Meski kebangkitan rakyat Libya menentang kediktatoran Muammar Gaddafi sudah lebih dari sepekan berlalu, namun Barat masih saja bersikap ambigu. Kalaupun AS dan Eropa sempat mengecam pembantaian massal rakyat Libya, tapi hingga kini Dewan Keamanan PBB masih belum juga mengesahkan resolusi terkait isu tersebut.
Lembaga-lembaga pejuang hak asasi manusia dalam berbagai laporannya mengungkap tewasnya ribuan warga Libya akibat serangan tank-tank dan pesawat-pesawat tempur tentara Gaddafi. Ironisnya, DK PBB selaku otoritas utama penegak perdamaian dan keamanan di dunia hanya mencukupkan diri sekedar merilis statemen yang sama sekali tidak mengikat.
Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan Gaddafi dengan negara-negara Barat memang kerap mengalami pasang surut. Diktator Libya itu sempat dijuluki sebagai musuh Barat setelah dituding mengeluarkan perintah pengeboman terhadap pesawat AS di Lockerbie, Inggris. Di masa itu, Libya menghadapi sanksi luas dari AS dan negara-negara Eropa. Namun semenjak Gaddafi berusaha mempertahankan kekuasaannya di dalam negeri dengan menjalin hubungan kooperatif dengan Barat, ia pun berubah menjadi sosok pemimpin Arab yang loyal dan mesin uang bagi AS dan sekutunya.
Kasus Lockerbie selesai begitu saja setelah Gaddafi membayar uang ganti rugi dua miliar dolar kepada keluarga korban dari saku rakyat Libya. Segera setelah itu, banyak politisi AS dan Eropa menjalin kontrak dengan presiden terlama di dunia itu. Di antaranya adalah PM Inggris kala itu, Tony Blair dan Condoleezza Rice Menteri Luar Negeri AS di era Presiden George W. Bush. Libya pun akhirnya berubah menjadi mitra bisnis AS dan Inggris yang banyak menghasilkan dolar. Sebegitu akrabnya hubungan bisnis itu, sampai-sampai pelaku tunggal pengeboman Lockerbie asal Libya akhirnya dibebaskan dan kembali ke negaranya bak pahlawan. Pembebasan itu merupakan buah dari tercapainya kontrak minyak antara pemerintah Libya dengan perusahaan Inggris, British Petroleum.
Kini di saat Gaddafi sudah selangkah lagi bakal tumbang, negara-negara Barat yang meraup keuntungan ekonomi dari jalinannya dengan diktator Libya, lebih memilih bersikap hati-hati dan sabar dalam menyikapi revolusi rakyat di Libya. Karuan saja, melunaknya sikap negara-negara Barat itu kian membuat Gaddafi makin brutal dan bahkan mengumumkan perang dengan rakyatnya sendiri hingga mengubah Libya menjadi negeri yang berdarah-darah.
Namun ada juga sebagian analis yang menilai bahwa kepentingan ekonomi bukan satu-satunya faktor di balik kesabaran Barat terhadap Gaddafi. AS misalnya, sengaja menunggu hingga tragedi kemanusiaan di Libya mencapai puncaknya. Dengan begitu, Washington bisa memperoleh peluang untuk menduduki Libya dan mengeruk kekayaan minyak dan gas negara itu. Dengan mengusung dalih bahwa Gaddafi telah melakukan kejahatan perang, AS bakal mendapat legitimasi untuk menguasai Libya.
Apalagi posisi strategis Libya sebagai pemasok utama minyak dan gas ke Eropa tentu sudah lama menjadi incaran AS. Karena itu tak mengherankan, jika nanti nasib Gaddafi dengan Libyanya seperti suratan takdir Saddam dengan Iraknya. (IRIB/LV/NA)