Jelang pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton, yang digelar pada 29 April mendatang, ajang pernikahan termahal kerajaan Inggris itu makin santer dibicarakan media-media setempat. Yang paling kentara adalah isu seputar mahalnya ongkos pernikahan tersebut. Ironisnya biaya besar tersebut justru dikeruk dari uang rakyat, bukan dari kekayaan keluarga kerajaan. Bahkan, Daily Mail mengukuhkan pernikahan Kate-William paling mahal dalam sejarah Inggris. Diperkirakan pernikahan cucu Ratu Elizabeth II itu menguras uang rakyat hingga 20 juta poundsterling (Rp 285 miliar).
Sementara Globe and Mail, koran terbitan Kanada malah meramalkan biaya pernikahan pasangan Kerajaan Inggris itu mencapai USD 78 juta (Rp 673 miliar). Padahal, menurut salah satu kajian, rata-rata pernikahan orang Inggris hanya membutuhkan biaya USD 29.000 (Rp250 juta). Ironisnya lagi, biaya itu di luar ongkos pengamanan polisi dan aparat keamanan menyusul adanya ancaman serangan terorisme dalam pesta penikahan itu. Diperkirakan biaya pengamanan bakal menghabiskan sekitar 95 juta euro.
Tentu saja kenyataan tersebut sangat ironis bila disandingkan dengan situasi perekonomian Inggris yang belum sepenuhnya lepas dari deraan krisis. Sayangnya, keluarga kerajaan sepertinya tak punya empati sama sekali. Mereka malah menggelar pesta pernikahan yang sangat mewah. Kendati keluarga kerajaan memiliki kekayaan hingga miliaran dolar, namun masih saja menghambur-hamburkan uang rakyat untuk sekedar menghelat sebuah pesta pernikahan.
Parahnya lagi, sebagaimana dilaporkan Press TV, penetapan 29 April sebagai hari libur nasional juga telah merugikan ekonomi Inggris sekitar USD 9,6 miliar atau Rp 86,4 triliun. Sedangkan menurut Konfederasi Industri Inggris, kerugian ekonomi akibat hari libur itu mencapai USD 6,4 miliar atau Rp 57,6 triliun. Angka yang tidak sedikit dalam menggerakkan ekonomi rakyat Inggris.
Padahal dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah Inggris menerapkan kebijakan penghematan ekonomi yang sangat ketat. Akibatnya, anggaran untuk kesejahteraan publik pun dipangkas habis-habisan. Diperkirakan, penghematan ekonomi tersebut bakal menghapus sekitar 15 ribu lapangan kerja hingga lima tahun ke depan.
Ironi ini menunjukkan bahwa pemerintah Inggris lebih memilih gengsi sebuah pesta pernikahan ketimbang menyejahterakan rakyatnya sendiri. Di saat sebagian besar rakyat Inggris berjuang untuk lepas dari jeratan krisis ekonomi dan pengangguran, namun negara justru menguras uang pajak rakyat untuk sebuah perayaan semu.
Menariknya lagi jika kita simak list para undangan VIP pernikahan super mewah tersebut. Kerajaan Inggris malah mengundang putra mahkota Bahrain, Syeikh Salman bin Hamad al-Khalifa. Padahal sudah menjadi rahasia umum, jika belakangan ini, keluarga kerajaan al-Khalifa terbukti bertindak sangat brutal dalam memberangus gerakan pro-demokrasi di negaranya. Tentu hal ini sangat kontras dengan klaim pembelaan HAM dan demokrasi yang selama gencar disuarakan London. Namun begitulah gaya Barat yang selalu mendua. (irib)