24 Mar 2011

Revolusi Libya, Merevolusi Khadafi ?

ImageBarat sangat berkepentingan siapa yang akan menjadi penguasa ladang minyak Libya yang menghasilkan lebih dari 1,6 juta barrel perhari


Apakah ada ”revolusi yang murni” (organic revolution), dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat itu sendiri? Menurut Obama, dia akan memilih revolusi seperti itu, yang dinilainya sebagai revolusi yang terbaik dan ideal.


Bertolak belakang dengan pendahulunya Presiden Bush dalam kasus Irak, Obama merujuk seperti apa terjadi bulan Februari yang lalu di Mesir, revolusi seperti itulah yang diharapkannya sekarang muncul di Libya. Namun, Libya bukan Mesir, Khadafi bukan Mubarak, sungguhpun mereka mengklaim sama-sama Arab dan Muslim. Yang jelas, bahwa ”civil society” di Mesir lebih kuat, berbasis pada kepemimpinan ulama dan kaum cendekiawan, sedang masyarakat Libya lebih banyak dipersatukan dalam asosiasi kabilah atau tribalism, sehingga antara Libya dan Mesir memiliki modal sosial yang sangat berbeda. Sekarang, Barat menilai bahwa sikap romantis Obama sebagai ”Kepala Polisi Dunia,” tidak dapat menyelamatkan rakyat Libya dari pembantaian Khadafi. Jutaan rakyat Libya kini sedang merevolusi Khadafi, yang mereka anggap sebagai tiran yang telah menindas kehidupan mereka lebih dari empat dekade.


Minggu yang lalu Obama masih mengingatkan dunia bahwa revolusi yang paling ideal itu (the best revolution) adalah revolusi yang ”completely organic,” sebuah revolusi tanpa bantuan dan campur tangan pihak asing (New York Time, 14 Febr. Newsweek 21 Maret 2011). Berbagai pihak, termasuk sejarawan dan ahli ilmu sosial di negeri paman Sam itu, telah mengingatkan kembali Obama, bahwa revolusi di dunia, apakah itu yang berhasil atau gagal, tidak dapat dilepaskan dari bantuan dan campur tangan pihak asing. Dalam revolusi Amerika umpamanya, orang masih ingat betapa besar saham armada Perancis yang merapat ke bandara Yorktown. Atau bantuan keuangan Jerman dalam Revolusi Bolshevik Lenin. Bahkan dalam revolusi Tiongkok, Mao Tse Tung tidak akan berhasil mendepak Chang Kai Sek ke Taiwan tanpa bantuan senjata Rusia. Minggu yang lalu, rakyat Amerika meminta Obama, tidak usah terburu-buru mengirim tentera ke Libya, tetapi kirimlah pada langkah pertama resolusi dunia (send them a piece of paper). Demikianlah, Kamis malam (17 Maret) penguasa Libya terpaksa “meletakkan senjata” (cease fire), setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi “Zona Larangan Terbang.” Resolusi itu sekaligus mengizinkan “segala tindakan yang diperlukan (termasuk aksi militer) guna melindungi warga sipil di Libya, dari serangan dan pembunuhan pasukan Khadafi.


Isu Hak-Hak Azazi Manusia (HAM)


Dewasa ini Revolusi Libya secara internasional telah diseret kedalam isu HAM dan kemerdekaan azasi, dimana kekuatan global telah merasa berkepentingan untuk ikut campur tangan. Kecaman dan tudingan kepada Khadafy sebagai penguasa pelanggar HAM berat, telah dijatuhkan.


Terutama tudingan sebagai penguasa yang bengis dan curang telah pula dilancarkan, ketika sehari sebelum Khadafi mengumumkan menerima resolusi PBB, pasukan berlapis baja dan pesawat terbang Khadafi menyempatkan untuk menghancurkan pertahanan terakhir ”pemberontak” di Kota Misrata.


Korban yang jatuh dikalangan kubu pemberontak ini cukup menggeramkan masyarakat pembela HAM (hampir 100 korban jiwa dan luka-luka). Dewasa ini, para pemberontak tidak merasa berdiri sendiri lagi. Revolusi Libya yang mereka gerakkan, sekarang tidak hanya kepunyaan rakyat Libya, tetapi telah menjadi kepunyaan masyarakat internasional. Tawaran dialog dari Kadhafi, disahuti secara ketus oleh kaum pemberontak, bahwa ”satu-satunya dialog adalah untuk membicarakan bagaimana mengakhiri kekuasaan Kadhafi yang sudah bertahan 41 tahun” (MI, 19 Maret).


Ketika masyarakat Barat berteriak mengenai pelanggaran HAM di Irak, Afghanistan, Tunisia, Mesir, Yaman dan sekarang Libya, PBB kemudian menyahutinya dengan mengizinkan tentera NATO dan berbagai negara lainnya bergabung untuk segera melakukan invansi dan atas nama HAM.


Itulah pola pendudukan yang disyahkan dunia dalam era pasca perang dingin (2005), dan itulah yang telah terjadi di Irak atau Afghanistan. Sekarang di Libya. Mengapa negara-negara Timur Tengah yang dikenal sebagai negara-negara Islam absen, seakan tidak mau tahu dengan masalah HAM atau pelanggaran kemerdekaan manusia yang sangat fundamental itu di Timur Tengah? Mereka pasti paham bahwa revolusi di Libya bukan masalah perang saudara (civil war) yang tidak perlu dicampuri negara lain.


Tetapi, mengapa lembaga-lembaga masyarakat Timur Tengah yang selama ini lantang berbicara atas nama rakyat Timur Tengah harus diam seribu bahasa. Tidak ada komentar dari Lembaga Kerjasama Negara-Negara Teluk (Gulf Cooperation Counsil), Organisasi Konferensi Islam/OKI (Islamic Conference Organization) atau Liga Arab. Apakah semua kelembagaan orang Arab itu hanya punya satu interes saja, yaitu menetapkan kebijakan bersama mengenai harga minyak bumi, agar dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya?


Sungguhpun resolusi ”zona larangan terbang” secara militer itu belum dapat dianggap efektip, tetapi invansi pasukan PBB/NATO seperti di Irak dan Afghanistan, akan segera dialami pula oleh Libya. Mungkin baru pada ketika itu orang-orang Timur Tengah dan masyarakat Islam sedunia tersentak, protes dan berteriak-teriak. Bahwa itu adalah serangan neo-kolonialis, atau neo-imperialis.


Mengapa harus NATO bukan pasukan OKI atau Liga Arab dibawah bendera PBB sendiri yang melakukan invansi ke Libya? Kalau strategi ini dari dahulu di lakukan negara-negara Arab dalam invansi ke Irak, maka kemungkinan korban yang jatuh terhadap rakyat Irak dan kehancuran situs budaya Islam, termasuk mesjid dan perpustakaan yang penting dan bersejarah itu dapat terselamatkan. Sekarang kesalahan itu akan berulang lagi dalam kasus Libya. Mungkin besok Yaman, Marokko dan dan seterusnya.


Padahal bukankah orang Arab sendiri yang mempopulerkan adagium terkenal dan selalu disitir orang lain, ”hanya keledai yang mau terprosok dua kali kelobang yang sama.” Rasanya mereka telah berkali-kali terperosok kelobang yang sama. Sekarang siapa sebenarnya yang lebih bodoh dari keledai?


Apakah hanya isu minyak bumi yang dapat membawa orang-orang Arab (Timur Tengah) melek dan bersatu? Tentu yang dapat menjawabnya secara pasti adalah orang Arab sendiri. Tetapi dikalangan orang Arab sendiri tetap muncul pesimisme, malah skepisme yang tinggi. Umpamanya, seorang sobat saya sewaktu sama-sama menjadi pimpinan International Association of Moslem Students (1978) di Chicago (Mohammed Fauzy Katiri) menyatakan, bahwa orang Arab hanya dapat dipersatukan dalam dua hal, satu kebenciannya kepada orang Yahudi, dan kedua dalam menikmati tari perut.


Masyaallah, dilubuk hati yang paling dalam, saya berdoa semoga hal itu tidak benar. Memang dari pengalaman pergaulan saya dengan mahasiswa-mahasiswa Timur Tengah, termasuk orang Iran dan Turki, sangat sukar saya membangun optimesme bahwa mereka akan segera tampil menjadi pimpinan alternatip dunia atau imamah (pimpinan) ummat Islam Internasional.


Seorang Guru Besar Filsafat Islam yang terkenal di Amerika Serikat Fazlul Rahman, malah menyatakan bahwa Indonesia dan Malaysia lebih diharapkan dunia Islam untuk menjadi ”imamah” ummat Islam se-dunia.


Apakah harapan itu berlebihan?. Saya rasa tidak juga. Karena selain beberapa pemikir Islam di Barat, Obama dalam pidatonya di tiga sudut peradaban Islam (Kairo, Angkara dan Jakarta), telah menyiratkan dalam konteks demokrasi dan kemerdekaan, bahwa Angkara (Turki) adalah simbol peradaban masa lalu Islam, Kairo (Mesir) lambang peradaban Islam dewasa ini, sedang Jakarta (Indonesia) lambang peradaban masa depan Islam. Pilihan Obama untuk berpidato mengenai demokrasi dan kemerdekaan ditiga kota dunia Islam itu bukanlah pilihan yang acak (random). Oleh karena itu, adalah tepat apabila tokoh-tokoh Islam di Indonesia dewasa ini sudah mulai ambil bahagian dalam menentukan nasib negara-negara Islam di dunia, terutama dalam isu HAM dan demokrasi yang ideal bagi dunia Islam.


Harapan kepada pemimpin-pemimpin Islam di Indonesia


Masih banyak isu lain yang dapat dijadikan pokok utama pembicaraan antar negara atau antar cendekiawan ummat Islam didunia selain menabur kebencian kepada Israel (Yahudi), Bahwa Yahudi adalah musuh ummat dan agama Islam, mungkin tidak perlu diperdebatkan lagi.


Termasuk seperti apa yang dilansir oleh Riza Sihbudi (seorang mantan diplomat) di Harian Republika Senin 14 Maret yang lalu, bahwa kekejaman Kadhafi terhadap rakyat Libya sama hebatnya dengan kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina.


Itu benar. Tetapi, apa yang perlu diperdebatkan lagi selain itu? Bukankah terlalu banyak tiran yang memerintah negara-negara yang berpenduduk majoritas Muslim dewasa ini? Kalau mereka itu dijumlahkan, hampir mencapai 50% dari penduduk dunia. Namun bagaimana kondisinya, sebahagian besar kelompok masyarakat dinegara-negara itu dapat dikategorikan sebagai orang yang melarat, terlunta-lunta, terbelakang dan bekerja dibawah perintah para tiran. Apakah dengan kualitas SDM dan suasana seperti itu mereka dapat memimpin dunia?


Libya dalam serangan pendudukan Barat


Minggu ini (20 Maret) beberapa siaran TV Indonesia telah menayangkan serangan udara (under attack) Perancis, Inggris dan rudal Amerika Serikat yang ditujukan kekerapa kota Libya, terutama kota Tripoli dan pusat-pusat pertahanan udara tentera Libya Khadafi, serta memberikan proteksi terhadap pasukan pemberontak yang masih bertempur disekitar kota Benghazi (ibu kota Libya dizaman Raja Idris II).


Pendudukan pasukan Barat secara fisik sebenarnya hanya masalah pemilihan waktu yang tepat. Karena Barat atas wewenang yang telah dilimpahkan PBB (2005), merasa memiliki kewajiban untuk melakukan ”penyelamatan” terhadap rakyat disuatu negara yang ditindas oleh pemerintahnya.


Penyelamatan ini lebih penting dari pelanggaran hak kedaulatan terhadap negara dari rakyat yang bersangkutan itu sendiri (Responsility to Protect, yang selalu disingkat R2P). Dengan kata lain, negara-negara Barat dengan paradigma resmi R2P itu, telah mulai secara militer ”membantu” rakyat Libya merevolusi Khadafy.


Walaupun motivasi R2P itu dapat pula berbunyi untuk ”mengakhiri suasana ketidak pastian siapa penguasa Libya sesudah Khadafy digulingkan.” Barat sangat berkepentingan siapa yang akan menjadi penguasa ladang minyak Libya yang menghasilkan lebih dari 1,6 juta barrel perhari. Menunggu tanpa kepastian itu sangat riskan bagi dunia Barat yang memerlukan setiap titik minyak bumi dari Timur Tengah.(wapadamedan)


Prof. Usman Pelly, Ph.D . Antropolog, Unimed

Artikel Terkait

- Reviewer: Asih - ItemReviewed: Revolusi Libya, Merevolusi Khadafi ? Deskripsi: Barat sangat berkepentingan siapa yang akan menjadi penguasa ladang minyak Libya yang menghasilkan lebih dari 1,6 juta barrel perhari Apakah... Rating: 4.5
◄ Newer Post Older Post ►