WASHINGTON – Presiden AS Barack Obama memuji Perdana Menteri David Cameron yang baru terpilih di Inggris. Presiden kulit hitam pertama AS tersebut mengindikasikan bahwa Gedung Putih akan berusaha memperbaiki “hubungan khusus” dengan Inggris setelah mengalami penurunan pada masa pemerintahan Gordon Brown.
Barack Obama memuji perdana menteri baru Inggris tersebut sebagai sosok “pemimpin yang cerdas, berdedikasi, dan efektif yang akan mampu bekerja sama dengan baik dengan kami.”
Dalam sebuah panggilan telepon ke Downing Street sesaat setelah Cameron tiba pada hari Selasa malam, Obama mengungkapkan mengenai “hubungan luar biasa khusus antara Amerika Serikat dan Inggris Raya.”
Hubungan tersebut, kata Obama, “Merupakan salah satu (hubungan) yang mampu melampaui partai apa pun, pemimpin mana pun dan telah dibangun selama berabad-abad.”
Berbicara dalam sebuah konferensi pers di Gedung Putih dengan Presiden Afghanistan Hamid Karzai, Obama mengatakan bahwa Cameron telah meyakinkan dirinya mengenai komitmen Inggris terhadap perang Afghanistan.
“Saya yakin pemerintahan baru (Inggris) akan mengakui bahwa membantu agar Presiden Karzai mencapai keberhasilan adalah hal yang penting bagi semua negara mitra koalisi,” kata Obama.
Presiden AS tersebut mengundang Cameron untuk berkunjung ke Washington pada akhir Juli. Dua pemimpin tersebut akan saling berbagi strategi internasional untuk pertama kalinya dalam pertemuan G-20 di Toronto, Kanada.
Puji-pujian Obama tersebut berseberangan dengan laporan penilaiannya, yang ditulis setelah sebuah pertemuan pada tahun 2008, bahwa Cameron “penuh gaya,” sementara Brown “penuh isi.”
Seperti apa pun pandangan Obama terhadap kepribadian Inggris, sesaat setelah ia menjabat, terlihat bahwa Obama tidak memiliki kedekatan dengan Inggris seperti para pendahulunya.
Brown merasa dilalaikan ketika ia menerima hadiah berupa kotak DVD dalam kunjungan pertamanya ke Washington. Dia harus mengikuti Obama hingga ke dapur gedung PBB di New York pada Majelis Umum PBB September tahun lalu hanya untuk berdialog empat mata dengan pemimpin AS tersebut.
Sebagai gantinya, Gedung Putih dibuat kaget dengan keputusan Skotlandia membebaskan seorang warga Libya yang dihukum dalam kasus Lockerbie atas dasar kemanusiaan.
Namun, pengorbanan bersama di Afghanistan dan posisi yang sama dalam masalah Iran, reformasi ekonomi global dan perubahan iklim mengindikasikan bahwa pandangan pemerintah AS telah mulai berubah.
William Hague, menteri luar negeri baru Inggris, sebelumnya menegaskan kembali posisi kampanye Tory bahwa hubungan transatlantik haruslah “kuat namun tidak ada yang bersikap layaknya majikan atau bawahan.”
Sebutan “hubungan khusus” merupakan fakta sekaligus fiksi. Istilah tersebut sudah dipergunakan sejak era Winston Churchill, pasca Perang Dunia II. Sejak saat itu, para pemimpin Inggris yakin bahwa tidak ada hubungan yang lebih penting selain hubungan Amerika Serikat dan Inggris Raya. Para presiden AS juga mengembangkan hubungan dekat dengan pemimpin Inggris.
Namun, khususnya di Inggris, semakin banyak yang meyakini bahwa Cameron, dalam kapasitas sebagai perdana menteri Inggris, harus mencari jalan sendiri. Tidak harus terpisah dari AS, namun juga tidak perlu terlalu dekat. Sebagian besar mengeluh karena dalam satu dekade terakhir, dalam kerja sama kedua negara, Inggris dipandang sebagai bawahan.
Keluhan tersebut khususnya amat mengena kala perang Irak sedang panas-panasnya. Perdana menteri Inggris kala itu, Tony Blair, menjalin aliansi dengan George W. Bush, mendukung konflik yang bahkan lebih tidak populer di Inggris ketimbang di AS sendiri.
Tidak ada pejabat AS maupun Inggris yang yakin bahwa Partai Konservatif Cameron, yang menjalin koalisi dengan Partai Liberal Demokrat, akan melakukan perubahan kebijakan luar negeri yang signifikan, khususnya di Afghanistan dan dalam menangani program nuklir Iran. Para pejabat AS menekankan bahwa hubungan dengan Inggris penting, sama seperti sebelumnya.
“Kerja sama yang kita jalin dengan Inggris adalah kemitraan strategis yang amat bernilai,” kata seorang pejabat senior AS sebelum pemilu Inggris. Meski ia mengakui upaya AS untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara Eropa lain dan juga di Asia, ia menambahkan: “AS dan Inggris melihat dunia dengan kacamata yang sama, dan Inggris terlibat dan berperan aktif dengan berbagai cara yang penting bagi kami.”
Namun, sebagian karena gaya diplomasi Obama tidak tampak terlalu akrab dengan para pemimpin asing dan tidak terlihat terlalu sentimental mengenai hubungan jarak jauh, juga karena pertanyaan mengenai posisi Inggris di dunia, maka pertimbangan ulang hubungan kedua negara mungkin tidak dapat dihindarkan.
“Dibanding dulu, kami sekarang menjadi kurang yakin bahwa kami relevan dengan Amerika,” kata Robin Niblett, direktur Chatham House, sebuah think tank Inggris. Bahkan sebelum Partai Konservatif dan Liberal Demokrat membentuk koalisi, Niblett mengatakan hasil akhir pemilu mungkin saja menelurkan “pemerintahan Inggris yang lebih hati-hati dalam menyikapi hubungannya dengan Amerika Serikat.”
Baik Cameron maupun Nick Clegg, pemimpin Liberal Demokrat yang menjadi deputi perdana menteri dalam pemerintahan koalisi pertama di Inggris sejak Perang Dunia II, mempertanyakan konsep “hubungan khusus.”
Saat konflik Irak memanas, Cameron mengkritik Blair. Ia memperingatkan bahwa hubungan dengan AS terlalu bersifat sepihak. “Hingga saat ini, kita belum pernah menjadi rekan Amerika yang tidak penting,” kata Cameron kala itu.
Ia menambahkan, “Saya khawatir bahwa kita telah kehilangan seninya baru-baru ini. Saya khawatir bahwa jika kita melanjutkan seperti yang saat ini, kita mungkin mengombinasikan keterbukaan maksimum dengan pengaruh minimum terhadap keputusan yang diambil. Lebih cepat menemukan keseimbangan yang benar, lebih baik bagi Inggris dan hubungan kedua negara."
(suaramedia)