Seorang menteri Jerman telah masuk ke dalam kehebohan atas integrasi Muslim, dengan tajam mengecam apa yang ia gambarkan sebagai sebuah kecenderungan yang terus tumbuh terhadap kekerasan di antara pemuda Muslim yang berasal dari agama dan akar budaya, diberitakan oleh kantor berita The Local pada Jum'at (26/11) waktu setempat.
"Kecenderungan terhadap kekerasan di antara pemuda, pria Muslim jelas lebih tinggi dari pada di antara non-Muslim, pemuda pribumi," Menteri Kekeluargaan Kristina Schröder mengatakan semacam kecenderungan terhadap kekerasan di antara para pria Muslim berasal dari sebuah "kebudayaan macho".
"Kita tidak seharusnya membangun adanya tabu palsu di sini: Ada sebuah kebudayaan macho diantara pria muda Muslim yang mengagungkan kekerasan dan yang juga memiliki akar kebudayaan," ia mengatakan dalam sebuah wawancara dengan kantor berita harian Wiesbadener Kurier.
Kecenderungan Muslim terhadap kekerasan, menteri tersebut menambahkan, akan diungkapkan dalam dua studi yang dilakukan oleh kementeriannya yang akan dirilis pada Jum'at.
Studi tersebut menunjukkan bahwa sementara diskriminasi dan kerugian sebagian dipersalahkan, ada juga agama dan akar budaya.
"Kerugian sosial dan diskriminasi adalah faktor yang penting, namun mereka tidak cukup sebagai sebuah penjelasan.
"Ada sebuah saling ketergantungan antara keagamaan, norma macho dan kecenderungan terhadap kekerasan."
Terlebih lagi, Schröder mengatakan, kekerasan di antara paramuda Muslim datang dengan cara yang menyolok bersamaan dengan sebuah perselisihan yang terus tumbuh terhadap para muda Jerman.
"Anak-anak Jerman jarang diganggu di sekolah-sekolah hanya karena mereka adalah orang Jerman," ia menambahkan.
"Kita tidak lagi harus mengatur hal tersebut."
Menurut studi yang dilaksanakan oleh pemerintah tersebut, Jerman memiliki antara 3,8 dan 4,3 juta Muslim, membentuk sekitar 5 persen dari jumlah keseluruhan 82 juta jumlah penduduknya.
Negara tersebut adalah negera terbesar kedua untuk populasi Muslimnya setelah Perancis, dan Islam berada di posisi ketiga di Jerman setelah Protestan dan Katolik.
Dengan komentarnya tersebut, Schröder dilihat melompat ke dalam kereta kontroversi yangg telah membabi buta atas integrasi Muslim dan multikulturalisme di Jerman.
Namun menteri tersebut bersikeras bahwa perdebatan publik atas agama dan kebudayaan Muslim tidak seharusnya dihalangi oleh pembenaran politik.
"Jika seseorang membuat sebuah masalah kecenderungan yang tidak sepadan terhadap kekerasan di antara Muslim muda, selalu dikatakan bahwa hal ini adalah sebuah penilaian tertutup.
"Namun bukan itu permasalahannya."
Negara tersebut telah tercengkeram selama berminggu-minggu oleh sebuah perdebatan sengit atas imigran Muslim yang melihat begitu banyak politisi arus utama yang masuk ke dalam kehebohan tersebut.
Kontroversi tersebut dipicu beberapa bulan yang lalu ketika Thilo Sarrazin, anggota dewan bank sentral Jerman (Bundesbank), telah menuduh imigran Musliim merusak masyarakat yang menjadi kurang pandai karena imigran Muslim tersebut.
Sarrazin dipecat dari Bundesbank karena pandangannya tersebut, namun poling pendapat telah mengindikasikan bahwa pendapatnya tentang imigran Muslim, yang dipublikasikan dalam buku larisnya, sedang menuai simpati di antara mayoritas Jerman.
Merkel menimbang ketika ia mengatakan – dalam kata-kata yang sangat mengkritisi yang memperparah kontroversi tersebut – bahwa multikulturalisme telah sama sekali gagal" di Jerman.
Horst Seehofer, pimpinan Persatuan Sosial Kristen (Christian Social Union – CSU), adik partai dari Partai Kristen demokrat merkel (CDU), juga menyulut api dengan seruannya untuk sebuah penghentian imigrasi dari negara-negara Turki dan Arab.
Kantor berita harian Der Spiegel telah memperingatkan pada bulan Agustus bahwa negara tersebut menjadi tidak toleran terhadap minoritas Muslimnya. (Suaramedia.com)