Jakarta - Dua tahun sebelum membom London pada 2005, Mohammed Siddique Khan, belia dari generasi ketiga keturunan Pakistan di Inggris, pergi ke Yerusalem.
Di Yerusalem, pemuda lemah lembut itu mendapati dinding tebal tinggi mengurung Palestina. Dia teriris hatinya, apalagi setelah melihat seorang Palestina tua dipopor tanpa daya oleh serdadu Israel.
Sebelum itu Khan tidak memiliki afinitas ke Palestina, tetapi Yerusalem mengubahnya 180 derajat.
Khan menggugat identitasnya. Inggris tanggal dari KTP-nya, sementara darah Pakistan surut dari sumsumnya. Dia melihat dirinya sama dengan Palestina tua itu, yaitu sama-sama muslim.
Sekembalinya ke Inggris, dia mengisahkan nestapa itu kepada kawan-kawannya sesama keturunan Pakistan yang tersisih di negerinya sendiri.
Mereka memupuk kemarahan dengan menjejak akar masalah dan merunut sejarah Israel, sampai tiba pada kesimpulan; Inggris adalah bidan penistaan Palestina oleh Israel. Mereka memvonis, Inggris harus dihukum!
Rencana disusun, kebencian dipupuk, ayat suci dimanipulasi, dan..duarr, bom mengguncang London pada 7 Juli 2005.
Inggris marah, Barat cemas, karena pelaku teror bukan lagi orang lain, tetapi warganya sendiri.
Siddique Khan diketahui diradikalkan, bukan hanya oleh Palestina, tapi juga ide-ide keras yang mengalir lewat dunia maya.
Ide-ide keras itu berasal dari jaringan teror yang tampaknya mengubah bidikannya ke militan-militan muda seluruh dunia, tanpa perlu mengundangnya datang ke kamp-kamp teroris.
Rekrutmen
Jaringan teror sekarang membidik massa akar rumput, tak lagi alumni Afghanistan atau medan jihad lainnya. Hasilnya, mereka bisa terus mengancam musuhnya, termasuk Amerika.
Pada Desember 2009, mereka berusaha menyerang lagi Amerika lewat Umar Abdulmutallab. 1 Mei 2010, upaya serupa dilakukan di New York.
Para teroris ini, mengutip NBC pada 15 Februari 2010, juga sabar mempelajari target, dengan mempelajari kelemahan mesin pemindai sinar-X, detektor logam, dan alat pelacak bom.
Hasilnya, Umar lolos dari pemeriksaan bandara, dan penerbangan Northwest Airlines dari Amsterdam nyaris meledak di Detroit, AS, pada 25 Desember 2009.
Kolumnis Reuters Bernd Debusmann menyebutkan, Alqaeda kini juga sibuk merekrut pria wanita bermata biru berambut pirang, untuk melakukan keonaran di negerinya sendiri.
Salah satu yang sukses direkrut adalah warga AS David Headley yang ditangkap di Chicago karena membantu Lashkar-e-Taiba, menyerang Mumbai, dua tahun lalu.
Kemudian penerjemah Alqaeda Adam Yahiye Gadahn, warga AS yang masuk Islam namun kemudian menjadi sangat radikal setelah menyaksikan video Osama bin Laden pada September 2007.
Mayor Nidal Malik Hasan, yang juga disusupi ide-ide ekstrem, bahkan membuat tewas 13 rekannya sesama tentara AS di markas mereka di Fort Hood, Texas.
Yang dibidik teroris, mengutip Geneive Abdo, pengarang "Mecca and Main Street: Muslim Life in America After 9/11", adalah pemuda di bawah 30 tahun yang terasing dari masyarakat, untuk disetrum oleh pikiran-pikiran ekstrem guna melancarkan aksi ekstrem.
Mereka dikenalkan pada ide-ide radikal lewat Internet di ruang-ruang privat di rumah para pemuda seluruh dunia.
Pemanfaatan internet ini disinggung oleh kolumnis Der Spiegel, Yassin Musharbash. Menurut Yassin, orang kedua Alqaeda, Ayman al-Zawahiri, menggelar dialog interaktif via Internet untuk mencari bibit-bibit teroris dari seluruh dunia, dari rambut kribo sampai rambut pirang.
Salah seorang kulit putih yang direkrut dari dunia maya adalah perempuan berinisial "JihadJane,"
Model serangan
Para teroris itu juga terus memperbarui serangan terornya, dari mengadopsi model "perang kota" seperti di Mumbai atau membangun basis serangan teror di wilayah-wilayah strategis seperti Yaman yang berada di bibir jalur laut internasional vital Laut Merah dan Teluk Aden.
Itikad itu pula yang mendorong teroris membangun basis di Aceh yang terletak di tepi Selat Malaka yang vital.
Mereka juga mengenalkan model-model serangan sederhana dengan dana yang dikumpulkan sendiri dari massa akar rumput.
Dalam soal ini, pemimpin tanzim Alqeada di Semenanjung Arabia, Nasir al-Wahayshi, di satu situs online milik Alqaeda setahun lalu, pernah menyeru para aktivis jihad untuk mengubah aksi terornya.
Jurnal intelijen Stratfor edisi November 2009 menyebutkan, al-Wahayshi telah menyeru aktivis jihad global untuk melancarkan serangan-serangan skala rendah dengan target orang-orang Barat dan kepentingannya, serta aparat keamanan, pejabat dan para pemimpin negara sekutu Barat.
Pria Yaman yang menjadi pembantu dekat Osama bin Laden di Afghanistan itu menginstruksikan para militan untuk tidak susah-susah mengumpulkan uang guna membuat bahan peledak, atau menunggu aliran dana dari luar negeri.
"Kalian tak perlu buang-buang waktu untuk mendapatkan bahan-bahan itu karena kalian bisa mendapatkan semua itu di dapur rumah atau kota manapun kalian tinggal," kata Al-Wahayshi.
Faizal Shahzad, pelaku bom gagal meledak di Times Square Garden, New York, 1 Mei 2010, mengumpulkan bahan-bahan peledak dari dalam negeri AS, sekaligus memodali sendiri aksinya itu.
Pakar terorisme dari International Crisis Center, Sidney Jones, dalam perbincangan dengan Metro TV pekan lalu, menyebutkan teroris di Aceh dan lusinan orang yang dilumpuhkan di sejumlah tempat, termasuk Cikampek dan Solo, tampaknya didanai dari dalam negeri, termasuk dari hasil perampokan.
Itu mungkin implementasi seruan Al-Zawahiri dan Al-Wahyashi, yang juga diterjemahkan oleh pelaku-pelaku teror di Indonesia.
Kultural
Kasus-kasus itu membuktikan teroris tak berhenti beraksi. Mereka terus mengubah paradigma terornya, meski kamp-kamp teror dihancurkan dan aliran dana internasional untuk pembiayaan terorisme dipotong oleh kerja bersama otoritas keuangan dunia.
Siddique Khan bukan satu-satunya yang direkrut melalui metode baru itu, karena para pelaku serangan maut di Mumbai, Nairobi, bahkan pelaku teror di Indonesia pun banyak dididihkan oleh indoktrinasi lewat dunia maya.
Para belia ini menganggap dirinya sedang memikul "perintah Tuhan" dan melihat diri mereka sebagai "tentara Tuhan."
Mereka, kata penulis Reza Aslan dalam "How To Win A Cosmic War," sedang melancarkan "perang kosmik", yaitu perang kebaikan melawan kebathilan, antara Tuhan melawan kekuatan musuh Tuhan.
Mereka hampir mustahil untuk diajak dialog, namun, sebut Reza Aslan, pendekatan kultural adalah cara terbaik untuk membunuh bibit-bibit terorisme.
Untuk itu, selain mesti mencermati metode rekrutmen dan pola baru serangan teror, agamawan harus diberi tempat untuk menghentikan radikalisasi agama.
Sementara negara harus cermat mengirimkan sinyal agar para ideolog radikal tak memiliki ruang untuk memanipulasi konstruksi rezim dan sistem, karena misalnya rezim dianggap lebih dari sekedar kawan untuk musuh terorisme atau sistem dianggap sudah begitu menggugat agama.
(antara)