Revolusi—kalau boleh disebut demikian, karena ada yang lebih suka menggunakan kata ”reformasi” untuk menyebut apa yang terjadi di Timur Tengah saat ini—Arab secara gamblang memberikan gambaran kepada kita bahwa rezim otoritarian, otokratik tidak memiliki tempat lagi.
Gelombang revolusi yang menjungkalkan para penguasa itu juga menjelaskan—dalam bahasa Samer Frangie, seorang profesor politik di American University of Beirut, dalam tulisannya yang diterbitkan oleh openDemocracy—tentang keterbatasan ”revolusi dari atas” dan menegaskan perlunya reformasi lebih dalam, lebih mendasar terhadap ideologi, kultur, dan masyarakat Arab.
Revolusi dari atas cenderung melahirkan pemimpin yang dalam perkembangannya korup, otoriter, otokratik. Karena itu, dibutuhkan reformasi total.
Zine al-Abidine Ben Ali, yang berkuasa lewat kudeta konstitusional tahun 1987, telah mengembangkan pemerintahan yang korup, tangan besi, otokratik, dan membiarkan orang- orang serta keluarganya menjarah kekayaan negara. Ia akhirnya disingkirkan revolusi kekuatan rakyat dukungan militer.
Apa yang terjadi di Mesir bukanlah ungkapan ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan luar negeri Hosni Mubarak. Misalnya kebijakannya terhadap Israel dan jika ditarik lebih jauh bukan pula ketidakpuasan terhadap perjanjian perdamaian 1979.
Akan tetapi, yang diinginkan kaum muda yang merupakan motor revolusi di Mesir adalah masalah mendasar, yakni hak- hak politik, kebebasan, pemilu, penegakan hak-hak asasi manusia, dan keluar dari represi.
Pemimpin yang bersikukuh dengan sikapnya, tidak mau mendengarkan suara rakyat, yang mementingkan diri, dan menggenggam erat kekuasaan pada akhirnya harus menerima kenyataan: tersingkir.
Hal yang sama kini juga tengah dialami pemimpin Yaman, Presiden Ali Abdullah Saleh, yang sudah berkuasa sejak 33 tahun silam. Ia juga mengembangkan pemerintahan otokratik, korup, dan menganut paham nepotisme.
Menurut indeks korupsi Transparency International, Yaman menempati posisi ke-146 dari 178 terkorup di dunia. Ia memberikan posisi kunci, baik pemerintahan maupun militer, kepada anggota keluarganya. Karena itu, tuntutan kaum muda Yaman juga perubahan politik. Saleh mundur.
Cerita yang hampir serupa juga terjadi di Libya dengan Moammar Khadafy-nya. Yang membedakan adalah cara Khadafy menghadapi tuntutan rakyatnya, yakni dengan tindak kekerasan, bahkan menggunakan tentara bayaran. Begitu banyak rakyatnya yang mati. Ini yang kemudian mengundang Dewan Keamanan PBB bertindak menjatuhkan sanksi.
Khadafy bukan Ben Ali, juga bukan Mubarak, yang memilih turun takhta. Khadafy dengan Libya-nya memang beda dengan Mesir dan Tunisia serta Yaman. Libya dengan sumber minyak dan gas, anti-Barat, negara secara ideologi fundamentalis, serta ekonominya independen berani dengan leluasa menjawab tuntutan rakyatnya akan kebebasan dengan keras dan tegas.
Namun, sampai kapan semua itu akan bertahan? Mengutip puisi Tunisia, ”Apabila suatu hari rakyat menginginkan kehidupan, takdir tentu akan menjawabnya, malam akan berganti terang, dan rantai-rantai akan putus”.
TRIAS KUNCAHYONO
sumber: kompascetak