Sebulan pasca pecah konflik bersenjata, masalah yang dihadapi Muammar Qadhafi semakin pelik. Menghadapi aneka tekanan dari dunia internasional dan oposisi, bukannya bersatu padu, keluarga Qadhafi malah terbelah.
Dua dari delapan anaknya tak mengenal penyelesaian selain perang. Mu'tasim Qadhafi, kini penasihat keamanan nasional, dan Khamis Qadhafi, komandan pasukan khusus, menentang keras semua rencana damai, termasuk gencatan senjata. "Militer pemerintah tak berniat melakukan gencatan senjata. Saat kita memiliki momentum, Mu'tasim ingin meneruskan pertempuran," kata seorang staf keluarga Qadhafi kepada The Telegraph.
Khamis adalah sosok yang dengan cepat mengirim pasukannya ke Benghazi buat menggempur pertahanan kaum pemberontak di kota itu. Khamis mendapatkan pendidikan militer di Rusia dan cukup dihormati di kalangan militer Libya.
Sebaliknya, dua anak lainnya, Saif al-Islam dan Saadi Qadhafi, yakin perundingan merupakan jalan terbaik, dan tak ada perundingan tanpa gencatan senjata. Mereka juga melontarkan sejumlah usul untuk mengakhiri konflik dan melakukan berbagai perubahan dengan menggeser ayahnya dari kursi kekuasaan. Sebagai gantinya, Saif menawarkan diri menjadi pemimpin sementara untuk mengawasi proses transisi menuju demokrasi.
Mengutip seorang sumber yang dekat dengan keduanya, surat kabar The New York Times menyebutkan salah seorang dari mereka berkali-kali mengatakan mimpi para pemberontak mimpinya juga.
Hubungan Saif dengan ayahandanya memang tidak selalu harmonis. Lima tahun silam ia pernah membangkang, seraya meninggalkan Libya setelah mengkritik keras pemerintahan yang dipimpin sang ayah. Sebenarnya tindakan yang lebih keras dari itu pernah dilakukan Mu'tasim. Ia meninggalkan Libya menuju Mesir setelah dituduh menjadi otak upaya kudeta terhadap Qadhafi. Namun Mu'tasim kemudian dimaafkan dan diizinkan pulang.
Mu'tasim dan Saif memang telah lama bersaing. Kesuksesan Saif menarik simpati masyarakat internasional selama tinggal di Inggris dan Amerika Serikat membuat Mu'tasim cemburu. Apalagi belakangan, sebelum revolusi, Saif kerap muncul di panggung-panggung politik di Libya.
Saif dianggap mewakili wajah modern Libya. Doktor lulusan London School of Economics ini merupakan sosok yang membuka ekonomi Libya. Melalui Yayasan Internasional Qadhafi, ia aktif mengkampanyekan keterbukaan politik dan ekonomi. Putra kedua Qadhafi ini juga kerap terlibat dalam usaha diplomasi internasional, termasuk perundingan pembebasan sandera oleh kelompok Islam militan, terutama di Filipina.
Mu'tasim, putra keempat Qadhafi, mengikuti jalan yang ditempuh Khamis. Kini ia memimpin unit-unit khusus untuk menghantam pemberontak.
Pertempuran terus berkobar. Meski ada usulan Saif dan proposal resmi dari Qadhafi, oposisi menampik semua itu. "Qadhafi dan anak-anaknya harus pergi sebelum ada negosiasi diplomatik," kata Shamseddin Abdulmelah, juru bicara Dewan Nasional Transisi Sementara, kepada The Telegraph. "Bagaimana kita bisa berunding kalau di bawah ancaman senjata." Tekanan terhadap rezim semakin berat.
Korban telah banyak berjatuhan. Pasukan yang setia kepada Muammar Qadhafi terus menggempur kota-kota yang dikuasai kelompok pemberontak. Dari angkasa, pesawat-pesawat Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang menguasai langit Libya, berusaha mendukung setiap manuver pasukan pemberontak. Qadhafi sudah menulis surat kepada Presiden Barack Obama agar menghentikan serangan udara tersebut.
Tak ada tanda-tanda konflik akan segera berakhir. Di antara anggota keluarga Qadhafi pun terjadi perpecahan. (majalahtempo)