Selasa (29/3), London menjadi tuan rumah pertemuan negara-negara yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam operasi militer di Libya. Salah satu agenda utama konferensi internasional ini adalah membicarakan tentang masa depan negeri kaya minyak itu jika Muammar Gaddafi berhasil ditumbangkan. Tak hanya itu, Konferensi London juga merancang berbagai skenario yang dipersiapkan untuk menghadapi situasi Libya pasca tergulingnya Gaddafi.
Bersamaan dengan itu, serangan udara pasukan NATO di Libya masih berlanjut. Korban dari pihak sipil pun dilaporkan terus berjatuhan. Sementara protes dan kekhawatiran masyarakat internasional terhadap operasi militer NATO kian menyeruak. Rusia yang sempat abstain dan menolak menggunakan hak vetonya terhadap pengesahan Resolusi 1979 Dewan Keamanan PBB makin meragukan ketulusaan niat NATO dan sekutunya di balik serangan militer ke Libya. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov menyebut operasi militer NATO itu sebagai bentuk intervensi terhadap perang saudara di Libya. Ia menilai, agresi militer yang dilakukan pasukan koalisi internasional telah melampaui misi yang digariskan dalam Resolusi DK PBB. Padahal misi tersebut hanya menghendaki supaya pasukan koalisi internasional mengawal implementasi zona larangan udara di Libya.
Terpisah, Utusan Rusia di NATO Dmitry Rogozin juga mengungkapkan kekhwatiran soal kemungkinan berubahnya serangan udara NATO menjadi serangan darat. Jika itu terlaksana, sama artinya bahwa perang penghabisan telah dimulai. Diplomat senior Rusia itu mengungkapkan, di mata Moskow serangan darat ke Libya bisa dianggap sebagai aksi pendudukan dan bertentangan nyata dengan resolusi PBB.
Menlu Rusia, Sergei Lavrov juga menyoroti sisi lain efek serangan pasukan NATO ke Libya. Ia menilai, strategi tersebut justru membantu menyuburkan fenomena teroris dan memperluas jaringan terorisme internasional.
Tak kalah pedasnya, Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin juga melontarkan kritikan kerasnya terhadap misi militer NATO di Libya. Ia bahkan sempat mengistilahkan intervensi militer Barat itu sebagai perang salib. Namun, kritikan itu segera dinetralisir oleh Presiden Medvedev dan menyebut penggunaan istilah tersebut tidak tepat. Hanya saja di mata media-media Barat, reaksi Medvedev itu dianggap sebagai indikator terjadinya selisih pendapat di kalangan para pemimpin Kremlin.
Kendati demikian jika ditelisik lebih mendalam, reaksi berbeda dari dua pemimpin Rusia itu bisa dimengerti sebagai bentuk pembagian kerja. Moskow sepertinya hendak menunjukkan kepada Barat bahwa meski Rusia sempat menolak menggunakan hak vetonya dan sekedar menerapkan penolakan secara lisan. Namun Rusia juga bisa melancarkan penentangan yang lebih serius.(irib)