9 Mar 2011

Belajar Dari Libya

ImageKejatuhan Khadafi masih sulit diramalkan melihat sikap kerasnya selama ini. Sekalipun posisi pemimpin Libya Moammar Khadafi, kian hari kian terpojok. Pasukan anti-pemerintah didukung pasukan tentara yang sebagian sudah desersi ikut memberontak, bahkan kini semakin mendekati ibukota Tripoli mendesak Khadafi mundur. Namun secara de facto, Khadafi masih tetap memegang kendali pemerintahan dan angkatan perang selaku penjaga revolusi yang direbutnya 42 tahun lalu.


Perang saudara di Libya sepertinya tidak bisa terelakkan lagi, bakal terjadi pertumpahan darah besar-besaran, jika Khadafi dan para loyalisnya nekat menggunakan kekuatan senjatanya, termasuk tentara bayaran, untuk mempertahankan pemerintahannya. Hanya dengan begitu, Khadafi mampu bertahan di tengah semakin banyaknya tekanan dunia terhadapnya, termasuk sanksi PBB dan ancaman Amerika yang sejak dulu memang berupaya menjatuhkan Khadafi karena sifat menentangnya.


Tak pelak lagi, posisi pemerintahan Khadafi yang sudah berkuasa empat dekade saat ini benar-benar dalam posisi sangat gawat. Berada di ujung tanduk, atau sudah di tepi jurang dalam. Khadafi tentu tidak mengira, kalau rakyatnya begitu berani melawannya. Padahal, selama ini, rakyat Libya terlihat tenang-tenang saja, damai dan sejahtera.


Ada apa dengan rakyat Libya sebenarnya?


Ternyata, kedamaian di Libya tidak seperti yang terlihat di permukaan. Kondisi ekonomi negara kaya minyak dan gas itu menyimpan ‘’bara api’’ tak ubahnya ‘’api dalam sekam’’ sehingga pergolakan politik yang terjadi di sejumlah negara Afrika dan jazirah Arab, seperti Tunisia, Mesir, Yordania dll lantas dengan mudah merembet ke negaranya.


Khadafi sendiri menjalankan pemerintahannya secara otoriter dan kontroversial. Benih-benih oposisi selama empat dekade berhasil disapunya, bersih, sehingga tidak terlihat adanya upaya dari lawan-lawan politik Khadafi, namun di bawah permukaan sebenarnya rakyat Libya sudah ‘’muak’’ juga dengan gaya pemerintahannya yang terlalu lama berkuasa. Rakyat Libya ingin perubahan sekalipun kehidupan mereka sebenarnya cukup makmur.


Masa 42 tahun memang cukup lama. Sudah sewajarnya kalau Khadafi berpikir rasional untuk mundur secara baik-baik tanpa harus melalui pertumpahan darah. Kalau hanya ratusan orang yang mendesak mundur, Khadafi tentu tidak perlu mundur. Tapi, kalau sejumlah daerah sudah bergolak, sampai-sampai massa anti-Khadafi menguasai sejumlah wilayah dengan dukungan senjata canggih dan tank-tank yang diambil alih rakyat dari tentara, maka semestinya Khadafi mengedepankan masyarakat dan rakyat ketimbang kekuasaan.


Dikenal sebagai pemimpin Arab yang eksentrik, Khadafi mampu melewati masa-masa sulit ketika PBB dengan Amerika melakukan embargo ekonomi dan persenjataan. Hubungan Libya dengan Amerika mengalami ketegangan tahun 1979. Massa rakyat Libya yang anti-Amerika menggelar demonstrasi pro-Iran pada Desember 1979, dan membakar gedung Kedutaan Besar AS di Tripoli, ibukota Libya. Presiden Amerika Jimmy Carter marah besar, langsung mengerahkan pesawat-pesawat tempurnya dan menembak jatuh dua pesawat tempur Libya di atas Teluk Sidra. AS menutup kedutannya di Tripoli pada Februari 1980. Dibalas Libya juga menutup kedutaannya di Washington.


Enam tahun kemudian Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan memerintahkan penghentian hubungan dagang dan ekonomi, disusul pembekuan aset-aset Libya di AS. Selain memutus diplomatik, embargo keuangan dan perdagangan, Amerika juga berusaha menyingkirkan Khadafi dengan berbagai cara, termasuk menyerang ala militer.


Pesawat-pesawat tempur Amerika membombardir Tripoli, Benghazi, dan kemah Khadafi pada April 1986, sebagai balasan atas pemboman diskotek di Berlin Barat yang dipakai sebagai tempat hiburan tentara AS. Gempuran pesawat tempur AS menewaskan setidaknya 15 orang, termasuk putri angkat Khadafi yang masih kanak-kanak.


Catatan lain, Libya dituduh berada di belakang kasus meledaknya pesawat Pan America (Pan An) dengan nomor penerbangan 103 pada Desember 1988. Pesawat yang berangkat dari London menuju New York meledak di atas Lockerbie (Skotlandia) dan menewaskan 259 orang di pesawat serta 11 orang lainnya tewas di darat. Akibatnya, lagi-lagi Dewan Keamanan PBB menerbitkan resolusi 748 dan 883 pada tahun 1992/1993, dan menjatuhkan sanksi berat.


Lama menjadi teka-teki, baru tahun 1999 Libya menyatakan bertanggung jawab atas tragedi Lockerbie. Tripoli menyerahkan dua terdakwa peledakan pesawat untuk diadili di Belanda dan bersedia membayar ganti rugi kepada keluarga korban senilai 2,7 miliar dollar AS pada tahun 2003. Atas langkah ini, Dewan Keamanan PBB mencabut sanksi untuk Libya dan didukung AS. Bulan lalu, pejabat Libya yang anti-Khadafi membocorkan ke media internasional kalau Khadafi lah yang memerintahkan pengboman itu.


Kiranya, Indonesia bisa belajar dari Libya. Rakyatnya hidup berkecukupan belum tentu loyal dengan pemimpinnya (otoriter). Beruntunglah pemimpin di negara kita, rakyat miskin semakin banyak, pemimpinnya bisa hidup tenang di atas penderitaan ‘’wong cilik’’.+(waspadamedan.com)

Artikel Terkait

- Reviewer: Asih - ItemReviewed: Belajar Dari Libya Deskripsi: Kejatuhan Khadafi masih sulit diramalkan melihat sikap kerasnya selama ini. Sekalipun posisi pemimpin Libya Moammar Khadafi, kian hari kian ... Rating: 4.5
◄ Newer Post Older Post ►