Sekitar 50.000 warga Suriah pada Jumat (25/3) turun ke jalan, menuntut reformasi negeri mereka sekaligus mengungkapkan rasa berkabung atas jatuhnya korban jiwa dalam aksi kekerasan yang dilakukan aparat keamanan.
Daraa, kota pertanian terpenting di Suriah selatan yang tengah dilanda kekeringan, tak ubahnya menjadi pusat bara api aksi protes di negeri yang para pemimpinnya seperti tak peduli meski harus menggunakan aksi kekerasan guna menumpas aksi-aksi seperti itu.
Hari-hari mendatang ini akan menjadi hari-hari yang menentukan, apakah Suriah akan menyusul Tunisia dan Mesir, saat revolusi rakyat menggulingkan penguasa otokratiknya.
Lepas tengah siang, seusai shalat Jumat, puluhan ribu orang yang berdatangan dari desa-desa tetangga berkumpul di lapangan Assad di pusat kota Daraa. Ini adalah hari ketujuh semenjak aksi-aksi protes merebak. Massa meneriakkan slogan-slogan prodemokrasinya, seperti ”merdeka, merdeka...”.
Diguncang serangkaian aksi protes, pemerintahan Presiden Bashar al-Assad, yang dikuasai kaum Partai Baath, hari Kamis menjanjikan akan mencabut undang-undang darurat yang praktis melindungi rezim sehingga bisa berkuasa hampir 50 tahun. Namun, janji yang diungkapkan oleh penasihat kepresidenan, Buthaina Shaaban, itu ditolak oleh banyak aktivis prodemokrasi, yang bahkan menyerukan digelarnya aksi demonstrasi di seluruh negeri.
Aksi serupa juga terjadi di ibu kota Damaskus, kota pantai Latakia, kota Raqqa di utara, dan Zabadani di barat. Setidaknya lima pengunjuk rasa ditangkap aparat keamanan berpakaian preman hari itu, menurut AFP.
Para pengunjuk rasa juga menyatakan perkabungan mereka pekan lalu, saat penguburan dua korban aksi kekerasan aparat. Sejumlah kelompok aktivis hak-hak asasi manusia mengungkapkan, jumlah korban aksi kekerasan aparat terhadap para demonstran sepekan ini bisa mencapai 100 orang tewas. Sementara otoritas Suriah mengungkapkan bahwa jumlah korban jiwa hanya 10 orang.
sumber: kompascetak