Masyarakat kelas menengah-bawah umumnya menilai kehidupan mereka saat ini lebih berat dibanding di era Orde Baru. Indikasinya, penghasilan mereka makin digerogoti oleh besarnya pengeluaran. Sebagai contoh, nilai laba bersih usaha pecel lele pada 1995 secara riil masih lebih besar dibanding tahun ini. Mereka juga mengaku belum puas dengan kebijakan pemerintahan sekarang.
Hampir sebelas tahun era Reformasi bergulir, hampir sebelas tahun pula era Orde Baru berakhir. Dimotori oleh para mahasiswa, kepemimpinan Orde Baru dipaksa lengser dan diganti dengan kepemimpinan baru. Datangnya era Reformasi diharapkan akan membawa kesejahteraan, keadilan, dan kemudahan bagi rakyat Indonesia. Nah, setelah sebelas tahun berjalan, apakah kepemimpinan nasional pada era Reformasi terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat? Seperti apa realitas yang terjadi di masyarakat setelah lebih dari satu dekade era Reformasi bergulir?
Jumlah penduduk Indonesia pada 2009 diperkirakan mencapai 220 juta jiwa. Ini sebuah angka yang besar. Angka ini menjadikan Indonesia negara dengan penduduk nomor empat terbesar di dunia. Sebuah potensi yang luar biasa, tetapi sekaligus beban yang berat.
Menurut data BPS dan Depkeu, pada 2007, sekitar 19,2% dari penduduk Indonesia atau hampir 43 juta jiwa tergolong masyarakat miskin, 35,08% atau sekitar 77 juta jiwa adalah penduduk menengah, dan sisanya 45,72% atau lebih dari 100 juta jiwa tergolong masyarakat kaya. Namun, jika dilihat dari sektor usaha, sektor UKM memiliki unit usaha jauh lebih besar dari sektor usaha besar. UKM memiliki hampir 47 juta unit usaha atau lebih dari 99%, sementara usaha besar memiliki 4.171 usaha atau hanya 0,01%. Angka perbandingan yang amat jauh.
Begitu pula dengan penyerapan tenaga kerja, sektor UKM menyerap 96,7% dari angkatan kerja dan sisanya yang 3,3% diserap oleh usaha besar. Dari PDB pun, sektor UKM menyumbang lebih dari 60% PDB Indonesia dan sisanya berasal dari usaha besar. Namun, sektor ekspor dikuasai oleh usaha besar yang menyumbang 80,84% dan sektor UKM hanya menyumbang 19,14%. Angka ini bercerita banyak mengenai kondisi perekonomian penduduk Indonesia, yaitu banyak bergantung pada sektor usaha kecil dan menengah.
Simalakama Si Anak Tengah
Ketika perekonomian suatu negara terguncang, lapisan masyarakat manakah yang paling menderita? Masyarakat kaya tentu bukan yang paling menderita karena masyarakat dari kelas ini dikenal sebagai masyarakat yang antiguncangan. Pandangan umum kemudian tertuju kepada masyarakat miskin. Kelas masyarakat paling bawah ini dinilai pasti yang akan paling menderita apabila terjadi inflasi, kerusuhan, atau apa pun yang mengguncang ekonomi negara ini.
Namun, saat terjadi guncangan ekonomi, sebenarnya bukan masyarakat kelas bawah yang paling menderita karena masyarakat miskin adalah objek utama dari subsidi pemerintah, mulai dari BLT, Raskin, hingga program PNPM. Sebagian besar dari subsidi pemerintah pada 2008 yang sebesar Rp187 triliun dihabiskan untuk masyarakat miskin. Dari segi kesehatan, masyarakat miskin pun memperoleh keringanan melalui Jamkesmas. Kelas masyarakat ini bisa dikatakan diberi begitu banyak fasilitas oleh pemerintah sebagai ganti rugi atas status mereka yang tergolong miskin.
Lalu, masyarakat mana yang paling tertekan ketika terjadi guncangan? Tidak lain, masyarakat kelas menengah. Masyarakat kelas menengah adalah masyarakat yang dikatakan “mampu” untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka dikenakanlah pajak oleh pemerintah dan terbebas dari segala subsidi yang akan memberatkan kantong pemerintah. Padahal, masyarakat kelas ini bukanlah masyarakat antiguncangan seperti kelas atas. Masyarakat ini paling menderita ketika terjadi kenaikan BBM dan inflasi hingga ketika menderita gangguan kesehatan. Tanpa subsidi dan fasilitas lain, kelas menengah acap kali luput dari perhatian pemerintah.
Reformasi di Tengah-Tengah
Lalu, bagaimanakah reformasi di mata masyarakat kelas menengah-bawah Indonesia? Apakah masyarakat miskin merasakan manfaatnya atau si tengah mulai merasa dikurangi bebannya?
Menurut Sutardi, seorang penjual pecel lele di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, reformasi malah menjadikan usahanya makin seret. “Dahulu, waktu zaman Pak Harto, saya bisa membawa pulang uang paling sedikit Rp300.000. Itu bersih dan setiap hari. Sekarang laku Rp500.000 saja sudah untung, belum dipotong belanjaan, belum pungutan, makin pusing,” ujarnya.
Begitu pula nasib Ali, seorang tukang ojek. “Dulu sih ojek masih jarang. Saya bisa membiayai sekolah anak saya sampai SMA, dapur rumah ngebul terus. Sekarang dapet Rp50.000 saja sudah untung. Mana saingan makin banyak, soalnya banyak yang di-PHK memilih menjadi tukang ojek,” keluh Ali.
Bagi, masyarakat bawah seperti Ali dan Sutardi, era Reformasi sepertinya tak mengubah nasib mereka menjadi lebih baik dan bahkan justru lebih buruk. Padahal, di mata mereka, mereka hanya ingin bisa menjalani hidup hari demi hari berkecukupan dan tidak perlu berlebihan. Hal ini bisa disimak dari jawaban mereka mengenai harta kekayaan mereka. Jika untuk masalah pendapatan saja mereka sudah mengalami kesulitan, maka saat ditanya mengenai bertambah atau tidaknya harta benda milik mereka sekarang, baik Sutardi maupun Ali memiliki jawaban senada. “Sudah bisa makan dan menyekolahkan anak saja, kami sudah bersyukur sekali.
Ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada seorang pegawai swasta bernama Rahmat, jawaban yang diberikan juga serupa. “Zaman sekarang jadi pegawai susah, di mana-mana menjadi tenaga outsourcing terus, dikontrak tanpa ada kepastian. Kalau begini, kapan saya bisa maju? Hidup dari gaji saja tidak cukup, saya harus mencari pekerjaan tambahan lain,” ujarnya. Rahmat juga mengaku kesulitan melakukan pertambahan kepemilikan harta benda. “Kalau untuk membeli barang-barang, saya masih cukup mampu, tetapi untuk menabung lumayan lama,” terang pegawai sebuah perusahaan konsultan di Jakarta ini.
Jawaban yang berbeda justru didapat dari salah seorang pegawai negeri sipil yang enggan disebutkan namanya. “Jadi PNS lebih enak zaman sekarang. Dari gaji saja sudah cukup. Apalagi kalau departemennya sudah memakai sistem remunerasi, antara besarnya gaji dan tunjangan, lebih besar tunjangan. Jadi, saya tidak perlu mencari pekerjaan sampingan lagi,” paparnya.
Ketika pertanyaan serupa dilontarkan kepada Nia, seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri, ia menuturkan zaman dahulu lebih mudah karena uang kuliah lebih murah. “Sekarang kuliah di perguruan tinggi swasta dan negeri tidak ada bedanya karena sama-sama mahal. Perbedaannya, mungkin, meski fasilitas di perguruan tinggi swasta lebih baik, tetapi lulusannya lebih susah mencari lapangan kerja dibanding lulusan perguruan tinggi negeri. Jadi, sudah uang kuliah mahal, mencari kerjanya juga susah. Sekarang pengangguran bergelar S1 ada di mana-mana. Kalau mau menang bersaing, harus bergelar S2 atau minimal lulusan sekolah luar negeri,” ungkapnya panjang lebar.
Dari jawaban para responden, tampaknya masyarakat umumnya melihat, dari segi nilai pendapatan yang mereka peroleh, masa Orde Baru lebih baik dibanding era Reformasi, walaupun ada juga nada puas terhadap pemerintahan sekarang.
Reformasi dan Pemerintah
Pemerintah bertugas memerintah sebaik mungkin agar rakyat makmur sejahtera. Hal ini tentu bukanlah hal yang mudah mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk yang begitu besar. Namun, kebijakan atau keputusan pada akhirnya ada di tangan pemerintah. Kebijakan itu diarahkan ke mana atau malah disimpan, tentu pemerintah memiliki pertimbangan tersendiri. Nah, dalam menilai kebijakan pemerintah dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan mereka, para responden di kalangan masyarakat menengah-bawah umumnya mengaku belum puas dengan kebijakan pemerintah yang ada.
“Pemerintah sekarang sepertinya tidak berpihak kepada orang kecil. Pas waktu kampanye saja getol mendekati kami, tapi sekarang sudah lupa dengan kita,” ujar Ali, si tukang ojek. Tukang pecel lele seperti Sutardi juga memiliki keluhan senada. “Orang kecil tidak dipikirkan oleh pemerintah. Saya heran melihat di televisi tentang kasus Bank Century yang menyangkut uang hingga triliunan rupiah. Orang kalangan atas begitu gampang sekali mendapatkan duit, sementara kami ingin dapat pinjaman dari bank saja susahnya minta ampun,” papar Sutardi.
Nia, sang mahasiswa, pun memberikan jawaban serupa. “Maunya sih uang kuliah jangan naik tiap tahun, kasihan orang tua. Mengapa ya, pemerintah tidak bisa memberikan pendidikan murah? Saya mengerti pasti ujung-ujungnya jawaban pemerintah adalah tidak ada anggarannya. Masalahnya, kami melihat betapa banyak uang rakyat yang dikorupsi, sementara dana untuk pendidikan kurang,” cetusnya.
Rahmat, yang berprofesi sebagai pegawai negeri di salah satu departemen, memberikan jawaban berbeda. “Pemerintah sudah cukup memberikan apresiasi kepada para PNS-nya. Meskipun belum semua departemen, tapi dengan gaji dan tunjangan yang ada sudah cukup dan kami sebagai PNS tentu harus kerja lebih baik lagi, soalnya sekarang sudah lebih disiplin, tidak seperti dahulu,” tuturnya. Mengenai masalah kesempatan kerja, Rahmat mencoba memberikan solusi. “Sebenarnya pemerintah gampang kalau mau membuat karyawan sejahtera, yaitu tinggal mengubah UU. No 13 Tahun 2003 tentang tenaga kerja saja. Kalau menjadi pegawai kontrakan itu tidak tenang, tiap akhir masa kontrak deg-degan. Untung kalau diperpanjang, kalau tidak? Mengapa untuk melakukan perubahan itu begitu susah,” ujar Rahmat dengan sedikit berapi-api.
Jadi, di sini terlihat bahwa para responden umumnya menyatakan belum puas atas kebijakan pemerintah sekarang. Membuat semua pihak puas mungkin adalah hal yang amat sulit. Namun, bukan berarti tidak mungkin. Ketika ditanya tentang harapannya ke depan, jawaban anggota masyarakat kelas menengah-bawah ini tersirat skeptis. “Susah juga ngomongnya, kami orang kecil ingin semua harga murah, aman, jangan ada lagi korupsi, dan pemerintah jangan pas ada maunya aja dekat dengan kami. Kalau bisa seperti zaman dulu, biar katanya orang-orang atas waktu itu juga korupsi, tapi kami berkecukupan, tidak susah, dan sekolah,” harap Ali, si tukang ojek yang beroperasi di wilayah Kebon Jeruk, Jakarta.
Sutardi, si penjual pecel lele, pun berharap sama. “Saya sih inginnya harga-harga tidak naik. Orang bawah inginnya sederhana kok, perut kenyang, tidur nyenyak. Pemerintah sekarang tampaknya cuma sibuk memikirkan nasib penggede-penggede yang menggunakan duit negara triliunan rupiah,” katanya. Opini mahasiswa seperti Nia tak jauh berbeda. “Pemerintah sekarang sedang asyik mengurusi kasus Bank Century dan perseteruan antarpejabat. Kapan sempat mengurusi dunia pendidikan Indonesia? Saya cuma berharap pemerintah yang sekarang dapat membuat pendidikan tinggi menjadi lebih terjangkau lagi,” ungkap Nia. Sementara itu, sebagai PNS, Rahmat mengakui memang sulit sekali memuaskan berbagai pihak. “Namun, saya yakin pemerintah sekarang pasti bisa lebih cerdik lagi,” tegasnya.
Analogi ala Pecel Lele
Untuk melihat perbandingan kesejahteraan di kelas menengah-bawah, barometer usaha penjual pecel lele bisa digunakan. Mengapa pecel lele? Karena jenis makanan ini termasuk makanan antikrisis dengan tingkat permintaan yang relatif konstan. Jumlah penjualnya pun makin banyak. Dengan harga yang kompetitif, maka tak heran jika dikatakan bahwa industri pecel lele masuk ke dalam jenis pasar persaingan sempurna.
Pada pertengahan 1990-an, harga seporsi pecel lele sekitar Rp2.500, dengan asumsi pada saat itu penjualnya masih sedikit sehingga satu orang penjual dapat menjual hingga 100 porsi per hari dan menghasilkan pendapatan kotor sebesar Rp250.000. Dengan biaya produksi mencapai 70%, maka pendapatan bersih yang dihasilkan adalah Rp75.000.
Bandingkan dengan usaha pecel lele pada 2009. Dengan harga Rp7.000 per porsi dan dengan asumsi penjual pecel lele makin banyak, maka seorang penjual hanya mampu menjual maksimal 100 porsi dan menghasilkan pendapatan kotor sebesar Rp700.000. Jika biaya produksi diasumsikan tetap 70%, maka pendapatan bersih yang dihasilkan sebesar Rp210.000.
Dengan menggunakan data inflasi dari tahun 1995 dan metode CAGR, dapat dilihat bahwa Rp75.000 pada 1995 senilai dengan Rp448.000 pada 2009. Jika kemudian si penjual pada 2009 mendapatkan laba bersih sebesar Rp210.000, ceteris paribus, si penjual tentu akan lebih untung untuk menjual pecel lele pada 1995.
Analogi sederhana ini menggambarkan bahwa nilai uang secara riil selama hampir 14 tahun ini mengalami penurunan yang cukup besar. Ketika dilakukan metode yang sama untuk melihat nilai pendapatan pecel lele pada 2009 dalam uang tahun 1995, ditemukan hasil yang mengagetkan, uang senilai Rp210.000 pada 2009 sama dengan uang senilai Rp11.600 pada 1995.
Pengakuan yang sama juga diperoleh dari pedagang pecel lele lainnya yang berdagang di wilayah Jakarta Pusat. Menurut dia, omzet usahanya per hari pada awal 1997 sekitar Rp300.000, dan dengan biaya Rp250.000, ia mendapatkan laba bersih Rp50.000. Adapun tahun ini, dengan omzet per hari sebanyak Rp900.000 dan biaya Rp700.000, ia meraup laba bersih Rp200.000. Namun, meskipun secara nominal besaran laba bersihnya sekarang jauh lebih besar, tetapi karena biaya hidup sekarang makin mahal, hasil jerih payahnya itu banyak terkuras. “Sementara dahulu, dengan penghasilan bersih Rp50.000, saya bisa hidup lebih baik dan bisa menabung,” ujarnya.
Dari analogi ala pecel lele ini, dapat dilihat bahwa kendati terjadi peningkatan dari sisi harga dan pendapatan, tetapi akibat tingginya inflasi, maka, secara riil, laba bersih usaha pecel lele pada 1995 lebih baik dibandingkan pada 2009, meski secara nominal pendapatan pada 2009 jauh lebih besar. Namun, dengan melihat bahwa penjual pecel lele akan lebih better off pada 1995 dibandingkan pada 2009, tidak serta merta kemudian bisa segera disimpulkan bahwa era Orde Baru lebih baik daripada era Reformasi. Pasalnya, masih banyak variabel lain yang memengaruhi dan diperhitungkan.
sumber: wartaekonomi