Negeri kaya minyak di Afrika Utara dihujani rudal pasukan militer Prancis, Inggis dan Amerika, yang tergabung dalam pasukan Koalisi Barat. Puncak genderan "perang" itu bertabuh sejak 19 Maret 2011. Seperti bermain koboi, negara koalisi yang tengah mengincar Moammar Khadafi, membobardir siapa saja yang dicurigai.
Panasnya suhu politik Libya memang sudah menjadi sorotan dunia, menyusul kubu oposisi yang meneriakkan reformasi kepada Rezim Khadafi. Namun upaya untuk mendongkel pemimpin yang telah bercokol sejak 1969 itu, hingga kini masih belum membuahkan hasil. Para loyalisnya pun sulit dilucuti.
Apalagi, hubungan Amerika dan Libya kurang baik. Awalnya Amerika Serikat memang mendukung kemerdekaan Libya dan disusul peningkatan hubungan sampai tingkat kedutaan.
Hubungan Libya-Amerika Serikat terhenti ketika Moammar Khadafi memimpin Revolusi Al Fatah untuk menyingkirkan Raja Idris pada 1969. Setelah berkuasa, Khadafi yang telah berpangkat kolonel melancarkan revolusi budaya yang mengandung inti penyingkiran semua ideologi dan pengaruh yang berbau asing, seperti kapitalisme dan komunisme.
Seperti diceritakan Wikipedia, semenjak itu hubungan kedua negara semakin memburuk dan mencapai titik terendah. Massa yang anti-AS menggelar demonstrasi pro-Iran pada Desember 1979. Massa membakar gedung Kedutaan Besar AS di Tripoli menjadi akhir dari demonstrasi tersebut. Khadafi pun sempat dijuluki In "mad dog of The Middle East" oleh Ronald Reagan.
Kini, melihat akumulasi gelombang pemberontakan terhadap Khadafi, Amerika tidak tinggal diam. Koalisi Barat, yang digawangi Amerika mengambil langkah untuk menguasai wilayah udara Libya melalui operasi Odyssey Dawn. Mereka juga bertujuan untuk menghentikan agresi pasukan militer yang setia kepada Khadafi untuk mengungsi dari Benghazi dan tempat-tempat lainnya yang diduduki loyalis. Dalih yang digunakan adalah kemanusiaan. Tapi apakah benar?
Nyatanya, tidak satu pun dari tujuan telah tercapai seperti yang sekarang. Korban yang dilumpuhkan bukalah Khadafi. Melainkan sipil yang tak berdosa. Bahkan, disebutkan salah satu media asing tedapat korban anak-anak. Nahas...
Lucunya lagi, tindakan itu disahkan oleh Dewan Keamanan PBB. Situasi yang dikhawatirkan adalah justru jumlah korban jauh lebih tinggi dari sebelum intervensi Barat. Jika benar terbukti, misi kemanusiaan itu menjadi bencana kemanusiaan.
Sikap koalisi Barat ke Libya bukanlah yang pertama. Sejarah membuktikan, Barat selalu ikut campur urusan domestik negara lain dengan kekerasan. Sebut saja Bosnia dan Herzegovina dan Irak, semua adalah negara mantan "jajahan".
Sayangnya, eksperimen berdarah itu tidak pernah benar-benar berhasil. Aksi pertumpahan darah ini, hanya menyisakan duka. Misi tersebut sebenarnya hanya langkah pertama untuk menggulingkan kekuasaan politik negara lain.
Kondisi serupa dilakukan di Libya. Modusnya pun telah terendus. Yang terjadi justru kondisi ini memicu nasionalis Libya.
Saat peswat menghancurkan wilayah dekat sebuah sekolah dasar di Saraj, pinggiran selatan Ibu kota Libia, Tripoli. Warga justru berbalik arah meminta perlindungan Khadafi, sebagai penyelenggara negara.
Selanjutnya kita lihat saja, apakah Barat mampu menjinakkan si Anjing Gila dari Timur Tengah?
Yang jelas, kalau sudah begini, lagi-lagi warga sipil hanya menjadi bancakan politik. Peta siapa yang dibela dan siapa yang membela menjadi kabur.