Rusia mengancam akan terus mengembangkan senjata nuklirnya jika Amerika Serikat gagal meratifikasi Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis baru (START).
Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin, kepada pembawa acara televisi CNN, Larry King (1/12) menyatakan, "Kami sudah mengatakan bahwa ini adalah yang akan terjadi jika kita tidak menyetujui upaya bersama."
Ditambahkannya bahwa Rusia akan terpaksa bereaksi dengan mengembangkan teknologi baru senjata nuklirnya jika seluruh upaya gagal, demikian dilaporkan AFP.
START ditandatangani April lalu oleh Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev.
Meski demikian, perjanjian itu belum disahkan oleh Senat AS menyusul banyak tokoh di kubu Republik yang menunjukkan keengganan mereka terhadap perjanjian tersebut.
Berdasarkan START baru kedua negara hanya berhak memiliki maksimal 1.550 hulu ledak nuklir selama tujuh tahun mendatang. Jumlah itu berarti reduksi hingga 30 persen dari batas yang telah ditentukan tahun 2002.
Kedua negara juga harus mematuhi seluruh peraturan baru termasuk verifikasi dan pengawasan.
Pada hari Selasa (30/11), Obama menilai ratifikasi START "sangat penting untuk keamanan nasional Amerika setelah pertemuannya dengan pemimpin Partai Demokrat dan Republik di Gedung Putih.
Obama menegaskan bahwa hal itu akan memungkinkan AS untuk "memantau persenjataan nuklir Rusia, mereduksi jumlah senjata nuklir di dalam negeri dan memperkokoh hubungan dengan Rusia."
Kongres telah mengadakan 18 kali sidang dengar pendapat soal ratifikasi perjanjian selama tujuh bulan terakhir.
Partai Republik di Senat enggan menyetujui ratifikasi START dan berpendapat bahwa persenjataan nuklir AS perlu dimodernisasi dan penandatangan perjanjian itu hanya akan menghambat proses tersebut.
AS dan Rusia memiliki 95 persen dari cadangan senjata nuklir di seluruh penjuru dunia. (Irib.ir)