Tragedi 11 September memunculkan dua pertanyaan penting. Pertama, terkait penyebab dan yang kedua mengenai dampak peristiwa 11 September. Warga Amerika, khususnya keluarga korban, memandang mencari penyebab terjadinya peristiwa mengenaskan ini lebih penting. Sementara itu, sebagian besar penduduk dunia merasa dampak pasca 11 September lebih urgen untuk dijawab.
Peristiwa terjadi di pagi hari ketika 19 orang keturunan Arab menyandera empat buah pesawat penumpang. Dengan bermodalkan empat pesawat itu, mereka menghancurkan gedung pusat perdagangan Amerika dan menciderai sebagian bangunan Pentagon. Setelah peristiwa penyerangan Pearl Harbor oleh Angkatan Udara (AU) Jepang, serangan sedahsyat ini belum terjadi di Amerika. Beragam analisa dimunculkan mengenai siapa pelaku sebenarnya. Sebagian menganalisa, pelakunya adalah Al Qaeda. Mereka berhasil memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan dan keamanan wilayah AS. Sebagian menambahkan, hal itu tidak bakal terjadi tanpa bantuan orang dalam. Sementara itu, ada yang meyakini, kelalaian badan intelejen dan keamanan Nasional AS menjadi penyebab terjadinya peristiwa ini. Sepuluh tahun berlalu dari peristiwa mengenaskan itu, namun belum terkuak siapa dalang sesungguhnya di balik peristiwa itu. Hal ini menyebabkan para politisi dan Agen Rahasia AS (CIA) saling menuduh.
Mencari jawaban kedua jauh lebih mudah ketimbang mencari penyebab terjadinya peristiwa ini. Peristiwa 11 September berdampak sangat luas. Peristiwa 11 September mampu merubah sejarah dunia. Dunia dibagi menjadi dua kelompok; dunia pra dan pasca 11 September. Di Amerika sendiri, hancurnya gedung kembar simbol kekuasaan Amerika itu memunculkan kelompok-kelompok ekstrim dari kalangan Nasionalisme, Konservatif, dan kebencian terhadap orang asing plus bayang-bayang ketakutan.
Pihak yang paling diuntungkan dalam peristiwa ini adalah Presiden AS waktu itu, George W. Bush. Ia menjadi simbol pahlawan AS memerangi teroris. Badan Intelejen AS tenggelam di balik yel-yel balas dendam atas 3000 orang yang tewas dalam peristiwa itu. Pemerintah Amerika mencap kaum muslimin sebagai musuh baru. Kaum muslimin menjadi sasaran Islam Phobia warga Amerika. Mereka diawasi secara secara ketat. Pendeknya, peristiwa 11 September telah mengorbankan kebebasan demi keamanan nasional. Kebijakan Liberal-Demokrasi pemerintah mengalami perubahan drastis yang tidak ditemukan sejak masa gelap Mc Carthyisme di Amerika.
Bila peristiwa 11 September digambarkan seperti gempa yang melanda Amerika, maka getarannya telah menggoncang wilayah dunia. Hakikatnya, peristiwa ini memunculkan istilah perang tanpa batas. George W. Bush berperan sebagai "Tuhan perang" memberangus semua kejahatan di dunia. Serangan Amerika ke Irak dan Afghanistan merengut korban jauh lebih besar dari peristiwa 11 September sendiri. Strategi perang Amerika berubah dari defensif menjadi pre entif.
Untuk kedua kalinya mimpi buruk perang nuklir menghantui bumi. Pernyataan Bush "Bersama kami atau menentang kami", telah membagi dunia menjadi dua blok. Sementara itu, Wakil Presiden AS waktu itu, Dick Cheney memprovokasi soal perang dunia ke empat. Amerika telah menginjak injak hak asai manusia dengan dalih memerangi teroris. Dunia ternganga menyaksikan fenomena kesadisan tentara Amerika di penjara Abu Ghraib dan Guantanamo. Infasi infasi militer Amerika ke Irak dan Afghanistan telah merenggut ratusan ribu nyawa orang tidak berdosa.
Namun, tidak seperti yang diramalkan, terorisme adalah fenomena yang semakin diuntungkan dengan peristiwa 11 September. Amerika dengan dalih memerangi terorisme, sehari setelah peristiwa itu langsung mendaulat dirinya sebagai pemimpin. Ironisnya setelah 6 tahun berlalu, saat ini kekhawatiran dunia internasional atas bahaya teroris menjadi beripat ganda. Menteri Pertahanan AS, Donald Ramsfled, setelah terjadinya peristiwa itu, ia ditanya soal alasan infasi ke Afghanistan. Ia menjawab, "Afghanistan telah berubah menjadi sarang teroris, dan kewajiban tentara AS menghancurkan mereka." Semenjak sesumbar Bush waktu itu dan memerintahkan pasukannya menangkap Bin Laden, kenyataannya Bin Laden belum tertangkap hingga saat ini di masa kepresidenan Barack Obama. Jangankan Bin Laden tidak satu pun dari para petinggi Al Qaeda yang berhasil ditangkap tentara Amerika. Sebaliknya, insiden Bali, Sharm Al Syeikh, Madrid dan London menandai makin meluasnya aksi teroris.
Kesimpulannya, 10 tahun lalu dunia menyaksikan serangan atas pusat ekonomi dan militer Amerika. Dan sampai saat ini dalang peledakan 11 September belum terkuak. Pertanyaan selanjutnya, bila peristiwa 11 September tidak terjadi, apakah mungkin terbentuk dunia dengan Amerika sebagai satu-satunya super power? Jelas, jawabannya adalah tidak mungkin. Jawaban ini setidak-tidaknya dapat membantu kita membongkar alasan di balik terjadinya peristiwa 11 September. (irib)