Feminis terkenal Jerman dan yang paling bebicara dengan blak-blakan telah menyerukan sebuah larangan pada jilbab untuk para gadis di sekolah-sekolah Jerman. Buku barunya, sebuah pembelaan untuk integrasi atas Islamisme, nampaknya memicu kontroversi.
Jilbab lebih dari sekedar sehelai bahan kain, lebih dari sekedar artikel pakaian, dan pastinya bukan beberapa tren aksesori gaya hidup yang dengan berat mendandani para gadis seharusnya digunakan untuk menambah sedikit warna untuk lemari pakaian mereka. Tidak, jilbab adalah sebuah "bendera dan simbol dari Islamis" yang "mengikuti sebuah perang salib sepanjang jantung Eropa pada tahun 1980-an." Atau begitulah yang dikatakan ikon feminis Jerman Alice Schwarzer dalam buku barunya, "The Great Cover Up: For Integration, against Islamism" (Penyamaran Hebat: Untuk Integrasi, terhadap Islamisme).
Buku tersebut baru-baru ini diterbitkan di Jerman dengan judul "Die grosse Verschleierung: Fuer Integration, gegen Islamismus," dan pernyataan tegasnya telah menjadi sebuah suntikan namun lebih menyiramkan minyak ke dalam perdebatan integrasi yang memang telah terbakar di Jerman.
Para guru tidak lagi diperbolehkan mengenakan jilbab di sekolah-sekolah publik Jerman, dan sekarang Schwarzer telah menuntut langkah selanjutnya: Para gadis seharusnya dilarang mengenakan jilbab juga.
"Hanya tindakan yang penuh paksaan ini yang pada akhirnya akan memberikan para wanita muda dari keluarga ortodoks fundamentalis kesempatan untuk bergerak dengan kebebasan dan kesetaraan, setidaknya di dalam penjara-penjara halaman sekolah," Schwarzer menulis.
Banyak para pembaca nampaknya bereaksi secara negatif pada tuntutan untuk sebuah pelarangan jilbab tersebut. Dalam diri mereka sendiri, pelarangan bertentangan dengan kebebasan dan hak-hak yang seharusnya tidak memerlukan bukti lagi di Jerman: hak untuk menentukan nasib individual sendiri, kebebasan beragama.
Shwarzer dan rekan penulis – buku tersebut termasuk artikel-artikel oleh sejumlah jurnalis dan aktivis – menjumlah konflikk sentral tersebut menjadi oposisi antara hak individual dan hak kesetaraan, menulis: "Pemakaian jilbab, yang mengubah para siswi tersebut menjadi "orang asing"yang terpisah secara social dan membatasi mereka secara fisik, datang bersama dengan seluruh susunan perlakuan khusus yang orang tua mereka tuntut dari sekolah. Selalu merupakan sebuah pertanyaan pemisahan jenis kelamin atau – sepanjang hal ini ditolak oleh sekolah-sekolah Jerman – memberi para siswi tersebut dispensasi dari kelas berenang atau kelas senam, dari perjalanan wisata sekolah dan kelas-kelas pendidikan seks."
Menurut buku tersebut, fundamentalis sedang berpawai di Jerman. Dan masalah yang sesungguhnya Schwarzer mengatakan, adalah "sistematis tersebut yang merusak aparat dan sistem hukum kita.
Di tengah-tengah suara-suara yang menggelisahkan tersebut, hampir mengejutkan untuk menemukan di dalam buku tersebut beberapa fakta serius yang para jurnalis ambil dari sebuah studi terbaru tentang wanita Muslim di Jerman. Salah satu contoh: Hanya sedikit minoritas dari mereka yang benar-benar mengenakan jilbab. Bahkan di antara mereka yang menganggap diri mereka sendiri "sangat relijius", hanya setengah dari para responden mengatakan bahwa mereka menutupi kepala mereka. Yang berarti, sebaliknya, bahwa mayoritas besar Muslim menjauhkan diri mereka sendiri dari aturan berpakaian para fundamentalis. Dan oleh karenanya dari organisasi Islam yang mendikte jilbab harus dikenakan.
Tujuan Schwarzer adalah untuk mengangkat sebuah perbincangan dengan mayoritas besar wanita Muslim, dan memberi mereka dukungan. Sampai saat ini, Schwarzer mengatakan, Jerman melakukan "dialog palsu" dan "toleransi palsu". Rekan-rekan dialog telah sebagian besar menjadi perwakilan dari organisasi fundamentalis, dan tuntutan mereka telah dipenuhi berdasarkan atas sebuah ketakutan penuduhan rasisme. (Suaramedia.com)