Film Des Hommes Et Des Dieux (Manusia dan Tuhan), yang ditayangkan baru-baru ini di Perancis, telah menarik perhatian media, terutama film tersebut telah datang pada hari jadi serangan 11 September.
Film tersebut – yang membawa kembali ingatan penculikan tujuh biarawan Trappist Perancis di desa Tibhirine, sampai Timur Aljazair, pada akhir abad lalu – mengarahkan sebuah pesan yang jelas, menurut sutradaranya, yang adalah sebuah pesan masuk ke dalam dialog dan hidup berdampingan dengan Muslim."
Film tersebut berhubungan dengan kehidupan tujuh biarawan Perancis di biara Tibhirine di Timur Aljazair sampai penculikan mereka pada tahun 1996 oleh sebuah kelompok yang diyakini terhubung dengan kelompok Bersenjata Islam (dalam bahasa Perancis: Groupe Islamique Armé — GIA) sampai mereka ditemukan terpenggal di sekitar periode yang sama, setelah otoritas Perancis menolak untuk memenuhi tuntutan dari para penculik.
Aljazair hidup melewati tahun 1990-an, yang dikenal sebagai "dekade berdarah" dalam konteks konflik bersenjata antrara angakatan darat Aljazair dan kelompok bersenjata Islam yang telah menculik dan membunuh para warga asing.
Dalam presentasinya tentang film tersebut di balai sinema Paris pada 14 September, Xavier Beauvois, sutradara film tersebut mengatakan, "Film tersebut menunjukkan rincian sehari-hari tujuh biarawan di Desa Tibhirine dan menunjukkan bagaimana para biarawan tersebut tinggal di sana selama beberapa tahun sebagai bagian dari populasi Muslim dan hubungan mereka dengan para penduduk desa yang dikarakteristikkan dengan keramahtamahan dan dalam sebuah atmosfir saling menghormati untuk satu kepercayaan dengan yang lainnya."
Film tersebut diambil di daerah pinggiran Kota Meknes di Moroko, di sebuah daerah yang menyerupai sebuah perluasan yang besar dari alam yang menawan dari Desa Tibhrine di mana biara tujuh biarawan tersebut terletak pada sebuah bukit yang menghadap ke desa tersebut.
Film tersebut sungguh berfokus pada solidaritas sehari-hari ketujuh biarawan tersebut dengan para penduduk desa dan keikutsertaan mereka dalam kesenangan dan penderitaan umat Muslim.
Film tersebut juga berfokus khususnya pada peranan Biarawan Luc dan pekerjaan bebasnya sebagai seorang dokter yang merawat 50 penduduk desa setiap hari di tokonya yang dekat dengan biara. Terlebih lagi, selama konflik berdarah antara Islamis dan angkatan darat, Luc merawat sejumlah Islamis terluka yang jatuh dalam konflik tersebut, yang menyebabkan masalah untuk para biarawan tersebut dengan otoritas Aljazair.
Film tersebut mewakili sebuah kesempatan untuk sebuah pertemuan umat Muslim-Kristen, di mana presentasi tersebut dihadiri oleh Muhammad Al-Mousawi, presiden Dewan Muslim Perancis, dan Sheikh Daw Meskine, sekretaris jenderal Dewan Imam Perancis, bersamaan dengan sejumlah besar pendeta dan biarawan.
Walaupun film tersebut menunjukkan tragedi yang dialami para biarawan Tibhirine tanpa menganggap penculik tersebut adalah Muslim, sutradara film tersebut bersemangat menyampaikan sebuah pesan bahwa para penculik dan para pembunuh seharusnya bukanlah Muslim yang benar-benar mengenal agama mereka, yang menghormati keyakinan lain dan memperlakukan mereka dengan baik.
Menegaskan hidup berdampingan yang ideal yang merupakan fokus dari film tersebut sutradara film menunjukkan adegan-adegan di mana Alkitab dibacakan oleh para biarawan selama doa sehari-hari mereka, bersamaan dengan adegan lainnya di mana AL-Qur'an di bacakan oleh para Sheikh di desa tersebut, menunjukkan bagaimana ayat-ayat Al-Qur'an mendorong untuk berhadapan dengan baik dengan "Orang-orang Naskah Suci" dan memegang pengakuan Nabi-nabi mereka.
Meskipun terdapat pesan kuat tentang hidup berdampingan yang film tersebut berusaha sampaikan, bagi banyak penonton, film tersebut tidak melampaui sebuah pesan "misionaris" tersembunyi yang memuja perkataan "pengorbanan umat Kristen" dan menggambarkan Kristianitas sebagai sebuah agama perdamaian dan rekonsiliasi mutlak, yang disangkal oleh sutradara film tersebut, berkomentar, "Para biarawan yang telah tinggal selama sepuluh tahun di desa tersebut tidak berusaha suatu hari untuk menyebarkan agama mereka di antara para penduduk desa."
Film tersebut ditutup dengan adegan para biarawan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan para penculik, di tengah-tengah pegunungan, naik dan turun, tanpa referensi sutradara pada keadaan yang mana para biarawan tersebut dibunuh, terutama setelah argumen Perancis yang terangkat tahun lalu atas sebuah kebocoran dari otoritas militer Perancis bahwa pembunuhan biarawan tersebut adalah sebuah akibat dari pengeboman Perancis – Aljazair dari salah satu benteng kelompok bersenjata.
Presentasi film tersebut ditemukan dengan kebetulan hari jadi serangan September, yang datang tahun ini, bersamaan dengan ancaman seorang pendeta Amerika untuk membakar kitab suci Al-Qur'an – sebuah masalah yang telah mengingatkan kembali pada atmosfir konfrontasi antara agama dan peradaban. (Suaramedia.com)