30 Mar 2011

Prospek Koalisi Vs Libya

ImageLibya, negara Arab di kawasan Laut Tengah yang kaya minyak, adalah ”musuh bebuyutan” Amerika Serikat. Ini karena sikap pemimpinnya, Moammar Khadafy, yang pembangkang dan tak mengakomodasi kepentingan AS.


Perseteruan yang nyaris sepanjang usia kekuasaan Khadafy itu lebih banyak diwarnai ketegangan panjang karena AS tidak memiliki dasar kuat untuk mengambil langkah militer.


AS bagai menemukan momentum seiring gerakan massa yang menghendaki penggulingan para rezim diktator di Timur Tengah. Bahkan, gerakan masif itu pun ditengarai tidak lepas dari operasi intelijen AS di Timteng guna mengendalikan kawasan sumber minyak dunia itu. Kini momentum ini menuju klimaks dengan serangan yang dilancarkan koalisi AS dan sejumlah sekutunya langsung ke jantung Tripoli, ibu kota Libya.


Sebagaimana diwartakan harian ini (Kompas, 22/3), serangan koalisi Barat dengan sandi Operasi Fajar Odyssey telah diluncurkan sejak Minggu lalu dan rudal Tomahawk melumatkan Bab al-Aziziya, pusat pertahanan Moammar Khadafy di Tripoli. Posisi-posisi pendukung Khadafy dihujani bom dan misil yang dimuntahkan dari berbagai jet tempur koalisi, menandai awal aksi militer AS dan sekutunya. AS memang tidak pernah sendirian dalam melancarkan aksi militer ke mana pun.


Prospek perang


Alasan formal keterlibatan koalisi dalam konflik Libya adalah mengemban misi kemanusiaan PBB: mencegah pembantaian penduduk sipil oleh rezim Khadafy. Kenyataannya pembombardiran koalisi telah menewaskan puluhan masyarakat sipil.


Kebanyakan orang memprediksi bahwa ”tujuan perang” sebenarnya dari koalisi adalah minyak dengan ”sasaran antara” turun atau terbunuhnya Khadafy. Pengeboman dan peroketan yang utamanya diarahkan ke Tripoli serta desakan Hillary Clinton agar Khadafy segera mengundurkan diri adalah indikasinya. Namun, akankah koalisi dengan mudah mencapai sasaran antara berikut tujuan perangnya?


Jika kekuatan militer kedua belah pihak diperbandingkan, jelas koalisi Barat bukanlah tandingan Libya. Kekuatan udara koalisi terdiri dari Inggris yang melibatkan sejumlah pesawat tempur Tornado GR4; Perancis yang mengerahkan 20 jet tempur Mirage dan Rafale; Norwegia dengan enam jet tempur F-16; Italia yang meluncurkan belasan pesawat tempur Tornado, F-16, dan Eurofightter; serta Spanyol yang menyertakan tiga jet tempur F-18. Kanada dan Uni Emirat Arab pun telah mengirim beberapa jet tempur ambil bagian.


Kontingen AS sendiri setidaknya terdiri dari 42 pesawat tempur yang digelar di Pangkalan Aviano, Italia. Dibandingkan dengan kekuatan udara Libya yang terdiri dari 374 pesawat tempur dari berbagai jenis, termasuk Mirage dan beberapa varian MiG yang teknologinya jauh di belakang pesawat tempur koalisi, jelas bahwa Libya bukanlah lawan seimbang. Dengan kata lain perang ini bersifat asimetris seperti dikatakan Sayidiman Suryohadiprojo (Kompas, 24/3). Namun, lumpuhnya kekuatan udara Libya, bahkan seluruh kekuatan militernya sekalipun, belum tentu mengantar koalisi kepada sasaran antara, apalagi kepada tujuan perangnya.


Sampai artikel ini ditulis, serangan udara langsung koalisi sudah berjalan lima hari, tetapi belum terdengar bahwa Khadafy tewas. Bahkan, pada hari ketiga serangan, kolonel nyentrik itu muncul di depan media massa memompakan semangat perlawanan kepada pendukungnya. Tidak pula bisa menghentikan serangan loyalis Khadafy terhadap oposisi, pada Rabu malam (23/3) mereka menggempur Misrata, kota terbesar ketiga yang dikuasai oposisi.


Berkaca pada perang Irak—perlu waktu lama dan pengerahan sejumlah divisi kekuatan darat untuk menangkap Saddam Hussein—kemungkinan besar demikian pula yang akan terjadi di Libya. Tampaknya koalisi akan menghadapi dilema. Bila dalam waktu dekat koalisi tak berhasil menewaskan atau melengserkan Khadafy, mereka gagal mencapai sasaran perang.


Jika harus mengerahkan kekuatan darat yang cukup besar dan mahal, mereka jelas akan menghadapi tentangan keras dari dunia internasional ataupun dari dalam negeri masing-masing. Di AS, beberapa tokoh Partai Demokrat bahkan telah mengkritik Presiden Obama atas serangan udara yang dilakukan koalisi.


Kalaupun koalisi tetap mengerahkan kekuatan darat demi pencapaian sasaran dan tujuan perangnya, niscaya akan terjadi perang berlarut seperti di Irak dan Afganistan—hingga kini belum kunjung selesai—yang akan menguras anggaran belanja negara-negara koalisi sehingga dapat mengantar ke resesi ekonomi global.


Beberapa saat sebelum jam-J serangan udara koalisi, diberitakan bahwa Khadafy telah membagikan jutaan senjata kepada pendukungnya. Ini jelas suatu indikasi dari persiapan perang berlarut. Kehadiran kekuatan darat koalisi juga berpotensi menimbulkan kesadaran nasional rakyat Libya sehingga menyatukan kembali oposisi dengan pendukung Khadafy.


Simpati dan dukungan internasional terutama dari negara-negara Arab termasuk dari Al Qaeda pun akan mengalir deras. Maka, pengerahan kekuatan darat koalisi sungguh berisiko tinggi dan hal itu pasti sudah mereka perhitungkan.


Namun, apabila aksi militer ini tidak diikuti dengan pengerahan kekuatan darat dan setelah beberapa hari atau minggu koalisi mundur begitu saja dari Libya tanpa berhasil menewaskan atau menjatuhkan Khadafy, hal ini akan menyulut terjadinya perang saudara yang lebih dahsyat lagi kendati Khadafy sudah kehilangan kekuatan udaranya.


Bisa diduga, kemarahan akibat serangan koalisi pasti akan ditumpahkan secara membabi-buta terhadap kelompok oposisi. Dengan demikian, tampaknya koalisi akan terjebak dalam dilema yang amat menyulitkan.


Pelajaran penting


Pelajaran yang dapat dipetik dari kasus aktual di Timur Tengah adalah pertama, sangat jelas bahwa yang mendorong pelibatan koalisi adalah ”kepentingan”, bukan idealisme demokrasi ataupun HAM. Ini tampak dari dukungan koalisi, terutama AS, terhadap oposisi di Mesir dan Libya, tetapi di Bahrain—yang notabene monarkis—koalisi berpihak kepada penguasa yang merupakan sekutunya.


Kedua, betapa rentan dan longgarnya persahabatan AS dengan sekutu-sekutu Arab-nya. Negeri adidaya itu dengan mudah meninggalkan bahkan mendorong jatuh pemimpin negara yang sudah goyah atau ”tidak laku” lagi seperti Hosni Mubarak yang sebenarnya segaris dengan Barat. Benar adagium kuno, ”Dalam politik tak ada lawan atau sahabat yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan.”


KIKI SYAHNAKRI Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD)


sumber: kompascetak

Artikel Terkait

- Reviewer: Asih - ItemReviewed: Prospek Koalisi Vs Libya Deskripsi: Libya, negara Arab di kawasan Laut Tengah yang kaya minyak, adalah ”musuh bebuyutan” Amerika Serikat. Ini karena sikap pemimpinnya, Moammar ... Rating: 4.5
◄ Newer Post Older Post ►