Seorang guru telah dipecat dari pekerjaannya di Perancis karena menolak untuk melepaskan jilbabnya atau berjabat tangan dengan kolega pria sehubungan dengan kepercayaan keagamaannya.
Guru tersebut baru saja memulai pelatihan magangnya di sebuah sekolah dasar di Toulouse.
Komite disipliner sekolah yang mengusir wanita tersebut mengatakan bahwa pihaknya menegakkan sekulerisme di sekolah negeri tersebut.
Perancis adalah rumah bagi populasi terebesar Muslim di antara 27 negara anggota Uni Eropa. Hampir ini 10 persen dari 62 juta orang yang tinggal di Perancis adalah Muslim.
Sebuah larangan atas jilbab Muslim di sekolah-sekolah tersebut diperkenalkan di Perancis pada tahun 2004.
Baru-baru ini, parlemen Perancis menyetujui sebuah rancangan undang-undang yang melarang para wanita Muslim mengenakan burqa di tempat-tempat publik.
Dengan 336 suara di 577 kursi Majelis Nasional, pelarangan burqa tersebut menerima dukungan mayoritas parlemen sayap kanan Presiden Nicolas Sarkozy sementara sosialis dan komunis negara tersebut abstain dalam pemilihan tersebut.
Gerakan tersebut telah dikritisi karena melanggar legislasi hak-hak asasi manusia Perancis.
Menurut pemerintah Perancis, legislasi baru tersebut akan mempengaruhi 2.000 wanita Muslim Perancis.
Sementara itu, para anggota Majelis Parlementer Dewan Eropa (Parliamentary Assembly of the Council of Europe – PACE) secara dengan suara bulat memilih menentang adanya pelarangan umum terhadap burqa di Eropa, mengatakan bahwa para wanita Muslim seharusnya bebas untuk memilih pakaian mereka.
Kasus serupa tidak hanya terjadi di negara Eropa saja, bahkan di sekolah Jerman Schmidt di Tel Aviv melarang seorang guru wanita Muslim Palestina memasuki sekolah tersebut karena mengenakan jilbab.
Keputusan administrasi sekolah tersebut dianggap langkah rasis pertama di Tel Aviv dan sangat dikutuk oleh para orang tua murid yang melakukan proses aksi duduk pada pemecatan guru tersebut, Nadra Al-Nimri, yang bekerja di sekolah tersebut selama 27 tahun, dan melarang masuknya wanita tersebut.
Untuk bagiannya, Nimri mengatakan bahwa ia memutuskan untuk mengenakan sebuah jilbab, dan ketika ia memasuki sekolah tersebut, ia menerima sebuah sambutan hangat dari para murid dan koleganya, namun kepala sekolah menjadi marah dan memintanya untuk meninggalkan sekolah tersebut dengan segera.
Guru tersebut diberikan dua piihan baik itu untuk melepaskan jilbabnya dan tetap berada di sekolah atau menolak melepaskan jilbabnya dan tidak akan pernah kembali, namun ia mengatakan bahwa ia tidak akan pernah menyerah mengenakan jilbab bahkan jika ia diberi emas dan uang.
Administrasi sekolah Schmidt tersebut memaksa para guru dan orang tua siswa untuk menandatangani sebuah perjanjian tertulis untuk tidak mengenakan jilbab apapun di kampus sekolah tersebut dan setiap siswi atau wanita harus melepaskan jilbab mereka sebelum memasuki halaman sekolah.
Begitu juga dengan seorang guru Geografi di sebuah sekolah di kota bagian tenggara Kazahkstan, Taldy-Qorghan harus mendapatkan ijin dari Dinas Kejaksaan untuk dapat mengenakan jilbab ketika mengajar, kantor berita RFE/RL Kazakhstan memberitakan.
Aida Dekebaeva Desember tahun lalu mengatakan bahwa kepala sekolah Gulnara Muratbekova "menyarankan" bahwa ia tidak mengenakan jilbab ketika mengajar.
Dekebaeva mengatakan bahwa sekolah tersebut mengadopsi sebuah kode etik berpakaian yang melarang jibab baik untuk para siswa dan para guru.
Muratbekova mengatakan kepada kantor berita RFE/RL bahwa ia memperingatkan Dekebaeva tentang caranya berpakaian dan mengatakan kepadanya untuk memastikan cara berpakaian tersebut sejalan dengan panduan Departemen Pendidikan.
Sementara itu, aktivis HAM lokal Aliya Kasymkhankyzy mengatakan kepada RFE/RL bahwa konstitusi melindungi hak setiap warga negara untuk beribadah dalam agama apapun dan kepala sekolah tersebut seharunya menghormati hak Dekebaeva untuk berpkaian seperti yang ia harapkan.
Dekabaea mengatakan bahwa ia siap untuk sebuah pertarungan jangka panjang namun masih menunggu tanggapan Dinas Kejaksaan atas suratnya. (Suaramedia.com)