Entah apa yang membuat AS begitu percaya diri. Meski aib dan dosa-dosa pelanggaran hak asasi manusianya sudah terkuak jelas di mata publik internasional. Namun negeri agresor ini masih saja merasa paling suci dan berhak menilai kondisi HAM negara-negara lain. Karuan saja Rusia pun menjadi begitu berang dengan gelagat munafik ala Paman Sam itu.
Baru-baru ini, departemen luar negeri Rusia mengkritik laporan tahunan HAM departemen luar negeri AS dan menuding Washington menerapkan standar ganda. Dalam statemennya yang dirilis kemarin (Senin, 11/4), Deplu Rusia menyatakan, "AS tidak menyinggung rekam jejaknya sendiri. Seperti di Afghanistan dan Irak yang telah menewaskan ratusan warga sipil akibat penggunaan kekerasan secara membabibuta. Kendati AS telah berjanji untuk menutup penjara Guantanamo dan Begram, namun hingga kini penjara-penjara itu masih saja dioperasikan".
Statemen deplu Rusia itu juga menyentil kasus penyadapan telpon dan aksi pelanggaran HAM lainnya atas nama pemberantasan terorisme.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Jumat lalu (8/4) Deplu AS melansir laporan tahunannya mengenai kondisi HAM di 190 negara. Laporan itu mengklaim bahwa kondisi HAM di banyak negara semakin buruk. Ironisnya, laporan tersebut terasa begitu janggal dengan apa yang dilakukan AS selama ini. Negeri yang begitu latah dalam mengkritik isu HAM di negara-negara lain itu ternyata juga merupakan pelanggar HAM yang terbesar.
Asal tahu saja, Paman Sam merupakan negeri dengan jumlah tahanan terbesar di dunia. Negeri adidaya itu juga tercatat sebagai produsen dan penyebar terbesar pornografi anak, bahkan hingga kini masih menolak untuk meratifikasi konvensi perlindungan hak-hak anak. Sebagian besar aksi-aksi kudeta di banyak negara juga didalangi Washington. Dan sudah menjadi rahasia umum pula, AS adalah negara yang paling haus perang. Entah sudah berapa milyaran dolar dan jutaan nyawa yang melayang sia-sia akibat perang yang dikobarkan AS di berbagai penjuru dunia.
Sedemikian dahsyatnya pelanggaran HAM yang dipraktekkan AS itu sampai-sampai Washington pun kesulitan untuk menutupi-nutupi dosa-dosa besarnya itu hingga terkadang mereka pun terpaksa mengakui, sebagaimana pengakuan George W. Bush dalam buku memoarnya, Decision Points. Tanpa rasa berdosa ia mengakui bahwa dirinyalah yang memberi perintah penyiksaan terhadap para tersangka teroris.
Yang jelas, selama ini AS memang kerap menggunakan domain pelanggaran HAM sebagai alat untuk mengintervensi dan menekan negara lain. Tak heran jika banyak pengamat yang menilai laporan HAM deplu AS baru-baru ini sekedar perangkat politik bagi Washington untuk menggertak dan menyudutkan negara-negara yang dianggap mengancam kepentingan Paman Sam. (irib)