Sebuah faksi Palestina mengumumkan pada hari Minggu (26/9) waktu setempat bahwa mereka menangguhkan keanggotaan dengan Organisasi Pembebasan Palestina untuk memprotes dukungan AS dalam perundingan perdamaian Timur Tengah.
Front Populer untuk Pembebasan Palestina mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka tidak akan menjadi pengelabuan bagi kebijakan yang akan menghancurkan masalah nasional.
"PFLP menolak untuk bekerja sebagai pengelabuan untuk kebijakan Otoritas Nasional Palestina (PNA)," kata Maher al-Taher, pemimpin PFLP yang berbasis di Damaskus.
Keputusan menangguhkan partisipasi dalam pertemuan PLO merupakan respon terhadap dimulainya kembali perundingan perdamaian langsung dengan Israel, kata Taher.
Lebih lanjut, kelompok tersebut menyatakan bahwa keputusan untuk melanjutkan titik negosiasi yang "gagal" sedang menuju ke sebuah "pola destruktif dari pendukung Oslo dan menyerah pada tuntutan imperialis AS dan Israel yang berusaha untuk menghapuskan hak-hak historis nasional rakyat Palestina."
Pembicaraan yang ditengahi AS yang dimulai pada 2 September adalah "konsesi, terutama sementara negosiasi yang dilaksanakan sebagai alternatif referensi dari PBB dan resolusinya," kata Khaleda Jarar, seorang pemimpin senior PFLP, dalam konferensi pers di Ramallah , menyusul pertemuan Komite Sentral PFLP.
Pembicaraan damai yang bertujuan melindungi hak para pengungsi Palestina untuk kembali itu benar-benar akan melayani kepentingan Amerika Serikat dan Israel, kata Taher.
PFLP adalah anggota terbesar kedua dari gerakan Fatah PLO setelah PNA yang memayungi Mahmoud Abbas, pemimpin Fatah.
Kelompok ini menggambarkan keputusan untuk melanjutkan pembicaraan sebagai kemunduran berbahaya dari keputusan PLO itu.
Pada 20 Agustus, Komite Eksekutif PLO menerima undangan AS untuk melanjutkan perundingan walaupun mayoritas anggota komite menentang untuk memperbaharui pembicaraan perdamaian Israel tanpa komitmen yang jelas untuk membekukan pemukiman Yahudi di Tepi Barat.
"Keputusan untuk kembali ke dalam pembicaraan dianggap sebagai penyalahgunaan PLO dan identitas nasional Palestina," kata Jarar.
Ada oposisi luas terhadap dimulainya kembali perundingan perdamaian dari dalam PLO, sebuah kelompok payung dipimpin oleh Abbas.
Rekonsiliasi antara faksi-faksi Palestina ini penting karena Abbas dan Otoritas Palestina membutuhkan suara bulat untuk kembali pembicaraan perdamaian yang baru dimulai dengan Israel. Pada hari Sabtu, rival Palestina Hamas dan Fatah mengumumkan bahwa mereka telah menyepakati langkah-langkah untuk mengakhiri perpecahan mereka.
Fatah mengkritik langkah tersebut. Jurubicara Komite Sentral Fatah Mohammed Dahlan mengatakan keputusan itu "mengecewakan" dan meminta kelompok itu untuk menerbitkan penarikan kembali, pada waktu ketika delegasi Palestina untuk PBB bersikukuh atas ketidaksediaannya untuk mengkompromikan prinsip-prinsip dasar Palestina.
Dalam beberapa laporan selama beberapa minggu terakhir beberapa kelompok Palestina mempertimbangkan keanggotaan PLO mereka menyusul keputusan untuk kembali ke meja perundingan damai.
Perpecahan pada hari Minggu tersebut terjadi ketika Israel, Palestina, dan AS yang bertindak sebagai mediator berusahan untuk segera mencari kompromi yang memungkinkan pembicaraan Timur Tengah untuk dapat berlanjut setelah pembekuan sementara pembangunan pemukiman Israel berakhir pada tengah malam.
Ketua Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, yang juga ketua PLO, melanjutkan pembicaraan langsung dengan Tel Aviv pada awal September.
Banyak kelompok-kelompok Palestina telah putus harapan dalam perundingan yang ditengahi AS dengan menyatakan adanya keberpihakan Gedung Putih yang mendukung Israel dan mengatakan bahwa Abbas - yang masa baktinya berakhir pada tanggal 9 Januari 2009 - tidak mewakili kebanyakan warga Palestina.
Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman mengatakan pada awal bulan ini bahwa perundingan harus berdasarkan atas pengusiran rakyat Palestina dari tanah mereka yang diduduki oleh Israel.
Agar negosiasi tetap dapat berjalan, PA telah membuat sebuah syarat wajib bahwa Israel harus menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi ilegal di tanah Palestina yang diduduki. Tel Aviv tidak mau memberikan jaminan semacam itu. (Suaramedia.com)