Omar bertahan di markas militer di Al-Baida. Bersama sembilan rekannya, dia ditinggalkan rombongan yang tadinya berangkat bersama dari Ibu Kota Tripoli. Dia bergabung dengan sejumlah orang lain di markas tentara di kota yang sudah dikuasai rakyat yang menuntut pemimpin Libya, Muammar Qadhafi, mundur. Mereka berlindung di dalam bangunan, sementara baku tembak terus berlangsung.
Seorang tokoh masyarakat setempat meminta mereka keluar dan menyerah. Tiga hari baku tembak, akhirnya mereka mengibarkan bendera putih tanda takluk. "Kami tadinya takut keluar karena kami berkulit gelap," kata Omar. "Kami pikir mereka akan menganggap kami tentara bayaran dan menyerang kami," lelaki 19 tahun ini menambahkan.
Menurut kelompok pemberontak, sekitar 200 orang dibawa ke Sekolah Aruba yang diubah menjadi ruang tahanan. Tapi wartawan tidak diberi akses untuk melihat para tawanan tersebut.
Omar adalah anggota pasukan Brigade Khamis yang diterjunkan dari Tripoli pada pertengahan bulan lalu. Namun, menurut Omar, dia dikirim bukan untuk bertempur, melainkan untuk berdemonstrasi mendukung Qadhafi. Tapi, karena situasi tak mendukung, pasukan itu pergi. Omar dan teman-temannya ditinggalkan dan terpaksa bergabung dengan kelompok lain yang sebelumnya tak mereka kenal. "Banyak kawan yang ditangkap diterbangkan dari Sabha," katanya.
Penahanan mereka tak berlangsung lama. "Mereka semuanya orang Libya. Dan kami ingin orang-orang di barat dan daerah lain juga berhenti menangkapi orang-orang timur," kata Ahmed Salem Salah, guru yang beralih tugas menjadi penjaga tahanan. "Selain itu, penahanan hanya akan menjadi pemicu perang suku."
Para penentang Qadhafi di daerah yang telah melepaskan diri dari kontrol Tripoli memang selalu memandang curiga orang-orang berkulit hitam. Ini gara-gara kabar diterbangkannya para milisi bayaran yang berasal dari negara-negara Afrika untuk melumpuhkan kota-kota yang telah dikuasai penentang Qadhafi. "Kami tak lagi percaya kepada orang-orang berkulit hitam yang wira-wiri," kata seorang tentara yang membelot.
Sekitar sepekan terakhir, tentara pendukung Qadhafi memang gencar melakukan serangan balik. Setelah banyak kota di kawasan timur lepas dari kendalinya, dia pun mengerahkan pasukan-pasukan pendukungnya. Kota Misurata, yang tadinya sudah lepas, digempur dengan tank dan artileri. Demikian juga Zawiya. Pasukan Qadhafi juga merebut Bin Jawad pada awal pekan lalu, dan terus merangsek ke terminal pengiriman minyak di Ras Lanuf. Ajdabiya dijatuhi bom dari pesawat tempur. Bahkan Tobruk juga sempat diklaim direbut kembali, tapi disanggah oleh kelompok pemberontak.
Pasukan yang dikirim Qadhafi bukan tentara biasa. -Libya tak memiliki militer yang kuat dan berdisiplin karena Qadhafi takut dikudeta tentaranya sendiri. Kabar soal tentara atau milisi bayaran berembus kuat, baik yang direkrut paksa di Libya maupun yang dikirim dari negeri asalnya. Mereka diperkirakan berasal dari Chad, Republik Demokratik Kongo, Sudan, Nigeria, atau Mali.
Mungkin bukan sekadar isapan jempol. Di Kidal, Mali, dalam beberapa pekan terakhir, banyak warga suku Tuareg meninggalkan daerahnya menuju Libya. "Ada 200-300 orang yang telah pergi dalam tujuh hari," kata seorang pejabat setempat. Mereka berkonvoi dengan 40 kendaraan dan perlu waktu dua hari untuk masuk ke Libya.
Alasannya tentu bukan menyukai apalagi setia kepada Qadhafi, melainkan uang. Menurut pejabat tersebut, mereka dibayar sekitar US$ 10 ribu saat bergabung. Kemudian, "Mereka diberi tahu akan mendapat US$ 1.000 per hari untuk bertempur."
Hubungan Qadhafi dengan warga suku Tuareg memang bukan perkara baru. Pada awal 1970-an, Qadhafi pernah membentuk Legiun Islam untuk menyatukan negara-negara Islam di Afrika Utara. Mereka bertempur di Chad, Sudan, dan Libanon. Tapi, pada 1980-an, legiun tersebut dibubarkan. Banyak dari mereka tetap tinggal di Libya dan bergabung dengan angkatan bersenjata Libya. Selain itu, Qadhafi kerap membantu pemberontakan suku Tuareg di Chad dan Sudan.
Pemerintah Qadhafi menyanggah tudingan penggunaan tentara bayaran. "Tentara akan memainkan peran besar (dalam mempertahankan rezim), bukan tentara dari Tunisia atau Mesir," kata anak Qadhafi, Saiful Islam al-Qadhafi. "Mereka akan mendukung Qadhafi hingga menit terakhirnya."
Pejabat Kementerian Luar Negeri Libya, Khaled al-Ga'aeem, bersuara lebih keras. "Saya siap, tidak hanya mundur dari jabatan saya, tapi juga siap ditembak di -Green Square, jika terbukti ada tentara bayaran yang terbang dari negara-negara Afrika."
Pasukan pendukung yang membentengi Qadhafi tak hanya dari milisi bayaran atau pasukan angkatan bersenjata reguler yang memang tak pernah dibuat kuat. Ia dikelilingi orang-orang dekatnya, baik dari jalur keluarga maupun suku.
Menurut mantan Menteri Kehakiman Libya Mustafa Mohamed Abd al-Jalil, setiap anak Qadhafi memiliki pusat-pusat keamanan di timur, barat, dan selatan Tripoli.
Putra terakhirnya, Khamis Qadhafi, memimpin unit pasukan khusus yang dikenal sebagai Brigade Khamis. Anak kelima dari tujuh anak Qadhafi ini berpendidikan militer di Moskow. Meski anggotanya hanya sekitar 10 ribu orang, brigade itu dikenal sebagai pasukan elite. Sistem latihan dan persenjataan mereka paling bagus. Menurut Omar yang ditangkap di Al-Baida, latihan anggota pasukan ini sangat berat. "Seperti menjadi buruh," katanya. -Dipukuli adalah hal biasa yang dia hadapi. "Untuk membuat kami kuat."
Pasukan komando Inggris, The Special Air Service, pun melatih anggota brigade itu. Latihan dilakukan setelah hubungan Libya dengan Inggris membaik, seusai penyelesaian masalah pesawat yang jatuh di Lockerbie. Banyak pula perlengkapan militer dan senjata yang dipasok dari Inggris. Sedangkan anggota militer nonpasukan khusus lebih banyak menggunakan senjata dan perlengkapan dari Rusia, yang menjadi pemasok utama selama hubungan Libya dengan Barat memburuk.
Selain perlengkapan dan latihannya lebih hebat, gaji anggota Brigade Khamis lebih tinggi daripada kebanyakan tentara Libya. Omar mengaku menerima 700 dinar per bulan. Padahal gaji pegawai negeri di Libya biasanya hanya 200-300 dinar.
Pasukan lain yang membentengi Qadhafi dipimpin anak ketiga dari istri pertamanya, Saadi. Pasukan itu dikirim ke Benghazi dan beberapa kota di timur pada awal pergolakan. Pasukan itulah yang merebut sebuah stasiun radio di Benghazi, dan Saadi mengumumkan bahwa dia berada di Benghazi dan memimpin operasi di sana. Tapi, setelah itu, kabar tentang diri dan pasukannya tak lagi terdengar.
Kolonel Mutassim al-Qadhafi juga mengerahkan pasukan khusus. Lulusan Mesir ini sebelumnya dipaksa mengungsi setelah petantang-petenteng dengan detasemen artilerinya di depan kediaman ayahnya di barak Bab al-Azizia di Tripoli. Tapi ia kemudian dimaafkan dan mendapat promosi menjadi kolonel, dan terus memimpin Dewan Keamanan Nasional.
Adik Mutassim, Hannibal, juga mengerahkan pasukan. Hanya, pasukannya jauh lebih kecil dan lemah dibanding pasukan saudara-saudaranya.
Ada pula ipar Qadhafi, yaitu Brigadir Jenderal Abdullah Sanusi. Dia diduga mengerahkan banyak pasukan untuk menghentikan aksi protes dengan kekerasan.
Di kubu seberang, para penentang Qadhafi tak mau kalah untuk terus memperkuat diri. Latihan kemiliteran terus digeber. Mereka juga giat melobi masyarakat internasional untuk menekan sang Kolonel. (majalahtempo)