Setelah mengakhiri sidang, para menteri luar anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) pada hari Rabu (20/4) kemarin, mengeluarkan statemen bersama yang mengulang klaim klise terkait intervensi Iran dalam urusan internal negara-negara Arab. Menteri Luar negeri Uni Emirat Arab, Sheikh Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan dalam konferensi pers mengatakan, "Iran harus mengubah kebijakannya." Statemen ini mengemuka di saat gelombang protes rakyat tertindas Bahrain tidak bisa dibendung oleh rezim Manama.
Sebulan terakhir ini, rezim Al Khalifa menggunakan kekerasan dalam menyikapi para pendemo damai. Hal itu juga didukung rezim-rezim Arab, terutama Saudi. Ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terang-terangan. Akan tetapi sangat disayangkan Uni Eropa dan P-GCC malah cenderung bersikap standar ganda dan memilih bungkam.
Tak diragukan lagi, apa artinya sebuah hak asasi manusia bagi Barat?!! Selama rezim-rezim di kawasan menguntungkan Barat, pelanggaran hak asasi manusia harus segera dijustifikasi sedemikian rupa untuk tetap menjaga kepentingan Barat di kawasan. Hak asasi manusia hanyalah sebuah alat untuk menjaga hegemoni. Menurut teori imperialisme, hak asasi manusia sama sekali tidak mempunyai substansi independen. Dengan ungkapan lain, substansi hak asasi manusia bergantung penuh pada kepentingan kekuasaan.
Sangat disayangkan, negara-negara anggota P-GCC yang semestinya memperingatkan anggota pelanggar hak asasi manusia, malah bersedia membungkam hak sipil yang paling rendah, yakni hak memilih. Pada dasarnya, masyarakat Bahrain hanya menuntut hak pilih yang merata bagi semua rakyat. Namun tuntutan demokrasi yang selalu didengungkan di dunia ini, malah dianggap tuntutan kriminal yang harus dibungkam. Inilah dualisme nyata Barat dan para penguasa yang hanya mendahulukan kepentingan kelompok tertentu atau keluarga dari kepentingan rakyat.
Sementara itu, Republik Islam Iran menentang segala bentuk diskriminasi dan kekerasan kepada rakyat yang menuntut hak mereka. Namun penentangan ini malah dianggap sebagai bentuk intervensi Tehran atas negara-negara di kawasan. Padahal Iran mempunyai kebijakan luar negeri yang jelas. Segala bentuk penindasan dan kekerasan adalah hal yang ditolak oleh Republik Islam Iran. Apakah sikap semacam ini adalah hal yang salah?!! Oleh karena itu, Menteri Luar Negeri Iran, Ali Akbar Salehi menulis surat secara terpisah kepada Sekjen PBB dan Ketua Dewan Keamanan (DK) PBB supaya mengupayakan penghentian pembunuhan massal di Bahrain.
Apa yang terjadi di Bahrain sama halnya dengan gejolak rakyat di Tunisia, Mesir, Libya dan negara-negara kawasan lainnya yang menuntut hak mereka. Akan tetapi P-GCC berusaha menyimpangkan fenomena yang terjadi di Bahrain dan mengangkat isu Syiah-Sunni. Dalam hal ini, Iran adalah sasaran yang tepat dijadikan sebagai kambing hitam. Apalagi pemerintah Iran disebut-sebut sebagai sealiran dengan mayoritas masyarakat Bahrain yang juga penentang rezim Al-Khalifa. (irib)