Rencana Perancis untuk melarang burqa dan penutup wajah Islami yang lain di tempat-tempat publik adalah legal, otoritas konstitusional teratas di Perancis menetapkan pada Kamis waktu setempat, menjelaskan rintangan akhir untuk pelarangan tersebut – yang bertujuan untuk melindungi hak-hak para wanita namun telah dikritisi sebagai mengstigmakan umat Muslim - sebelum larangan tersebut menjadi undang-undang.
Dewan konstitusional, yang sebelumnya telah memperingatkan bahwa pelarangan burqa tersebut kemungkinan bisa menjadi tidak konstitusional, mengatakan bahwa dewan menyetujui versi dari rancangan undang-undang yang telah diloloskan oleh kedua dewan parlemen, setelah sebuah tinjauan ulang akhir.
Bagaimanapun juga dewan tersebut menilai bahwa pelarangan tersebut mulai berlaku awal tahun depan, akan tidak memiliki kekuatan hukum di tempat-tempat peribadatan publik, yang kemungkinan pelarangan tersebut melanggar kebebasan beragama.
"Pelarangan pada penutupan wajah di tempat-tempat publik tidak dapat memaksakan praktik kebebasan beragama di tempat-tempat peribadatan yang terbuka untuk umum," dewan tersebut mengatakan dalam keputusannya.
Terpisah dari ini, dewan tersebut "menilai bahwa undang-undang sesuai dengan konstitusi," dewan tersebut menulis.
Tulisan yang tidak menyebutkan Islam, namun pemerintahan Nicolas Sarkozy mengajukan undang-undang sebagai sebuah alat untuk melindungi wanita dari pemaksaan untuk mengenakan kerudung wajah Muslim seperti burqa atau niqab.
Perdana Menteri Francois Fillon dengan segera mengelu-elukan keputusan tersebut sebagai sebuah "keputusan yang penting untuk menegaskan nilai-nilai dari Republik tersebut dengan menghormati kebebasan hati nurani dan agama," dalam sebuah pernyataan.
Larangan tersebut melarang siapa saja menutupi wajah mereka di tempat publik, mendefinisikan secara luas untuk memasukkan tidak hanya gedung-gedung pemerintah dan transportasi publik, namun juga semua jalanan, pasar dan jalan-jalan ramai, tempat-tempat bisnis dan hiburan.
Penentang mengatakan bahwa pelarangan tersebut melanggar legislasi hak asasi manusia Perancis dan Eropa.
Pada September lalu, senat Perancis menyetujui undang-undang tersebut – membuat Perancis menjadi negara Eropa pertama yang secara nasional mengenakan tindakan semacam itu. Legislasi disetujui sepenuhnya oleh parlemen Dewan Perwakilan pada Juli. Undang-undang tersebut dijadwalkan diterapkan pada musim semi.
Warga Perancis mendukung pelarangan tersebut dengan sebuah batasan yang lebih dari empat dibanding satu, Proyek Pew Sikap Global menemukan dalam sebuah survei awal tahun ini.
82 persen dari orang-orang yang memilih, menyetujui sebuah larangan, sementara 17 persen tidak menyetujui. Itu adalah dukungan terbesar yang pernah ditemukan oleh organisasi think-tank yang berbasis di Washington tersebut di lima negara lain yang disurvei.
Begitu berlaku, undang-undang tersebut selama sebuah periode enam bulan menjelaskan kepada para wanita yang telah mengenakan sebuah penutup wajah bahwa mereka menghadapi penahanan dan sebuah denda jika mereka melanjutkan menutupi wajah mereka di tempat publik manapun.
"Pemerintah memeprsiapkan tindakan-tindakan untuk menginformasikan kepada orang-orang, penting untuk undang-undang tersebut diterapkan dengan tepat, terutama untuk perhatian orang-orang yang melanggar prinsip-prinsip dasar dari demokrasi kita oleh sikap ekstrim," Fillon mengatakan.
Seorang wanita yang memilih untuk menentang pelarangan tersebut akan menerima sebuah denda 150 euro ($195) atau tentu saja sebuah kursus pelajaran kewarganegaraan. Seorang pria yang memaksakan seorang wanita untuk menutupi wajah mereka akan didenda 30.000 euro dan menjalani sebuah masa tahanan sampai satu tahun.
Rancangan undang-undang tersebut datang sebagai kebijakan-kebijakan Perancis yang lainnya – terutama sebuah kampanye untuk menggulung dan mengusir warga Gypsi Romania – telah memicu pada tuduhan rasisme, dan menarik kritisi dari kelompok hak-hak asasi dan para pejabat Persatuan Eropa. (Suaramedia.com)