Insiden penusukan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bekasi, Ahad (12/9) pekan lalu, pelan-pelan mulai memiliki titik terang. Dalam Forum Dialog antara Gerakan Peduli Pluralisme dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bekasi, Ketua FKUB Bekasi Badruzzaman menyatakan penusukan jemaat HKBP tidak dilakukan oleh warga setempat yang menolak pendirian gereja.
Bahkan, Koordinator Nasional Gerakan Peduli Pluralisme Damien Dematra menduga ada agenda politik nasional di balik kerusuhan tersebut. "Ada agenda politik nasional di balik kerusuhan tersebut," kata Koordinator Nasional Gerakan Peduli Pluralisme Damien Dematra di Jakarta.
Sementara itu, beberapa perwakilan masyarakat setara Institut PGI dan HKBP berharap, pemerintah bertindak tegas serta serius menangani berbagai kasus tindakan anarkis terhadap agama maupun keyakinan tertentu. Mereka berharap, ada keputusan bersama antara pemerintah daerah, warga Ciketing, dan jemaat HKBP agar tidak terjadi masalah serupa di kemudian hari.
Belakangan ini, kalangan masyarakat tertentu prihatin dan was-was dengan adanya kejadian yang mengancam kerukunan umat beragama. Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri mengenai pendirian rumah ibadah diharapkan bisa menjadi aturan yang mendamaikan, bukan malah justru dimanfaatkan orang-orang yang tidak suka kerukunan.
Wacana untuk merevisi atau menghapus SKB dua Menteri tentang pendirian rumah ibadah mencuat setelah adanya penyerangan terhadap jemaah HKBP di Ciketing, Bekasi, Jawa Barat, kini telah sampai di gedung parlemen
Sebelumnya, Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan pemicu insiden HKBP di Kota Bekasi, Jawa Barat, tidak berkaitan dengan isu suku, agama, ras, dan agama (SARA).
“Tapi pada persoalan kepatuhan terhadap peraturan yang mengatur rumah ibadat,” ujarnya sebelum mengikuti rapat koordinasi dengan Komisi VIII di gedung DPR.
Disebutkan, rumah yang berlokasi di Jalan Puyuh Raya, Pondok Timur Indah, Bekasi, awalnya adalah tempat tinggal. Namun kemudian rumah tersebut dialihfungsikan menjadi tempat peribadatan. Selama 19 tahun praktek tersebut dibiarkan, namun belakangan muncul konflik karena persoalan ketertiban umum.
Selanjutnya pemerintah daerah setempat memutuskan menyegel rumah tersebut karena tidak sesuai dengan peruntukannya. “Pemkot Bekasi sudah betul merujuk pada peraturan Mendagri dan Menag,” terangnya.
Lantaran rumah yang biasa dijadikan tempat ibadah disegel, jemaat HKBP lantas berupaya membangun gereja di kawasan Ciketing, Bekasi. Namun, upaya ini tidak berjalan mulus. Alhasil, mereka beribadah di sebuah lahan kosong yang akan dijadikan bangunan gereja. Insiden penusukan terjadi saat jemaat HKBP berkonvoi dari rumah yang disegel ke lokasi ini.
Belakangan setelah terjadi insiden penusukan dan penganiayaan jemaat HKBP, Pemkot Bekasi mencoba memberikan lokasi alternatif tempat beribadah untuk sementara. Yaitu di gedung eks OPP di Jalan Chairil Anwar, Bekasi Timur. “Cuma pihak HKBP selalu menolak,” ujarnya.
Suryadharma Ali tetap tidak akan mencabut surat keputusan bersama (SKB) 2 menteri terkait pendirian rumah ibadah. Kasus jemaat HKBP di Ciketing dan aturan dalam SKB tersebut adalah dua hal yang berbeda.
"Kasus di Ciketing itu bukan persoalan SKB, juga bukan persoalan konflik antar-agama. Jadi tidak perlu dicabut," kata Suryadharma di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Menurut politisi PPP ini, pengaturan soal rumah ibadah tetap diperlukan. Lagipula, aturan tersebut bukan hanya berlaku untuk satu agama melainkan seluruh agama.
Selain itu, keputusan SKB 2 menteri juga sudah disepakati oleh semua pihak saat pembahasannya. Bukan hanya oleh menteri agama dan menteri dalam negeri saja.
"Itu juga keputusan majelis semua agama," tegasnya.
Khusus untuk kasus jemaat HKBP, Suryadharma menegaskan lokasi yang disegel adalah rumah tinggal. Sebuah tempat tinggal tidak bisa dijadikan rumah ibadah.
"Langkah Pemkot Bekasi sudah betul. Kami sudah memberikan alternatif, tapi HKBP selalu menolak," tutupnya. (Suaramedia.com)