Dimulai revolusi rakyat Tunisia di Afrika Utara hingga menjalar ke negara-negara emir di Teluk Persia dalam menentang rezim-rezim otokratik dan despotik, telah menjungkir-balikkan perimbangan politik dan geopolitik di kawasan Timur Tengah. Fenomena itu sangat berdampak buruk bagi rezim Zionis Israel melebihi pihak-pihak lain. Kekhawatiran Tel Aviv itu terefleksikan dalam berbagai laporan dan pemberitaan media massa Barat dan juga dari pernyataan para pejabat Israel sendiri.
Koran Financial Times terbitan Inggris dalam laporannya mengenai dampak buruk dari kondisi di Timur Tengah terhadap masa depan Israel dan juga kekhawatiran para pejabat Zionis menyebutkan, "Orang-orang Israel mengikuti gelombang protes rakyat regional dengan penuh kekhawatiran". Ditambahkan bahwa kekhawatiran tersebut dengan mudah disaksikan dari pernyataan para pejabat tinggi Tel Aviv. Sebagian di antara mereka mengkhawatirkan esensi dan tujuan sebenarnya kelompok-kelompok oposisi Arab. Sebenarnya kekhawatiran yang sama juga dirasakan oleh Barat. Namun kekhawatiran mereka tidak seberapa jika dibandingkan dengan kekhawatiran Israel.
Pengamat politik dan mantan direktur kementerian luar negeri Israel, Shlomo Avineri mengatakan, "Agenda Israel sangat berbeda dengan agenda Eropa atau Amerika Serikat. Bagi orang yang hidup di Eropa, instabilitas yang terjadi di Mesir sangat buruk. Akan tetapi di sini (Israel) kondisi seperti itu, bukan hanya buruk melainkan juga akan mengubah kehidupan. Setelah 30 tahun berdamai dengan Mesir, sekarang tidak jelas apa yang akan terjadi. Kekhawatiran Israel juga semakin meningkat menyusul bentrokan dengan kelompok-kelompok Palestina pimpinan Hamas di Jalur Gaza".
Di lain pihak, pernyataan Efraim Halifi, mantan ketua Dinas Rahasia Israel, merefleksikan shock berat para pejabat Israel dalam mereaksi kebangkitan rakyat di negara-negara Timur Tengah. Kepada BBC ia mengakui terjadinya perubahan pentas potlik di Timur Tengah seraya mengatakan, "Kondisi yang ada ini tidak akan bertahan lama, bahkan sebelum berbagai peristiwa di Mesir, saya tidak mampu memprediksikan sampai kapan kondisi ini dapat dipertahankan. Namun dengan situasi sekarang ini, sulit sekali untuk mengontrol kondisi. Oleh karena itu, Israel perlu menyusun politik baru."
Menurut seorang analis Israel, fenomena saat ini bak kisah seribu satu malam, ‘jin revolusi' telah terbebaskan dari lampu sihir, dan saat ini terbang bebas di atas langit Timur Tengah. BBC dalam laporannya menyangkut dampak dari kebangkitan rakyat kawasan khususnya tumbangnya rezim diktator Hosni Mubarak di Mesir menyebutkan, "Dalam 35 tahun terakhir, hubungan strategis dengan Mesir yang stabil, merupakan pondasi seluruh politik strategis Israel, namun kini pondasi itu telah sirna."
Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, dalam sebuah pernyataannya yang dikemukakannya karena kekhawatiran mendalamnya atas transformasi di Timur Tengah, ia tidak mampu menyembunyikan lagi kekhawatirannya jika sampai revolusi di Timur Tengah terinspirasi dari Revolusi Islam Iran. Dikatakannya, "Kami tidak tahu apakah revolusi di dunia Arab mirip dengan revolusi tahun 1989 di Eropa Timur atau lebih mirip dengan Revolusi Islam Iran tahun 1979."
Ditambahkannya, "Kami berharap, revolusi di kawasan lebih mirip dengan revolusi di Eropa Timur, namun kami tidak dapat memastikannya, sehingga kami juga tidak dapat menentukan politik apa yang harus dijalankan. Lima tahun lalu, terjadi revolusi di Lebanon dan lebih dari satu juta warga Lebanon turun ke jalan-jalan menuntut perubahan demokratik di negara itu. Lima tahun berlalu, dan kini kami berhadap-hadapan dengan Hizbullah. Begitu juga beberapa tahun lalu kami, mundur dari Jalur Gaza, dan kini kami terpaksa berhadap-hadapan dengan Hamas."
Pada hakikatnya, perubahan di Timur Tengah dan kendala yang dihadapi politik Amerika Serikat menyangkut Timur Tengah, telah dimulai sejak kemenangan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Pasca Revolusi Islam, Amerika Serikat berupaya mengubah geopolitik di kawasan menjadi anti-Iran. Tujuannya adalah menguasai sumber-sumber minyak di kawasan dan juga menjamin ketenteraman rezim Zionis Israel. Politik itu tidak akan berhasil jika tidak diimbangi dengan langkah rezim-rezim Arab.
Rezim Arab seperti di antaranya, rezim Mubarak di Mesir, memainkan peran strategis dalam memuluskan politik Amerika Serikat untuk Timur Tengah dan juga politik sadis rezim Zionis Israel. Proses perundingan damai rezim-rezim despotik Arab dengan Israel, dimulai dengan ditandatanganinya perjanjian Camp David antara Amerika, Israel, dan Mesir pada tahun 1979. Pada tahun yang sama, tokoh revolusioner Mesir, Anwar Saadat juga diteror oleh seorang perwira militer Khaled Islambuli. Hosni Mubarak muncul menggantikan posisi Anwar Saadat.
Selama 31 tahun era kekuasaannya, Mubarak menjadi pelaksana politik Amerika Serikat untuk Timur Tengah. Di lain pihak, rezim Zionis Israel juga dengan mudah menggulirkan politik penjajahannya dengan mengandalkan rezim Mubarak. Melalui sebuah perundingan bertele-tele dengan sebuah kelompok Palestina, Israel mampu mengklaim diri sebagai pihak yang mendukung perdamaian di kawasan. Namun menyusul gelombang revolusi di kawasan saat ini, rangkaian perundingan tersebut telah terlupakan.
Seperti yang telah disebutkan, perimbangan politik dan geopolitik di Timur Tengah mulai berubah sejak kemenangan Revolusi Islam Iran. Dalam satu dekade terakhir, proses perubahan di kawasan sedemikian cepat sehingga Israel terpaksa harus mengubah kebijakannya sewaktu-waktu. Intifada Palestina, memperkokoh front perjuangan Islam di Lebanon dan Palestina pendudukan. Penarikan mundur pasukan rezim Zionis dari Lebanon selatan pada tahun 2000, merupakan titik awal dari berakhirnya era pendudukan Israel.
Sejak dibentuk secara ilegal pada tahun 1948, rezim Zionis tidak pernah mundur dari sebuah kawasan tanpa memperoleh konsesi. Namun penarikan mundur dari Lebanon selatan itu dilakukan tanpa mendapat konsesi dan pada hakikatnya merupakan pengakuan kekalahan Israel terhadap gerakan muqawama Lebanon. Hal yang sama juga menimpa Israel di Jalur Gaza. Ketidakmampuan Tel Aviv menghadapi perlawanan heroik Hamas, memaksa militer Israel menarik mundur pasukan dan mengosongkan pangkalannya di Jalur Gaza.
Pada tahun 2006 dan 2009, Israel melancarkan serangan massif ke Lebanon dan Palestina setelah mendapat lampu hijau dari Amerika Serikat. Serangan tersebut tidak lain bertujuan memberangus gerakan muqawama di Lebanon dan Palestina. Namun perlawanan dahsyat para pejuang Hizbullah selama 33 hari dan perjuangan para anggota Hamas dan warga Gaza selama 22 hari, telah meruntuhkan mitos ‘tak terkalahkan' yang hingga kala itu disandang oleh militer Zionis. Menyusul kekalahan memalukan itu, pemerintahan mantan perdana menteri Ehud Olmert, runtuh dan bubar. Tidak hanya itu, kepercayaan warga Zionis terhadap kemampuan para pejabat Israel dalam menjamin keselamatan dan keamanan pun menurun tajam.
Namun yang dihadapi rezim Zionis Israel saat ini, jauh lebih mengkhawatirkan. Yang dipertaruhkan Israel saat ini adalah masa depan eksistensinya. Betapa tidak, dukungan politik, finansial, dan militer Amerika Serikat dan pemerintahan Eropa ternyata tidak mampu mempertahankan rezim-rezim despotik dan otokratik Arab. Keamanan Israel pun berada di ujung tanduk.
Di sisi lain, perundingan damai Timur Tengah yang dikampanyekan Amerika Serikat juga telah lama berakhir dan bahkan telah "dimuseumkan" menyusul transformasi terbaru di kawasan. Juru Bicara Hamas, Qadhi Hamd, dalam hal ini memberikan penjelasan baru kepada BBC dan mengatakan, "Menurut saya, rakyat regional akan menorehkan sejarah baru, baik di Palestina, Tunisia, Mesir, maupun di negara-negara lain. Dalam waktu dekat, kondisi akan berubah total. Oleh karena itu, menurut saya Israel harus memahami bahwa era penjajahan telah berakhir, karena rakyat tetangga Israel, seperti di Mesir, Lebanon, dan Suriah, telah geram dan mereka semua mendukung muqawama serta menentang pendudukan".(irib)