Sudan bisa menjadi krisis internasional baru bagi pemerintah AS dalam beberapa bulan ke depan seiring semakin dekatnya tanggal pelaksanaan referendum untuk Sudan Selatan, media AS bahkan menyebut krisis tersebut mungkin lebih berdarah jika dibandingkan dengan genosida Darfur.
Seperti yang diutarakan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton baru-baru ini, Sudan disebut layaknya bom waktu.
Yang dipertaruhkan adalah salah satu pencapaian diplomatik dari pemerintahan Bush, yakni sebuah kesepakatan damai tahun 2005 yang mengakhiri konflik yang berlangsung selama dua dekade antara pemerintahan pusat dengan kawasan selatan yang mayoritas didiami penganut Kristen dan animisme.
Kesepakatan tersebut berujung pada terciptanya pemerintahan otonomi di selatan, dan penetapan Januari 2011 sebagai tanggal pelaksanaan referendum untuk menentukan apakah kawasan selatan, yang merupakan sepertiga dari negara berukuran besar tersebut, akan menjadi negara sendiri.
Clinton mengemukakan masalah itu dengan ringkas, ia mengatakan sudah "tidak terhindarkan" lagi bahwa Sudan Selatan akan melakukan pemungutan suara untuk kemerdekaan dalam referendum yang bebas dan adil.
Hal itu berarti pemerintahan Presiden Omar Hassan al-Bashir, yang didakwa atas kasus kejahatan di Darfur oleh Pengadilan Kriminal Internasional, diperkirakan akan menyerahkan kawasan yang mengandung 80 persen cadangan minyak negara tersebut secara damai.
Kemungkinan Bashir bekerja sama tidak tampak baik. Pemerintahan tersebut tersendat dalam segala hal, mulai dari pembatasan wilayah perbatasan dan dialog mengenai pembagian pendapatan minyak di masa mendatang hingga persiapan referendum yang tertunda.
Bashir, seperti halnya pemimpin Sudan Selatan, memiliki alasan menghindari perang baru. Selatan telah mendapatkan tank dan berbagai senjata berat lain, dan pasukan Sudan akan mendapatkan perlawanan sengit jika melakukan serangan.
Sebuah kesepakatan akan memastikan kedua kubu terus mendapatkan akses terhadap pendapatan minyak yang bisa saja hilang sama sekali. Kedua kubu juga membutuhkan hubungan yang lebih baik dengan seluruh dunia. Bashir ingin memperbaiki statusnya, sementara Sudan Selatan amat membutuhkan bantuan internasional untuk membangun negara.
Pemerintahan Obama kemudian memperlihatkan upaya yang agaknya penuh semangat.
Bashir diberikan insentif nyata untuk bekerja sama – termasuk, dalam jangka panjang, normalisasi hubungan – dan peringatan penjatuhan lebih banyak sanksi jika pelaksanaan referendum terhambat.
Terdapat peningkatan kehadiran diplomasi AS di negara tersebut, dan seorang duta besar veteran dikirimkan untuk membantu negosiasi utara-selatan.
Pada hari Jumat, Presiden Obama akan duduk bersama dengan para pejabat senior Sudan dalam sebuah pertemuan yang dihelat di New York bersama dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon.
Para pejabat pemerintahan beberapa kali memperlihatkan pesimisme mengenai kemampuan AS menggunakan pengaruhnya di Sudan. Tapi, Washington memang memiliki pengaruh – dan juga kewajiban untuk melakukan yang terbaik guna mencegah terjadinya bencana kemanusiaan.
Pada kesempatan yang sama kala ia membahas mengenai Sudan, Clinton menyatakan bahwa telah tiba "momen Amerika yang baru" dalam hubungan internasional. "Sebuah momen saat kepemimpinan global kami menjadi penting, bahkan jika kami harus memimpin dalam cara-cara baru." Sudan akan menjadi tempat yang ideal untuk membuktikan hal itu.
April lalu, Presiden Chad, Idriss Deby memperingatkan mengenai kemungkinan pecahnya Sudan dalam beberapa bulan sebelum pelaksanaan referendum yang dijadwalkan di Sudan Selatan untuk menentukan nasib orang-orang di kawasan tersebut, apakah berpisah atau tetap bersatu dengan Sudan. Menurut Deby, jika sampai terbelah, maka hal itu akan menjadi sebuah bencana bagi Afrika.
Pada bulan Januari 2011, Sudan Selatan dijadwalkan menggelar referendum dan memutuskan masa depannya. Hak tersebut tertuang dalam Kesepakatan Damai Menyeluruh (CPA) tahun 2005.
Akan tetapi, lebih dari dua dekade perang sipil dengan Sudan Utara membuat pilihan memisahkan diri kemungkinan akan diambil dalam referendum di selatan. (Suaramedia.com)