Ketika krisis politik Mesir semakin keras dan tidak menentu, analis telah mulai berpaling kepada kesejajaran historis untuk jawabannya.
Akankah gerakan Islam atau orang kuat baru - atau keduanya - muncul untuk menguasai kendali, seperti revolusi Iran tahun 1979? Atau tradisi sekuler Mesir dan kekuatan militer memungkinkan transisi ini menuju demokrasi, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998? Atau menjadi sesuatu di antara keduanya, seperti hasil revolusi Rumania tahun 1989?
Bahkan di era Twitter, hasil akhir mungkin tidak akan diketahui selama berminggu-minggu. Butuh waktu empat bulan bagi Syah Iran untuk meninggalkan negaranya setelah penembakan demonstran menyebabkan kemarahan warga.
Di Mesir, tidak ada gerakan nyata untuk demokrasi, sampai dilakukan beberapa perubahan dalam hukum dan konstitusi yang berlaku. Pemilihan presiden berikutnya kini dijadwalkan untuk September, tapi sebuah proses reformasi hati-hati diperlukan untuk memastikan transisi menuju demokrasi.
Di antara perubahan kunci yang dibutuhkan: mengubah Pasal 76 dari konstitusi, yang menetapkan persyaratan berat yang secara efektif mencegah kandidat oposisi untuk pencalonan presiden; menghapus hukum darurat yang memberdayakan dinas keamanan untuk menahan tanpa ada dakwaan mereka yang dianggap ancaman bagi negara; mengembalikan pengawasan peradilan pemilu, termasuk keberadaan hakim di setiap TPS, dan memastikan bahwa mesin negara (seperti televisi) berada di tangan orang netral.
Reformasi itu, tentu saja, tidak akan menjamin hasil yang bermanfaat untuk kepentingan AS. Belajar dari sejarah, inilah tiga skenario yang mungkin paling banyak dibicarakan oleh para analis.
Skenario Iran
Shah Iran Mohammad Reza Pahlavi, seperti Presiden Mesir Husni Mubarak hari ini, adalah jangkar kekuasaan AS di Timur Tengah yang memelihara hubungan dengan Israel. Ia adalah progresif, dengan pendekatan sangat sekuler. Tetapi ketika ia digulingkan dalam sebuah revolusi populer, klik teokratis yang dipimpin oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini - yang lama diasingkan - merebut kekuasaan dan menekan gerakan yang awalnya dipimpin oleh mahasiswa dan moderat. Selain itu, hasilnya sangat merusak bagi Amerika Serikat, dengan Iran menjadi pendukung utama militan anti-Israel di wilayah tersebut.
Paralel ini tidak sempurna - tidak ada pemimpin spiritual atau pemimpin agama Mesir yang hidup di Paris menunggu kemenangan kembali ke Kairo - tetapi beberapa ahli prihatin tentang kemungkinan gerakan Islamis Mesir meraih kendali pemberontakan. Ikhwanul Muslimin telah lama menjadi kekuatan ilegal tapi semi-ditolerir dalam politik Mesir.
Mubarak menjepit kekuatan oposisi moderat dan menggunakan Ikhwanul Muslimin sebagai alasan untuk menangkis tuntutan Barat untuk kebebasan yang lebih besar. "Jika mereka mendapatkan kendali, itu akan hampir tidak mungkin bagi rakyat untuk mengambil kembali," kata mantan pejabat Departemen Luar Negeri Leslie Gelb, mengacu pada Ikhwanul.
Ian Johnson, seorang wartawan yang telah menulis gerakan ini, mengutip mantan pemimpinnya yang mengatakan dia "masih ingin memaksakan hukum Islam, atau syariah, di Mesir, tetapi dia akan melakukannya perlahan-lahan, membangun dukungan di tingkat akar rumput daripada memaksakan dari atas, seperti yang dilakukan di Iran. "
Selain itu terkait kekuatan Ikhwanul Muslimin. Antropolog Scott Atran mengatakan Ikhwanul hanya dapat mengandalkan 100 ribu pengikut dari populasi lebih dari 80 juta.
Skenario Indonesia
Pada tahun 1998, kekuasaan otoriter Presiden Soeharto selama 32 tahun berakhir. Dia adalah sekutu lama AS yang penghentiannya sangat ditakuti di Gedung Putih. Tetapi pada akhirnya, negara Muslim yang paling padat penduduknya itu membuat transisi berantakan dan panjang menuju demokrasi - dan tetap menjadi mitra utama dari Amerika Serikat.
Thomas Carothers, wakil presiden untuk studi di Carnegie Endowment for International Peace, merujuk pengalaman Indonesia sebagai skenario yang lebih mungkin untuk Mesir dari skenario Iran, meskipun ia memperingatkan jalan itu masih akan sulit. Tetapi ada kesamaan antara Mesir dan Indonesia: tradisi yang relatif sekuler, militer yang kuat yang (sejauh ini) menolak untuk menindas pengunjuk rasa, dan pemberontakan yang dipimpin oleh campuran dari pemuda dan masyarakat sipil.
Tom Malinowski dari Human Rights Watch juga berpendapat skenario Indonesia lebih mungkin dibandingkan Iran karena pemulihan kebebasan politik di Mesir akan memberdayakan kekuatan politik lebih moderat untuk muncul, seperti di Indonesia, dengan militer mungkin membantu untuk memberikan stabilitas selama transisi.
Skenario Rumania
Revolusi Rumania menggulingkan seorang diktator pada tahun 1989 - dan membunuhnya - namun dalam beberapa bulan elite militer dan Komunis merekayasa kelangsungan hidup mereka, dengan presiden yang telah direncanakan, sekutu mantan diktator, memenangkan 85 persen suara dalam pemilu 1990 Mei
Aparat keamanan Mesir - tentara, paramiliter, Garda Nasional dan sejenisnya - berjumlah sekitar 1 juta. Sangat mungkin bahwa elite penguasa negara itu secara perlahan akan memeras kehidupan dari oposisi dengan menjadikan Mubarak seorang tokoh transisi dan memberlakukan beberapa reformasi kosmetik yang memberikan ilusi perubahan. Kontrol negara terhadap media tidak akan diangkat dan pemilu masih akan dimanipulasi untuk memastikan pemilihan presiden terikat pada struktur kekuasaan saat ini.
Apa yang menyelamatkan Rumania pada akhirnya adalah bahwa ia ingin menjadi anggota NATO dan Uni Eropa, dan akhirnya sistem pemerintahan yang lebih demokratis muncul. Namun insentif tersebut saat ini tidak tersedia untuk Mesir.
tempointeraktif.com