Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton boleh berkeyakinan bahwa pemimpin Muammar Khadafi sedang mencari jalan keluar dari krisis yang melanda negaranya.Khadafi juga bisa saja sedang mencari jalan keluar bagi dirinya sendiri alias melarikan diri. Tetapi, realitanya, pemimpin Libya itu kemarin (23/3) malah terang-terangan menantang lawan-lawannya.
"Kita tidak akan menyerah," kata Kadhafi di hadapan ribuan pendukunganya di Bab Al Azizia, kompleks kediamannya yang Senin lalu (21/3) dibom pesawat koalisi. Para pendukung sang kolonel itu juga berada di tempat yang pernah dibom AS pada 1986 untuk menjadi benteng hidup.
"Kita akan mengalahkan mereka dengan segala cara. Kita akan keluar sebagai pemenang. Negara-negara fasis itu akan masuk tong sampah sejarah," lanjut pria yang berkuasa di Libya sejak 1969 tersebut dan disambut sorak-sorai pendukungnya sebagaimana dikutip Reuters.
Hillary menyampaikan, tanda-tanda bahwa orang-orang terdekat Kadhafi mulai memikirkan berbagai opsi ke depan itu dalam wawancara di kanal televisi ABC. Menurut istri mantan Presiden AS Bill Clinton itu, kontak tersebut dilakukan dengan berbagai jaringan mereka di Afrika, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Latin. "Memang begitulah Kadhafi selama ini, sulit ditebak. Bisa jadi ini hanya untuk mengulur-ulur waktu. Tapi, sebagian perkembangan itu bisa juga didalami," katanya.
Apa pun tengara yang disampaikan Hillary, yang pasti kemunculan Kadhafi di teras Bab Al Azizia itu, meski tak lama, sudah cukup menandakan betapa gempuran pasukan koalisi selama ini tidak sampai melemahkan dia dan pasukannya.
Di Misrata, kota di Libya Barat yang masih dikontrol pemberontak, misalnya, loyalis Kadhafi terus merangsek dengan tank dan persenjataan berat. Sebanyak 40 orang -sebagain besar warga sipil- dikabarkan tewas karena serangan pasukan pemerintah. Kubu pemberontak kesulitan melawan karena kalah persenjataan. Misrata mungkin tidak lama lagi jatuh lagi ke pasukan Kadhafi. Begitu pula di Ajdabiya, kota penting yang menjadi penghubung Libya Barat dengan Libya Timur.
Meski empat hari beruntun terus digempur koalisi, kekuatan pro-Kadhafi sama sekali tidak melemah. Upaya pemberontak yang berada di pinggiran kota untuk masuk ke jantung kota selalu dihalau pro Kadhafi. "Saya juga heran bagaimana mereka (pro-Kadhafi) bisa tetap bertahan di tengah gempuran bertubi-tubi (di Ajdabiya). Mungkin mereka bersembunyi di bawah tanah," kata salah seorang tentara pemberontak kepada The Guardian.
Kubu pemberontak memang sangat bergantung kepada bantuan serangan dari pasukan koalisi. Sebab, selain kalah senjata, mereka lemah dari sisi organisasi dan komunikasi akibat tidak adanya kepemimpinan yang jelas. Kebanyakan di antara mereka dahulu adalah warga sipil yang otomatis tidak punya pengalaman tempur.
Persoalannya, koalisi pun mulai dilanda sejumlah masalah. Selain terjadi perpecahan antaranggota Fakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), mereka menghadapi persoalan keuangan. Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis mulai megap-megap akibat besarnya biaya serbuan udara ke Libya itu.
Bayangkan, pada hari pertama operasi militer yang diberi nama "Perjalanan Fajar" itu saja, AS sudah menghabiskan USD 100 juta (sekitar Rp 850 miliar). Itu hanya digunakan untuk rudal. Diperkirakan, Negeri Paman Sam membutuhkan dana di atas USD 1 miliar (Rp 8,5 triliun) jika nekat meneruskan keterlibatannya di Libya.
Padahal, negeri yang masih dalam proses bangkit dari krisis finansial global yang melanda tiga tahun silam itu harus membiayai mesin-mesin perangnya di dua tempat lain, yakni Iraq dan Afghanistan. Di Afghanistan saja, per bulan si "Polisi Dunia" itu harus membelanjakan USD 9 miliar (Rp 76,5 triliun).
Tidak heran bila seorang pejabat senior di Bank Sentral AS mengingatkan bahwa negeri yang dipimpin Barack Obama itu terancam bangkrut. "Itu jika kita terus bertahan di jalur fiskal yang selama ini ditempuh para pemegang otoritas," ujar Richard Fisher, presiden Bank Sentral Cabang Dallas.
Fisher menyampaikan peringatan itu melalui pidato di Universitas Frankfurt, Jerman, kemarin. Di kalangan Bank Sentral AS, Fisher dikenal sebagai banker yang sangat hawkish alias konservatif.
Menurut Fisher, sekarang mulai terlihat lagi tanda-tanda ke arah krisis finansial. "Kita menyaksikan sekarang aktivitas yang sangat mungkin menggenjot harga komoditas kunci seperti minyak," katanya. Meski tidak langsung menyebut di Libya, jelas yang dia maksud adalah aktivitas militer di negeri Afrika Utara tersebut. Harga minyak memang menggelembung 24 persen sejak 14 Februari lalu atau sejak kondisi perpolitikan di Timur Tengah dan Afrika Utara semakin panas.
Peringatan Fisher tersebut didukung Todd Harrison, analis militer dari Center for Strategic and Budgetary Assessment. Menurut dia, sukses atau gagal operasi militer yang dilakukan koalisi, diperkirakan biaya yang dibutuhkan di atas USD 1 miliar.
"Untuk menjaga pemberlakuan zona larangan terbang saja, kemungkinan dibutuhkan dana USD 30 juta (Rp 255 miliar) hingga USD 100 juta (Rp 850 miliar) per pekan," tuturnya. Padahal, sebelum konflik Libya meletus, Pentagon (Kementerian Pertahanan AS) sudah berkoar bakal melakukan penghematan besar-besaran. Yakni, mengirit pengeluaran, menunda program persenjataan baru, dan mengurangi biaya pemeliharaan. Semua diperkirakan bisa menghemat dana hingga USD 78 juta (Rp 663 miliar).
Anggota Kongres AS dari Partai Republik Richard Lugar juga heran dengan keputusan Washington terlibat di Libya. "Aneh. Pada saat semua anggota kongres berbicara tentang defisit anggaran, kita malah kembali terlibat dalam kegiatan yang sangat menguras uang," katanya dalam acara Face the Nation di stasiun televisi CBS. Inggris juga mengalami kesulitan finansial serupa akibat keterlibatan mereka dalam serbuan ke Libya. Kemarin Perdana Menteri David Cameron bahkan menggelar rapat kabinet khusus membahas perkara tersebut.
Meski Downing Street (kediaman resmi perdana menteri Inggris) berupaya membantah, banyak pihak yakin bahwa Inggris bakal kesulitan membiayai operasi militer di negeri minyak terbesar di Afrika tersebut. Associated Press memperkirakan, per hari Inggris harus mengeluarkan dana 3 juta pounds (Rp 42 miliar) untuk membiayai kegiatan mereka di Libya. Jumlah yang tergolong besar karena perekonomian Inggris tidak sekuat Amerika.
Pemerintahan Perdana Menteri Cameron bahkan tengah bekerja keras mengatasi defisit anggaran belanja. Padahal, menurut Menteri Angkatan Bersenjata Inggris Nick Harvey, perang di Libya bisa berlangsung sangat lama. "Kemungkinan bisa sampai 30 tahun," katanya setengah bercanda tapi dengan maksud serius sebagaimana dilansir BBC.
Karena itulah, para anggota koalisi mulai terpecah tentang siapa yang harus memimpin operasi militer di Libya tersebut. Amerika dan Inggris meminta NATO yang mengambil alih. Tetapi, Prancis dan Jerman menolak.
Prancis dan Jerman khawatir, kalau NATO yang memimpin, itu akan menguatkan kesan yang selama ini dikampanyekan Kadhafi bahwa ini perang antara Islam melawan Kristen. Jerman bahkan secara resmi sudah menarik semua armada tempurnya. Langkah serupa juga dilakukan Turki yang menganggap serbuan udara ke Libya telah melampaui wewenang yang diberikan PBB kepada pasukan koalisi.
Cameron dan menteri luar negerinya, William Hague, pun sibuk menelepon para pemimpin negara anggota koalisi. Termasuk para anggota Liga Arab. Hasilnya tidak terlalu memuaskan. Dari Liga Arab, baru Qatar yang menyatakan hari ini akan mengirimkan pesawat untuk patroli di langit Libya. Jordania hanya bersedia menyiapkan logistik.
Mungkin karena perkembangan yang tak terlalu menggembirakan itulah, Presiden AS Barack Obama terdengar tidak terlampau optimistis ketika mengevaluasi operasi militer koalisi di Libya. Menurut dia, berhasil tidaknya Kadhafi ditumbangkan bergantung kepada bisa tidaknya rakyat Libya memanfaatkan momentum.
"Saya pikir "yang juga menjadi harapan kami semua" operasi militer ini bisa menciptakan ruang yang cukup untuk para pemberontak. Dengan begitu, mereka bisa mengorganisasi diri dan mengartikulasikan aspirasi mereka untuk rakyat Libya," katanya sebagaimana dikutip New York Times.(jpnn)