Hubungan antara Indonesia dan Iran genap 60 tahun pada 2010 ini, tetapi hubungan itu nyaris tanpa diisi pilar penting. Padahal, potensi Iran terbilang luar biasa, tetapi kita selalu terlambat menyadarinya dan seolah ragu berhubungan dengan negara yang dikucilkan Amerika Serikat itu.
Pembangunan yang terus berjalan, meski sejak revolusi Iran tahun 1979 hingga saat ini terus dikucilkan oleh AS, menjadi bukti kekuatan Iran. Berbagai tekanan negara-negara Barat terhadap negara itu, termasuk tiga sanksi yang dikenakan Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Iran, nyaris tidak terlihat pengaruhnya. Kalau toh ada, pengaruh sanksi-sanksi itu bisa diredam dengan baik oleh kekuatan kemandirian Iran.
”Memang pengaruh langsung sanksi-sanksi itu tidak terasa. Harga-harga sejumlah barang memang naik, tapi kenaikan harga itu kan faktor di belakangnya banyak, tidak otomatis karena sanksi-sanksi itu,” ungkap Darius, warga Iran yang bekerja sebagai sopir di Teheran.
Melihat kota Teheran yang megah dan rapi tak ubahnya seperti berharap melihat Jakarta pada masa datang. Di ibu kota Iran itu, kemacetan lalu lintas juga menjadi pemandangan yang biasa meski jalan raya telah dibuat cukup lebar. Di kota itu pun telah beroperasi busway seperti di Jakarta, tetapi Teheran memiliki juga jaringan kereta api bawah tanah yang tak kalah dengan Singapura.
Sebagai negara pemilik cadangan minyak dan gas terbesar kedua di dunia, ternyata Iran sejak satu dekade lalu mulai menggeser ekonominya untuk tidak terlalu bergantung pada komoditas minyak dan gas. Hasilnya pun terlihat dari kemampuan mereka di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga menjadikan Iran sebagai negara kawasan Timur Tengah dengan industrialisasi paling maju.
Menteri Perdagangan Iran Dr Mehdi Ghazanfari mengungkapkan, pendapatan negara dari sektor nonmigas kini sudah lebih dari 50 persen dari seluruh ekspor Iran. Perdagangan dengan berbagai negara pun terus meningkat sehingga volume perdagangan Iran secara keseluruhan terus meningkat meski AS terus berusaha mengucilkan Iran.
Tandingi AS
Kemampuan Iran bertahan dari berbagai gempuran, bahkan terus tumbuh semakin maju, itulah yang memang mengkhawatirkan banyak negara maju, khususnya AS dan Israel. Dengan kekayaan minyak dan gasnya serta sumber daya manusia yang tangguh dan berilmu pengetahuan tinggi, Iran berpotensi berkembang menjadi ”Rusia kedua” yang akan berperan menandingi AS, baik di kawasan Timur Tengah maupun dunia. Pendapatan nasional bruto Iran pada 2009 diperkirakan lebih dari 870 miliar dollar AS atau sedikit di bawah Indonesia.
Wajar apabila melihat potensi besarnya itu, sejumlah negara Eropa Barat, Jepang, dan Korea Selatan, yang merupakan sekutu AS, tetap berbisnis dengan Iran. Apalagi negara-negara bukan sekutu AS, seperti Rusia dan China. Malaysia pun tak ragu berinvestasi atau dagang dengan Iran.
Bagaimana dengan Indonesia? Duta Besar RI untuk Iran Iwan Wiranataatmadja dengan terus terang mengakui tidak adanya pilar penting dalam hubungan kedua negara, padahal Indonesia dan Iran telah 60 tahun berhubungan. Perdagangan kedua negara baru mencapai satu miliar dollar AS, yang terbilang kecil dibandingkan perdagangan Iran dengan Singapura, misalnya, yang bertetangga dengan Indonesia.
Dubes Iwan menguraikan, secara berseloroh tetapi serius, dia mengatakan kepada para stafnya di Kedutaan Besar RI Teheran, Singapura yang tak mempunyai kedutaan di Iran—yang ada kedudukannya di Singapura dan tidak mempunyai kantor—tetapi menghasilkan 3,5 miliar dollar AS yang kemudian memang turun menjadi 2,5 miliar dollar AS karena masalah transaksi keuangan.
”Meski turun, mereka tetap 2,5 kali lipat Indonesia yang mempunyai kedutaan dan anggota staf sembilan orang. Makanya, kalau kita tak bisa melaksanakan tugas untuk meningkatkan perdagangan kedua negara, lebih baik kita pulang. Malu saya dengan Singapura,” ujarnya.
Dubes RI untuk Iran itu melihat, ada kegamangan di dalam bagaimana memaknai hubungan dengan Iran. ”Jangankan terhadap kebijakan dan sosok negara Iran, terhadap bayangan negaranya saja banyak pengetahuan kita yang salah. Saya pikir Iran itu seperti di padang pasir, tidak banyak bangunan, tidak ada pohon. Itu yang ngomong pejabat, lho,” ujarnya.
Jika di kalangan pejabat kita saja pengetahuan mengenai Iran masih minim, apalagi masyarakat pada umumnya. ”Kegamangan itu memang tak mudah dihilangkan, tetapi kami terus berusaha mengatasinya. Jadi, tugas kita semua adalah mempromosikan Iran. Tidak hanya untuk kepentingan Iran, tetapi juga agar para pejabat kita tahu, Iran itu negara yang kondusif untuk melakukan hubungan dagang, ekonomi, untuk dijadikan mitra,” ungkap Iwan.
Ketidaksiapan Indonesia
Sebagai sesama anggota Gerakan Nonblok, Organisasi Konferensi Islam, D-8, G-15, dan banyak lagi forum internasional lainnya, Indonesia dan Iran sudah seharusnya berkawan lebih dekat. Kedua negara, menurut Iwan, sudah mempunyai 13 nota kesepahaman, tetapi banyak yang belum ditindaklanjuti lebih jauh, apalagi dilaksanakan. ”Persoalannya ada pada kita. Ketidaksiapan kita untuk menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan itu,” katanya.
Memang ironis, kelemahan kita dalam menindaklanjuti dan mewujudkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dengan Iran itu tidak banyak berbeda dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat Indonesia dengan sejumlah negara lain. Wajarlah apabila sejumlah kalangan di dalam negeri menuding Pemerintah Indonesia sangat senang mengumpulkan dokumen kerja sama dengan berbagai negara lain, tetapi tidak bisa mewujudkannya.
Dalam hubungan dengan Iran, salah satu penyebabnya adalah juga kegamangan Pemerintah RI dalam menentukan sikap terhadap masalah program nuklir Iran yang terus dipersoalkan negara-negara Barat, khususnya AS. Kedekatan RI dengan negara-negara adidaya Barat itu banyak memengaruhi semangat untuk segera mewujudkan berbagai kesepakatan dengan Iran, khususnya saat RI duduk di DK PBB.
Kunjungan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada 17-18 April lalu, yang akan dilanjutkan dengan rencana kunjungan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada Mei ini, mengindikasikan gairah baru kita untuk menjalin hubungan lebih dekat dan kuat dengan Iran. Kunjungan sejumlah pejabat Indonesia lainnya, digambarkan Iwan, sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan bahwa Iran adalah sebuah negara yang normal dan sangat potensial.
”Iran ini negara yang resisten terhadap tekanan-tekanan seperti itu. Kalau kemudian tekanan tersebut tidak ada lagi, bisa dibayangkan akan jadi seperti apa negara ini. Itu yang orang-orang bilang, saya sekarang tidak mau ketinggalan kereta api, karena kalau nanti sudah normal jangan ge-er kita akan dilirik. Yang akan dilirik adalah mereka yang sudah pernah menancapkan kaki di sini. Itulah yang ingin saya majukan sebagai KBRI,” kata Iwan.
Dubes RI untuk Iran itu mengungkapkan, Iran sejak dulu melirik Indonesia untuk dijadikan sahabat baiknya. Presiden Ahmadinejad sampai sekarang tidak henti-hentinya mengungkapkan kesan dia saat berkunjung ke Indonesia pada 2006, bukan hanya soal sikap para pemimpin RI saja, tetapi juga dia merasakan keterbukaan dan penerimaan rakyat Indonesia di lapangan.
”Penerimaan Indonesia terhadap saya pribadi dan rakyat Iran sangat luar biasa. Tidak pernah saya mendapatkannya di mana pun. Itu dia bilang berulang-ulang. Lah, masak ada orang seperti itu, kita tidak jadikan teman. Apakah orang seperti itu atau negara seperti ini bukan potensi?” kata Iwan.(kompas)
Oleh Rakaryan Sukarjaputra