24 Dec 2009

Kisah Perjalanan Ahmad Taufik, Wartawan Tempo, ke Karbala

Karbala, itulah tujuanku setelah dua pekan meliput pemilihan umum di Irak. Tentang Karbala, Ibnu Sa'ad salah satu perawi hadits meriwayatkan: Dalam perjalanan menuju shiffin, Imam Ali bin Abi Thalib melewai gurun pasir Karbala. Ia berhenti dan menangis dengan sangat.

Ketika ditanya mengapa menangis? Imam Ali mengatakan suatu hari dia mengunjungi Nabi Muhammad SAW dan menemukan beliau sedang menangis. Saat ditanyakan kepada Rasul Allah, apa yang membuat beliau menangis?
Nabi Muhammad menjawab "Wahai Ali, (malaikat) Jibril baru saja bersamaku dan memberitahuan kepadaku, bahwa anak (cucu)ku, Hussain, akan syahid di Karbala, suatu tempat di dekat pinggir Sungai Eufrat, ini sangat mengharukan hatiku, sehingga aku tak tahan untuk tidak menangis."

Bagi seorang jurnalis dan orang asing tak mudah jalan ke Karbala. Apalagi ditengah kecurigaan, kekerasan dan teror.

Pagi-pagi, sekitar pukul 07.00, sopir yang selalu menemaniku, Bassam Sein, sudah menjemputku di hotel. Setelah menitipkan barang-barang besar ke orang Indonesia yang menikah dengan orang Irak, Ahmad Gofar, dengan KIA Sephia buatan Korea Selatan (mirip Timor tapi stir kiri) biru tua, kami meluncur ke Karbala, 118 kilometer dari ibukota Irak, Baghdad.

Jalanan macet, karena rombongan tentara Amerika Serikat menutup dua jalur jalan, masuk menuju Baghdad. Akibatnya satu jalur ke luar Baghdad dipakai menjadi dua jalur. Tampak pasukan AS sedang mengawal hommer, truk, truk tangki dan tank, semuanya dilengkapi senjata yang isinya siap dimuntahkan bila ada gangguan.

Menuju Karbala, melewati beberapa kota kecil, Bassam, bekas tentara Garda Republik-nya Saddam Hussein yang kini jadi sopir taksi harus bertanya arah yang benar menuju Karbala saat masuk kota Al-Mahmudiyah. Maklum, penunjuk jalan di Irak sangat minim. Bagi orang Irak sendiri,bahkan seorang sopir seperti Bassam, sangat membingungkan untuk menemukan jalan, apalagi bagi orang asing.

Di Pasar Al-Mahmudiyah, tampak rombongan tentara AS sedang jalan-jalan, salah seorang yang paling depan nampak menenteng tali mengikuti anjing yang mengendus-ngendus jalan. Beberapa warga yang di dekatnya menyingkir, dan wajah mereka tampak geli (jijik).

Kota kecil lainnya yang dilewati Iskandariyah dan Al-Musayyib. Sepanjang jalan tampak hiasan jalan bergambar Imam Hussain, beberapa di antaranya cuma tulisan Arab gundul "madrasah Ahlul Bayt". Di beberapa tempat saat memasuki kota-kota kecil itu polisi memblok jalan, dengan senjata terhunus. Mereka melihat ke dalam mobil yang lewat satu persatu, di beberapa tempat bersama tentara Irak. Bassam hanya membuka jendela mobil, lalu mengucapkan "Assalamualaikum."

Di daerah Latifiyah, penjagaan justru ketat, untuk kendaraan yang menuju Baghdad. Beberapa tentara memakai kupluk penutup muka dan rompi anti peluru dengan tulisan ICDC. Rombongan tentara Amerika sepanjang hampir dua kilometer berjalan beriringan menuju Baghdad.

Melewati jembatan Sungai Eufrat, bulu kudukku berdiri, teringat cerita, saat Imam Hussain menggendong bayi berumur enam bulan, Ali Al-Ashgar, putranya yang kehausan, karena saluran air yang menuju kemahnya ditutup sejak 7 Muharram. Bayi yang menangis kehausan itu, tak sempat menikmati tetesan air Sungai Eufrat, karena keburu mati kena anak panah beracun yang melesat dari busur tentaranya Yazid bin Muawiyah menembus leher bayi itu saat Imam Hussain akan mengambil air dari sungai.

Pintu gerbang perbatasan Karbala sudah dekat, sudah tampak lengkungan dan gambar besar Imam Hussain. Pada 7 Muharram 61 Hijiriyah, kuda Imam Hussain secara aneh berhenti dan tidak mau bergerak lebih jauh lagi. Saat itu Imam dan rombongannya berencana menuju Kufah, sekitar 80 kilometer lagi. Setelah berhentinya kuda Imam Hussain menyatakan : "Inilah tanah itu, tanah penderitaan dan penyiksaan."

Dalam buku "14 Manusia Suci," terbitan, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1990, diceritakan Imam Hussain turun dari kudanya dan memerintahkan pengikut-pengikutnya berkemah di tempat itu dengan mengatakan, "disinilah kita akan syahid dan anak-anak kita akan dibunuh. Disini kemah kita akan dibakar dan keluarga kita akan ditawan. Inilah tanah di mana datukku, Rasulullah telah meramalkan, dan ramalannya pasti terpenuhi."

Mobil yang membawaku dicegat. Mobil kami diperiksa, aku diinterogasi. Mengetahui aku bukan orang Irak dan jurnalis, Haidar, 28 tahun, polisi itu membawa persoalan ke komandannya. Setelah menunggu setengah jam komandan itu kembali menginterogasi, lalu ia menelepon. "Tunggu konfirmasi dari Karbala," kata sang komandan. Setengah jam kemudian datang dua pemuda tak berseragam dengan mobil Hyundai Accent warna putih dengan plat tertulis exp Dubai, artinya kata Bassam mobil itu diimpor dari Dubai, Uni Emirat Arab.

Haidar, polisi kelahiran Najaf dan mengaku pengikut Muqtada Al-Sadr dengan senjata laras panjang masuk ke mobil Sephia Bassam. Kami diminta mengikuti mobil Hyundai warna putih itu. Sekitar 15 kilometer, kami memasuki kota Karbala. Polisi itu memasuki kantornya, Al-Abbasiya Police Station, begitu tertulis di gerbang dalam.

Menjelang masuk kantor polisi, tampak benar penjagaan yang ketat, beton semen, dan tumpukan pasir. Masuk ke kantor polisi aku justru ngeri, karena selama ini polisi justru yang sering jadi sasaran bom. Masuk ke kantor yang berantakan, dan tampak baru dibangun kembali. Di lantai dua kami kembali dinterogasi, selama hampir dua jam.

Disitulah saya melihat kesabaran Bassam, dia seorang sunni membawa orang asing ke daerah syiah. Tuduhan terhadapnya macam-macam, mulai sangkaan Ali Baba (begal) sampai ditanya maksudnya ke Karbala (tempat suci kaum Syiah). Sebagai bekas tentara, Bassam mengikuti saja prosedur polisi yang kesanku bertele-tele, dan mbulet.

Salah seorang komandan bernama Sayyid Ahmad, mengatakan kekhawatirannya atas keselamatanku. "Anda kesini tujuannya meliput pemilu ngapain ke sini, pemilu, kan sudah berakhir," katanya.

Penjelasanku sebagai jurnalis masih tak bisa diterimanya. Akhirnya aku memakai alasan pribadi. "Ok, ini kuburannya kakek buyutku, masak seorang cucu mau ziarah dihalang-halangi," kataku.

Akhirnya diputuskan pasporku ditahan, begitu juga surat-surat Bassam. Seorang polisi menulis sepucuk surat, dari robekan kertas roti, seukuran 3 kartu nama, dalam Bahasa Arab, menulis tanda terima surat-surat kami dan alamat hotel yang harus kami inapi.

Tak mudah memang jalan ke Karbala. Aku anggap ini cobaan kecil, dibanding cobaaan yang maha dahsyat yang dialami Imam Hussain. Rencana aku menginap di Karbala, jadi terganggu gara-gara peristiwa tadi. Aku tak merasa nyaman lagi dengan perlakukan polisi. Ternyata, polisi dimana-mana sama saja.

Karbala, kini bukan lagi padang pasir, tetapi telah menjelma menjadi kota. Tak mudah mencari tempat parkir. Akhirnya, mobil kami mendapat tempat di pojok sebuah pasar, sekitar 500 meter dari kompleks makam.

Tak seperti makam Imam Musa di Kadzimiyah Baghdad yang bebas dari mobil, dan hanya untuk pedesterian. Di dekat pagar kompleks makam, masih tampak mobil lalu lalang. Di depan komplek ada taman kecil, para fotografer amatir menawarkan orang yang mau berfoto.

Aku dan Bassam meminta tiga jepretan, foto dengan latar belakang gerbang dan kubah makam Imam Hussain. "Nanti selepas asar bisa diambil di toko di pojok itu," katanya menunjuk sekitar 300 meter ke arah jajaran toko-toko.

Setelah bayar kontan 5.000 dinar Irak, aku masuk ke ke komplek makam. Sebelum masuk HP-harus dititipkan di sebuah tempat penitipan.

Sebelum masuk ke gerbang kami harus antri melewati tiang-tiang besi dan pemeriksaan badan. Di pintu gerbang orang berdoa, ada yang mencium-cium pintu gerbang yang wangi. Setelah gerbang selasar luas berlantai marmer di beberapa tempat terhampar karpet, tampak orang salat dan sekadar duduk-duduk. Di beberapa bagian, tenda-tenda hitam dipasang untuk prosesi perkabungan karbala. Sebelum masuk ke pintu berikutnya, sepatu harus dititipkan.

Di depan gerbang pengunjung bisa membaca doa yang tercantum di sisi kiri dan kanan gerbang itu. Makam Imam Hussain terkurung pagar perak, harum wangi menyebar dari makam itu. Di dalamnya banyak sekali uang dari berbagai negara, kertas-kertas, kain-kain, dan obat-obatan. Mungkin orang minta sesuatu. Aku memasukkan kartu nama Tempo ke dalam makam Imam Hussain.

Assyura berasal dari kara asyroh, sepuluh. Alkisah, pada waktu fajar 10 Muharram 61 Hijiriyah, Imam Hussain melihat pasukan Yazid, sang komandan Umar bin Sa'ad
memerintahkan pasukannya bergerak menyerang kemah Imam Hussain. Melihat itu Imam Hussain segera mengumpulkan pengikut-pengikutnya. "Hari ini Allah telah mengijinkan kita untuk melaksanakan perang suci, dan Dia akan memberikan pahala atas kesyahidan kita. Maka siapkanlah diri kalian untuk berperang melawan musuh Islam dengan kesabaran dan perlawanan," katanya.

"Wahai para putra orang-orang mulia dan mempunyai harga diri, bersabarlah. Kematian tak lain hanyalah jembatan yang harus kalian seberangi setelah menghadapi cobaan dan godaan, untuk mencapai surga dan kesenangan," ujar Imam Hussain.

Ajakan dan pidato Imam Hussain menuju ke-syahid-an, disambut para pengikutnya. "Wahai pemimpin, kami siap untuk membela Anda dan ahlul bait Anda, serta siap mengorbankan jiwa kami untuk Islam," katanya serempak.

Seorang demi seorang keluar dari lingkungan kemah dan berperang melawan tentara Yazid. Mereka gugur satu persatu di Padang Karbala. Tangan Imam Hussain tertembus panah saat memegang bayi berusia enam bulan yang akan diberi minum air Sungai Eufrat. Imam Hussain lalu bertempur dengan pasukan yang bengis itu. Pasukan Yazid berhasil membunuh Imam Hussain, mereka menusuk dan memotong kepalanya. Lalu dengan tombak potongan kepala itu dibawa keliling padang tandus itu, sambil menyebut "Allahu Akbar."

Aku jadi teringat lagu dalam sebuah album kaset Iwan Fals, yang kebetulan aku bawa dan diputar sepanjang jalan menuju Karbala. "Orang bicara cinta, atas nama tuhannya, sambil mereka membunuh, membantai berdasarkan keyakinannya."

Aku berdoa, teringat akan cerita sejarah pembantaian itu. Aku menangis atas kekejaman manusia, tetapi aku gembira mengingat keberanian mereka untuk syahid. Kulihat orang-orang menangis tersedu-sedu, di tempat lain yang tak kelihatan suara perempuan menjerit-jerit, menambah syahdu kompleks makam itu. Aku salat sunnah dua
rakaat, membaca doa ziarah dan berdoa semoga bisa diajak bersama beliau di tempat yang indah di akhirat nanti.

Tak terasa sejam lebih aku berada di dalam kompleks makam itu. Keluar menuju penitipan sepatu, saat saya akan membayar, ditolak. "Jangan, saya kerja untuk Imam Hussain," katanya. Ucapan yang sama juga saat mengambil handphone.

Di luar komplek, saya membeli dua lusin tanah karbala yang sudah dikeraskan. Biasanya tanah itu digunakan penganut syiah untuk bersujud saat salat. Di luar juga dijual bebagai macam asesoris untuk perkabungan Imam Hussain, seperti kayu sepanjang setengah lengan, dengan rantai tajam setengah meter. Pada hari perkabungan di Karbala alat itu dipakai untuk dipukul-pukulkan ke tubuh para pengikut prosesi itu, untuk merasakan kesakitan penderitaan Imam Hussain.

Penyakitan diri sendiri itu membuat tubuh mereka berdarah-darah, serupa seperti yang biasa dipraktikkan di Filipina dan Amerika Selatan, yang menyalib diri dan memantekan paku ke kayu salib, seperti penderitaan Yesus Kristus disalib penguasa kejam.

Aku mampir juga ke makam Imam Abbas, yang ikut terbantai di Karbala pada saat membela Imam Hussain. Kompleks makamnya, hanya berjarak 200 meter.

Akhirnya, aku memutuskan tidak menginap di Karbala. Kami langsung menuju Najaf tempat makam Imam Ali bin Abi Thalib, ayahnya Imam Hussain.

Sebelum ke Najaf, aku mampir di tempat foto. Ternyata tukang foto amatir itu belum menyerahkan foto ku di tempat foto. Pada penjaga foto itu, aku menitipkan, agar fotoku yang sudah jadi itu dimasukkan saja ke makam Imam Hussain. Kami harus kembali ke kantor polisi memgambil kembali paspor dan tanda pengenal.

Hampir sejam kami menunggu Sayyid Ahmad, sang komandan. Ia mengringi dan mengantarkan kami dengan mobilnya sampai perbatasan wilayah provinsi Karbala.
(dimuat Tempo Interaktif, Sabtu, 19 Februari 2005).

Artikel Terkait

- Reviewer: Asih - ItemReviewed: Kisah Perjalanan Ahmad Taufik, Wartawan Tempo, ke Karbala Deskripsi: Karbala, itulah tujuanku setelah dua pekan meliput pemilihan umum di Irak. Tentang Karbala, Ibnu Sa'ad salah satu perawi hadits meriwaya... Rating: 4.5
◄ Newer Post Older Post ►