1 Jan 2010

Tiga Momen Bersama Gus Dur

ImageAda tiga momen perjumpaan saya dengan Gus Dur yang masih sangat berkesan di hati saya. Ketiga momen itu terdiri dari momen yang menggembirakan, menakjubkan, dan memilukan. Catatan ini semoga selalu menghidupkan spirit Gus Dur di sanubari orang-orang yang mengenal dan sempat bersentuhan dengannya, dan mengenalkan Gus Dur kepada orang yang masih membenci atau tak habis pikir tentangnya.


Momen menggembirakan terjadi saat saya membawa anak saya yang baru enam bulan untuk berfoto bersama Gus Dur. Terus terang, saat itu saya agak mencontek hobi Dhani Dewa. Dia senang anaknya sempat berfoto bersama-sama dengan orang besar, salah satunya Gus Dur. Saya terpikir untuk mengikut Dhani. Saya ingin, puteri saya juga punya foto bersama tokoh seperti Gus Dur. Hanya Gus Dur. Kelak, saya berharap anak saya akan bangga pernah dikenalkan bapaknya kepada sosok manusia yang besar dalam jiwa meskipun rapuh dalam raganya ini. Kebetulan, untuk dapat berfoto dengan Gus Dur sangatlah mudah, karena saban pagi Sabtu dia mengisi acara Kongkow Bareng Gus Dur di Radio 68H Utan Kayu.


Saya bersalaman, meminta izin berfoto, sembari mengenalkan anak saya. “Nayla Kathrin Nada, namanya Gus,” kata saya. “Oh… Qotrun Nada,” timpal Gus Dur. Dia segera tahu, Kathrin Nada adalah pelesetan dari bahasa Arab, “qatrun nada” yang artinya “setetes embun”. Gus Dur lalu bercerita bahwa ada sebuah kitab yang judulnya seperti nama anak saya. Saya tidak ingat kitab yang disebutkan Gus Dur itu. Betapa pendek ingatan saya. Kata teman, kitab itu sangat akrab di kalangan pesantren tradisional. Saya masih tak ingat, Gus Dur selalu ingat. Sungguh bahagia, foto itu masih ada. Di rumah mertua saya di Malang, foto itu dibesarkan dan dibingkai. Banyak orang suka dengan foto itu, dan pastinya juga saya.


Momen menakjubkan terjadi tatkala saya diminta memoderatori peluncuran buku Hikayat 1001 Malam yang diluncurkan oleh Penerbit Qisthi. Ide mengundang Gus Dur datang dari kawan saya yang agak gila, dan ini agak kontroversial di lingkungan penerbit Islam lainnya karena Qisthi sebelumnya dikenal sebagai penerbit buku-buku Islam agak begituan, seperti La Tahzan. Kok Qisthi menerbitkan Hikayat 1001 Malam dan mengundang Gus Dur pula? Islamic Book Fair saat itu sangat gempar dengan kehadiran Gus Dur yang selalu mengundang banyak pendengar. Gus Dur diminta untuk memberi ulasan terhadap nilai sastrawi Kitab 1001 Malam.


Yang menakjubkan bagi saya, Gus Dur masih saja ingat beberapa penggalan kisah di dalam Hikayat 1001 Malam, bahkan dia mampu mengulasnya sembari memaparkan beberapa kitab sastra Rusia dan Amerika yang dia kenal. Saya terkagum pada Gus Dur, karena dia masih mengingat detail nama penulis buku, judulnya, isinya, dan pandangannya terhadap buku tersebut. Saya mengira itu tentulah sisa-sisa ingatan lama dari bahan bacaannya yang mungkin telah jadul maula. Dia tak mungkin lagi menambah wawasan begitu banyak mengingat keterbatasan penglihatannya. Tapi sisa ingatannya itu sungguh banyak dan menakjubkan.


Momen ketiga adalah momen yang mengharukan. Saya membawa beberapa kawan dari Asia Tenggara dalam rangka studi visit ke Indonesia. Ketika itu kami tiba di rumah Gus Dur di Ciganjur saat kondisi kesehatannya sedang menurun. Ia terbaring memeluk bantal guling di ruang tamu, beralas karpet sederhana, bercelana pendek dan berkaos dalam putih. Sungguh terharu melihat kondisi Gus Dur sedemikian rupa. Kawan-kawan dari berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, ada juga yang meneteskan airmata. Mereka tidak begitu mengenal Gus Dur, tapi merasa hati mereka dekat bersamanya. Saya pun jadi cengeng melihat Gus Dur terbaring membantalkan tangan kanannya untuk sandaran kepala.


“Badan perih semua,” kata Gus Dur. Tapi ia sedia menyalami dan mendengarkan perkenalan satu per satu tamu Asia Tenggara yang mengunjunginya. Ia menyimak kawan Malaysia, Singapura. Ia terhenti sejenak mendengar kawan-kawan dari Thailand Selatan dan Filipina Selatan. Kadang-kadang ia berkomentar pendek atau panjang. Bahkan yang mengesankan bagi kawan-kawan Thailand dan Filipina, Gus Dur masih mengingat orang-orang Thai dan Fil pergerakan yang sempat berjumpa dengannya. Ceritanya terkadang detil, menunjukkan bahwa ingatannya masih tajam walau fisiknya sudah tumpul. Tak kuasa sebagian kami untuk menahan haru melihat orang besar ini terbaring lemah.


Rabu, 30 Desember 2009, Gus Dur pergi meninggalkan dunia setelah sekian lama berjuang mengatasi segenap kelemahan fisiknya. Selamat jalan Gus Dur, pelitamu akan selalu menyala menerangi orang yang sempat mengenal diri ataupun idemu. Selamat jalan Bapak Bangsa-Bangsa….


Jakarta, 30 Januari 2009


Novriantoni Kahar @ http://www.facebook.com/notes/novriantoni-kahar

Artikel Terkait

- Reviewer: Asih - ItemReviewed: Tiga Momen Bersama Gus Dur Deskripsi: Ada tiga momen perjumpaan saya dengan Gus Dur yang masih sangat berkesan di hati saya. Ketiga momen itu terdiri dari momen yang menggembirak... Rating: 4.5
◄ Newer Post Older Post ►