nama menjadi Bank Mutiara tersebut dibiarkan tutup akan memberi dampak sistemik, Warta Ekonomi melakukan analisis khusus.



Sebelum masuk ke analisis lebih jauh, BC sendiri bukanlah bank yang memiliki pangsa pasar dominan. Sampai dengan akhir September 2008 (sebelum diambil alih oleh LPS), total aset BC yang sebesar Rp15,23 triliun hanya 0,7% dari total aset bank umum di Indonesia yang sebesar Rp2.125 triliun. Simpanan nasabah BC yang sebanyak Rp10,96 triliun hanya 0,6% dari total DPK bank umum yang sebesar Rp1.603 triliun. LDR BC yang sebesar Rp5,2 triliun hanya 1,2% dari total kredit bank umum yang sebanyak Rp440 triliun.



Lebih lanjut, berdasarkan laporan keuangan BC triwulan III yang dilaporkan ke BEI sebagai pengelola bursa di Indonesia dan Bapepam LK sebagai pengawas perusahaan yang listed, terlihat bahwa rekening yang terkait dengan institusi keuangan lain adalah di sisi aktiva (i) giro pada bank lain; (ii) penempatan pada BI dan bank lain; (iii) efek-efek; dan (iv) tagihan akseptasi; sisi pasiva (v) simpanan dari bank lain; dan (vi) kewajiban akseptasi.



Secara terperinci, giro BC pada bank lain yang sebesar Rp256 miliar terdiri atas Rp10,5 miliar (4%) berupa mata uang rupiah dan Rp245,5 miliar (96%) berupa mata uang asing (terutama dolar AS). Rincian ini juga sebagai posisi perbankan lain, di mana penempatan dana 4% merupakan perbankan dalam negeri. Sisanya, yang mendapatkan giro dengan mata uang asing, merupakan perbankan asing.



Penempatan pada BI dan bank lain yang sebesar Rp1,54 triliun terdiri atas mata uang rupiah sebesar Rp597 miliar (38,64%) dan Rp968 miliar (61,36%) berupa mata utang asing. Sama halnya dengan pola giro pada bank lain, rekening ini sebagian besar juga berada pada perbankan asing.



Efek-efek BC yang sebesar Rp3,8 triliun semuanya merupakan efek yang dimiliki sampai jatuh tempo. Berdasarkan jenis efek, sebesar Rp724 miliar merupakan efek dengan mata uang rupiah dan Rp3,14 triliun berupa efek mata uang asing. Walaupun secara proporsional berisiko karena tergantung pada mata uang lain, tetapi melihat struktur efek yang semuanya efek jangka panjang, maka tidak memengaruhi lembaga keuangan lainnya.



Tagihan akseptasi yang merupakan nilai letter of credit (L/C) atau nilai L/C yang diaksep oleh perbankan sebesar Rp1,66 triliun. Sebagian besar tagihan ini memang berada di dalam negeri dan berupa mata uang asing.



Simpanan dari bank lain yang sebesar Rp1,06 triliun sebagian besar merupakan simpanan dalam bentuk mata uang asing (Rp1,06 triliun). Terakhir, kewajiban akseptasi memiliki pola yang sama persis dengan tagihan akseptasi, yakni berada di dalam negeri dan berupa mata uang asing.



Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa walaupun sebagian besar rekening BC yang terkait dengan lembaga keuangan lain berupa mata uang asing, tetapi oleh karena lembaga keuangan terkait itu ada di luar negeri, maka kinerja BC tidak memberikan dampak besar bagi sistem keuangan sekaligus perekonomian domestik. Selain itu, secara agregat dikarenakan pangsa pasar BC yang sangat rendah, membuat penutupan BC tidak akan berdampak sistemik.


 


 


Boks:


 


Kronologi Kasus Bank Century


 


2003


PT Bank CIC Tbk. diketahui didera masalah yang diindikasikan dengan adanya surat-surat berharga valuta asing sekitar Rp2 triliun, yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit dijual. Bank Indonesia (BI) menyarankan merger untuk mengatasi ketidakberesan bank ini.


 


2004


PT Bank CIC Tbk. dimerger bersama PT Bank Danpac Tbk. serta PT Bank Pikko Tbk. dan kemudian berganti nama menjadi PT Bank Century Tbk. Surat-surat berharga valas terus bercokol di neraca bank hasil merger ini. BI menginstruksikan agar surat-surat berharga tersebut dijual, tetapi tidak dilakukan oleh pemegang saham. Pemegang saham membuat perjanjian untuk mengganti surat-surat berharga itu dengan deposito di Bank Dresdner, Swiss, yang belakangan ternyata sulit ditagih.


 


2005


BI mendeteksi surat-surat berharga valas di Bank Century sebesar US$210 juta.


 


30 Oktober dan 3 November 2008


Sebanyak US$56 juta surat-surat berharga valas jatuh tempo dan gagal bayar. Bank Century kesulitan likuiditas. Posisi CAR Bank Century per 31 Oktober minus 3,53%.


 


13 November 2008


Bank Century gagal kliring karena gagal menyediakan dana (prefund).


 


17 November 2008


Antaboga Delta Sekuritas yang dimiliki Robert Tantular mulai default membayar kewajiban atas produk discretionary fund yang dijual Bank Century sejak akhir 2007.



20 November 2008


BI mengirim surat kepada Menteri Keuangan yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan mengusulkan langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Di hari yang sama, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang beranggotakan BI, Menteri Keuangan, dan LPS, melakukan rapat.


 


21 November 2008


Bank Century diambil alih LPS berdasarkan keputusan KKSK dengan surat Nomor 04.KKSK.03/2008. Robert Tantular, salah satu pemegang saham Bank Century, bersama tujuh pengurus lainnya dicekal. Pemilik lain, Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al-Warraq, menghilang.


 


23 November 2008


LPS memutuskan memberikan dana talangan senilai Rp2,78 triliun untuk mendongkrak CAR menjadi 10%.


 


5 Desember 2008


LPS menyuntikkan dana Rp2,2 triliun agar Bank Century memenuhi tingkat kesehatan bank.


 


9 Desember 2008


Bank Century mulai menghadapi tuntutan ribuan investor Antaboga atas penggelapan dana investasi senilai Rp1,38 triliun yang mengalir ke Robert Tantular.


 


31 Desember 2008


Bank Century mencatat kerugian Rp7,8 triliun pada 2008. Asetnya tergerus menjadi Rp5,58 triliun dari Rp14,26 triliun pada 2007.


 


3 Februari 2009


LPS menyuntikkan dana Rp1,5 triliun.


 


11 Mei 2009


Bank Century keluar dari pengawasan khusus BI.


 


3 Juli 2009


Parlemen mulai menggugat karena biaya penyelamatan Bank Century terlalu besar.


 


21 Juli 2009


LPS menyuntikkan dana Rp630 miliar.


 


18 Agustus 2009


Robert Tantular dituntut delapan tahun penjara dan denda Rp50 miliar subsider lima bulan kurungan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebelumnya, pada 15 Agustus, manajemen Bank Century menggugatnya sebesar Rp2,2 triliun.


 


3 September 2009


Kepala Kepolisian Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar terus mengejar aset Robert Tantular sebesar US$19,25 juta, serta aset Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi sebesar US$1,64 miliar.


 


10 September 2009


Robert Tantular divonis empat tahun penjara dan denda Rp50 miliar.


Sumber: wartaekonomi

Artikel Terkait

- Reviewer: Asih - ItemReviewed: Mempertanyakan Kebijakan Penyelamatan Bank Century Deskripsi: Senin (2/11) siang itu matahari tepat di atas kepala. Namun, sengatan panasnya matahari tidak menyurutkan niat ribuan orang untuk menyuaraka... Rating: 4.5
◄ Newer Post Older Post ►