Serangan udara NATO di Libya kembali dipertanyakan efektifitasnya, setelah koalisi Barat membombardir dan tidak menargetkan pangkalan militer strategis milik pemimpin Libya. Hal ini memungkinkan rezim penguasa Libya Muammar Gaddafi untuk terus membunuh warga sipil.Barat
Namun, untuk menunjukkan dukungan kepada revolusioner Libya, koalisi Barat melakukan serangan udara yang tidak efektif dan sesekali di pangkalan militer Libya. Pasukan revolusioner Libya bahkan menuduh pasukan Barat berpihak dengan rezim Gaddafi. Demikian dilaporkan Press TV pada hari Rabu (20/4).
Sementara itu, penduduk di wilayah pegunungan barat Libya mengatakan pasukan Gaddafi telah meningkatkan serangan ke kawasan itu. Puluhan warga sipil dilaporkan tewas dalam serangan selama sepekan terakhir dan sejumlah lainnya terluka.
Koalisi Barat menggelar serangan udara besar-besaran untuk melawan kekuatan rezim Gaddafi pada tanggal 19 Maret di bawah mandat PBB. Serangan itu bertujuan melindungi rakyat Libya. Namun, ratusan warga sipil tewas sejak pasukan pimpinan Amerika Serikat melancarkan serangan udara ke negara Afrika Utara itu.
Sebelumnya, NATO mengaku membunuh pasukan revolusioner dan warga sipil dalam serangan udara di timur Libya, tapi menolak meminta maaf atas pengeboman yang mematikan.
Pasukan oposisi telah sering mengkritik NATO karena gagal mencegah pembunuhan warga sipil oleh pasukan Gaddafi. Revolusioner pernah mengancam untuk meminta Dewan Keamanan PBB menangguhkan misi NATO di Libya, jika aliansi militer itu gagal menjalankan misinya dengan baik.
Menurut berbagai laporan, perang di Libya sejauh ini telah menewaskan sekitar 10.000 orang dan melukai lebih dari 50, 000 lainnya. Jumlah korban tewas baru diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini pada hari Selasa, setelah dia mengadakan pembicaraan di Roma dengan pemimpin revolusi Libya, Mustafa Abdel Jalil. (irib)