Belum juga reda polemik di tubuh koalisi dan desas-desus reshuffle kabinet, Presiden SBY kini tiba-tiba dikejutkan dengan pemberitaan dua harian Australia yang menudingnya telah menyalahgunakan kekuasaan. Ironisnya lagi, berita tersebut dirilis justru di saat Waprees Boediono sibuk menggelar kunjungan kerja ke Australia.
Seperti dipercundangi atau ditikam dari belakang mungkin, aib pemerintahan Indonesia justru diumbar oleh media-media Australia ketika Wapres Boediono bertamu ke negara itu. Suatu moment yang tidak bisa dianggap kebetulan begitu saja. Apalagi, pemberitaan dua media negeri Kangguru itu punya kaitan erat dengan dokumen-dokumen rahasia pemerintah AS yang dibocorkan Wikileaks soal skandal SBY dan kroni-kroninya.
Sebagaimana ramai diberitakan media-media Indonesia, dua harian Australia, The Age dan Sydney Morning Herald edisi 11 Maret 2011 melansir berita soal kawat-kawat rahasia Kedutaan Besar AS di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks. Kedua harian Australia itu memuat kawat yang berisi informasi tentang dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kawat-kawat diplomatik tersebut, yang diberikan WikiLeaks khusus untuk The Age, mengatakan, Presiden Yudhoyono secara pribadi telah campur tangan untuk memengaruhi jaksa dan hakim demi melindungi tokoh-tokoh politik korup dan menekan musuh-musuhnya serta menggunakan badan intelijen negara demi memata-matai saingan politik dan, setidaknya, seorang menteri senior dalam pemerintahannya sendiri.
Kawat-kawat itu juga merinci bagaimana mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Desember 2004 dilaporkan telah membayar jutaan dollar AS, sebagai uang suap, agar bisa memegang kendali atas Partai Golkar. Kawat-kawat itu juga mengungkapkan bahwa istri Presiden, Kristiani Herawati, dan keluarga dekatnya ingin memperkaya diri melalui koneksi politik mereka.
Menyikapi hal itu, Pemerintah Indonesia menyatakan protes keras kepada Pemerintah Amerika Serikat terkait pemberitaan The Age dan Sydney Morning Herald edisi 11 Maret 2011 yang memuat informasi kawat-kawat rahasia Kedutaan Besar AS di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat (11/3/2011) menyatakan, "Hari ini kami telah meminta kehadiran Bapak Dubes AS bukan saja menyampaikan protes keras melainkan melalui Bapak Dubes meminta penjelasan dan klarifikasi Pemerintah AS mengenai laporan yang dimaksud".
Atas hal tersebut, Kementerian Luar Negeri memanggil Duta Besar AS untuk Indonesia, Scott Marciel, untuk mengklarifikasi informasi di WikiLeaks sekaligus menyampaikan protes keras Indonesia kepada pemerintahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Scott menjelaskan bahwa informasi yang termuat di kedua harian Australia berdasarkan WikiLeaks tersebut merupakan informasi mentah yang dihimpun Kedutaan Besar AS di Jakarta. Informasi tersebut belum dapat dijadikan bukti yang benar dan tidak mewakili sikap Pemerintah AS.
Sementara itu, sejumlah pejabat tinggi Indonesia yang menilai informasi WikiLeaks itu sebagai bagian dari serangan pihak-pihak asing terhadap Indonesia. Hal itu dingungkapkan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Hatta Rajasa dan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Hatta yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu menyatakan, "Ini semua mengandung serangan asing kepada kita. Hati-hati kita".
Sebagaimana dikutip Harian Kompas, berdasarkan temuan WikiLeaks, SBY secara pribadi telah campur tangan untuk memengaruhi jaksa dan hakim demi melindungi tokoh-tokoh politik korup dan menekan musuh-musuhnya serta menggunakan badan intelijen negara demi memata-matai saingan politik dan, setidaknya, seorang menteri senior dalam pemerintahannya sendiri.
Laporan-laporan diplomatik AS yang diungkap WikiLeask mengatakan, segera setelah menjadi presiden pada tahun 2004, Yudhoyono mengintervensi kasus Taufik Kiemas, suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Yudhoyono dilaporkan telah meminta Hendarman Supandji, waktu itu Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus, menghentikan upaya penuntutan terhadap Taufik Kiemas untuk apa yang para diplomat AS gambarkan sebagai "korupsi selama masa jabatan istrinya".
Pada Desember 2004, kedutaan AS di Jakarta melaporkan bahwa salah satu informan politiknya yang paling berharga, yaitu penasihat senior Yudhoyono sendiri, TB Silalahi, sudah menyarankan Hendarman Supandji yang telah mengumpulkan "cukup bukti tentang korupsi Taufik Kiemas untuk menangkap Taufik".
Namun, Silalahi, salah seorang kepercayaan Yudhoyono di bidang politik, mengatakan kepada kedutaan AS bahwa Presiden "secara pribadi telah memerintahkan Hendarman untuk tidak melanjutkan kasus Taufik". Tidak ada proses hukum yang diajukan terhadap Taufik, seorang tokoh politik berpengaruh yang kini menjadi Ketua MPR.
Selain itu, Kawat-kawat diplomatik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta juga turut mencatat penurunan popularitas politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini dikarenakan sejumlah skandal politik yang terjadi sejak akhir 2009 hingga 2010.
Demikian dilansir Asia Sentinel dengan mengacu pada bocoran kabel diplomatik AS yang didapat WikiLeaks, Jumat (11/3/2011). Penurunan popularitas politik SBY dilatarbelakangi dua hal. Selain konflik Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada juga kisruh kasus bailout Bank Century.
"Dengan latar belakang ini Kedutaan AS melaporkan bahwa Yudhoyono semakin 'lumpuh' seiring popularitas politiknya berkurang," tulis Asia Sentinel.
Konflik berkepanjangan antara Kepolisian RI dan KPK, lanjut Asia Sentinel, telah merusak kredibilitas lembaga anti korupsi tersebut. Sementara itu, penyelidikan bailout Bank Century menyeret Wakil Presiden Boediono yang kala itu adalah Gubernur Bank Indonesia.
"Sebuah lembaga anti korupsi non-pemerintah secara khusus mengatakan kepada Kedubes AS bahwa mereka memiliki infomasi yang kredibel tentang aliran dana Bank Century yang digunakan untuk mendanai kampanye Presiden SBY," tegasnya.
Lebih lanjut, sehubungan dengan kondisi perpolitikan Indonesia, Asia Sentinel menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi jika demokrasi Indonesia telah diperkuat selama 13 tahun terakhir. Kepemimpinan mantan Presiden Soeharto yang dinilai diktator telah diganti dengan sistem politik yang kompetitif. Sistem politik itu bercirikan perdebatan yang kuat dan media bebas.
Meski pun begitu, seperti diungkap bocoran kabel diplomatik AS, beberapa kebiasaan rahasia dan korupsi dari masa kepemimpinan Soeharto masih tetap bertahan dalam masa jabatan Presiden SBY pada saat ini.(irib)