25 Dec 2009

Jejak Syiah dan Tradisi Asyura di Aceh

ADAKAH pemeluk Syiah di Aceh? Ini perlu dipertanyakan ketika banyak sekali simbol-simbol “Syiah” ditemukan, dan sangat menonjol di kehidupan sehari hari masyarakat Aceh.

Sejarah mula kedatangan Islam ke Aceh, pemimpinnya dikenal bernama Shir, seperti Shir Poli, Shir Nuwi, Shir Duli. Dalam hikayat-hikayat Aceh lama, kata gelar Shir sering pula disebut Syahir. Misal, Shir Nuwi dibaca Syahir Nuwi, Shir Poli dibaca Syahir Poli dan seterusnya. Kata Syahir ini lebih kurang setara dengan kata Ampon Tuwanku dalam tradisi melayu di Malaysia.

Asal kata shir, datangnya dari keluarga bangsawan di kawasan Persia, dan sekitanya. Maka putri Raja Persia yang setelah negerinya ditaklukkan Umar Ibnul-Khatab, ditawan dan dibawa ke Madinah, mulanya bernama Shir Banu. Setelah dibebaskan oleh Ali bin Abi Thaleb, Shir Banu menikah dengan putra Ali bernama Husen. Sementara dua saudara Shir Banu lainnya menjadi menantu Abubakar dan menantu Umar Ibnul Khattab. Belakangan nama menantu Ali itu berubah menjadi Syahira Banu, dan dalam lafal di Hikayat Hasan Husen, nama itu dipanggil Syari Banon, yang menjadi isteri Sayyidina Husen bin Ali. Husen syahid dibunuh Yazid bin Muawiyah di Karbala pada 10 Muharam. Shir Banu atau Syari Banon menjanda sambil membesarkan anaknya Ali Zainal Abidin, yang sering dipanggil Imam as-Sajad, karena selalu suka bersujud (shalat).

Dalam hikayat Hasan Husen, nama Syari Banon disebut berulang ulang karena beliau ini mendampingi suami dengan sangat setianya, hingga ke kemah terakhir di Karbala, mengantar Husen menuju kesyahidan. Banon bersama putra kesayangannya Ali Zainal Abidin yang masih sangat belia, menyaksikan sendiri tragedy yang jadi sejarah hitam umat Islam, karena darah titisan Rasul saw tumpah di bumi Kufah oleh tangan orang yang mengatasnamakan dirinya khalifah kaum muslimin. Peristiwa Karbala ini, di Aceh diperingati dengan khanduri Asyura secara turun temurun. Adakalanya diiringi dengan membaca hikayat Hasan Husen, dan para wanita Aceh mempersiapkan penganan sebagai khanduri keu pangulee. Acapkali pula, para pendengar hikayat ini mencucurkan airmata tatkala cerita sampai kepada pembantaian anak cucu Rasulullah saw itu.

Rafli, penyanyi Aceh kontemporer mendendangkan peristiwa itu dengan lirik:

//”Lheuh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Sayyidina/ Dum na pasukan bandum di yue tron/ Lengkap ban ban dum alat senjata”// ( Dah syahid Hasan, Husen pun digempur/ Nak dihabisi cucu Sayyidina (Rasulullah)/ Seluruh pasukan disuruh turun/ Lengkap semua dengan senjata.)

Semangat mencintai ahlul bait, keluarga Rasulullah saw itu muncul pula di Aceh dalam bentuk tari tarian. Di antaranya yang terkenal adalah Saman Aceh. Ragam gerak, lirik lagu dan ratoh dipenuhi symbol symbol Karbala . “Tumbok Tumbok Droe”(memukul mukul dada sendiri) dilakukan oleh para pemain Saman Aceh (juga dalam seudati) sebagai symbol penyesalan Karbala . Seluruh gerak tari Saman itu diilhami oleh kepedihan, penyesalan, dan ratap tangis atas syahidnya Sayyidina Husen, yang terperangkap oleh tipu daya penduduk Kufah yang mendukung Yazid bin Muawiyah.

Di Iran, dan beberapa kawasan sekitar benua Persia itu, amat lazim dijumpai perempuan dan laki laki memukul mukul dada hingga ada yang berdarah untuk mengenang peristiwa Karbala di hari Asyura, setiap tahunnya. Dalam naskah hikayat Muhammad Nafiah, yang mengisahkan peran adik laki laki Hasen bin Ali dari lain ibu, yasng menuntut bela atas syahidnya Husen di Karbala, jelas sekali dilukiskan bagaimana pengikut Yazid “dikafirkan” oleh sang penulis hikayat itu. Tatkala Muhammad Nafiah ingin mengeksekusi mati seorang lagi perempuan hamil yang masih hidup, sementara yang lain sudah dibunuh semua, maka turunlah suara dari manyang (langit).

//”Sep ka wahe Muhammad Nafiah, bek le tapoh kaphe ulu/ Bah tinggai keu bijeh, agar uroe dudoe mangat na asoe neuraka”// ( “Cukup sudah wahai Muhammad Nafiah, jangan lagi dibunuh kafir hamil itu/ agar dia beranak pinak lagi untuk isi nereka kelak”)

Karensa Muhammad Nafiah ingin mengabaikan perintah penghentian pembantaian itu, maka tiba tiba dia dan kudanya diperangkap oleh kekuatan sghaib. Lalu terkurunglah dia bersama kudanya dalam sebuahgua batu. //Muhammad Nafiah lam guha bate/ Sinan meu teuentee dua ngen guda// (Muhammad Nafiah dalam gua batu/ Terkurung disitu bersama kudanya).

Dalam bagian lain, dikisahkan bahwa pada suatu hari, ketika Muhammad Nafiah masih kecil, Ali bin Abi Thaleb membawa pulang ke Madinah anak laki lakinya itu dan duduk-duduk bercengkerama bersama Rasul dan dua kakaknya lain ibu, Hasan dan Husen. Rasulullah saw mendudukkan Hasan dan Husen di pangkuan sebelah kiri, sementara Muhammad Nafiah duduk di atas paha kanan Rasulullah. Tatkala Fatimah, ibunnya Hasan dan Husen melintas, dia bermasam muka karena melihat justru putra Ali yang bukan berasal dari rahim Fatimah mendapat tempat di sebelah kanan Rasulullah, sementara putra-putranya, Hasan dan Husen duduk di paha kiri Rasul.

Rasul memandang wajah masam Fatimah az-Zahra, putri kesayangannya itu. Lalu Rasul memanggil Fatimah, dan bersabda:

“Wahai anakku, janganlah bermasam muka. Yang ini, sambil menunjuk Hasan dan Husen, akan menemui ajal kelak ketika kita sudah tiada, karena dibunuh orang. Yang inilah, sambil menunjuk Muhammad Nafiah, yang akan menuntut bela atas kematian kedua mereka ini, maksudnya Hasan dan Husen. Jibrail telah menyampaikann hal itu kepadaku wahai Fatimah”

Mendengar ucapan Rasul waktu itu, barulah wajah Fatimah kembali berseri seperti sediakala. Ada pesan Jibrail kepada Rasulullah atas peristiwa yang bakal terjadi atas anak cucunya setelah Rasul dan Fatimah tiada kelak. Begitu mulianya kedudukan Muhammad Nafiah, putra Ali dari isteri lain, (mungkin hasil perkawinan mut‘ah dalam peperangan yang lama).

Hikayat itu telah menjadi bacaan sehari-hari kaum muslimin di Aceh. Dalam benak orang Aceh, kafir perempuan yang hamil tua itu, meskipun dia adalah pemeluk agama Islam, namun dipandang sebagai kafir karena dia pengikut Yazid bin Muawiyah. Dan inilah cikal bakal kafir sekarang ini yang akan menjadi pengisi neraka kelak. Wallahu ’aklamu bis-shawab!

Jika dibandingkan dengan cerita tentang kehebatan Amerika dalam film-film perang mereka dengan Vietnam umpamanya, muncul kesan publik bahwa Amerik-lah yang paling jagoan, meskipun semua orang tahu pada akhirnya dia harus angkat kaki dari negara bekas jajahan Perancis itu, meskipun orang Vietnam melawan dengan bambu runcing. Tak ada catatan sejarah yang akurat tentang Muhammad Nafiah yang menghabiskan seluruh pasukan Yazid di Kufah, namun hikayat itu justru mengisahkan yang tinggal hanya seorang “kaphe ulu” (maaf: hamil) yang anak turunannya menjadi cikal bakal penghuni neraka kelak.

Saya bisa memahami bagaimana kepedihan kaum muslimin katika Husen syahid, dan perasaan itu dihibur dengan pembelaan yang gemilang oleh cerita kemenangan Muhammad Nafiah bin Sayyidina Ali, setelah Husen dan pengikutnya syahid di Karbala. Ini juga menjadi bukti terhadap apa yang diriwayatkan, tentang cerita Fatimah bermasam muka, karena Hasan Husen diletakkah di atas paha kiri Rasulullah, ketika mereka masih kecil dulu dan Muhammad Nafiah justru di paha kanan Rasul.

Dalam tradisi Aceh, hikayat berbentuk hiburan yang selalu mengandung pesan, nasihat, sumber pengetahuan, sejarah serta agama. Hikayat Hasan Husen, Nubuwat Nabi, Fatimah Wafat, Muhammad Nafiah dan lain-lain merupakann bacaan rakyat yang utama disamping hikayat-hikayat lain seperti Putroe Gumbak Meuh, Peurakoison, Nun Farisi, Indra Budiman, Indra Bangsawan, Baya Siribee dan lain-lain. Kala itu memang belum ada novel Lasjkar Pelangi, atau Sang Pemimpi, atau Ayat-ayat Cinta dan sebagainya. Sinetron pun belum dikenal oleh masyarakat Aceh lama. Maka cerita dalam hikayatlah yang menjadi referensi perilaku, sumber nasehat, dan pengetahunan sejarah bagi masyarakat luas.

Di kawasan pantai barat Aceh, termasuk utamanya Aceh Selatan, berkembang kesenian tradisional “Pho” Tari pho dimainkan oleh sejumlah anak anak gadis remaja, dengan mendendangkan syair penuh nuansa sendu, seumpama orang meratapi kematian. Dalam format khusus, gadis remaja menyusun format berkeliling melingkar, dan meratapi sesuatu, bagaikan meratapi kematian. Ingatlah bagaimana masyarakat Aceh memperingati “Asyura” dengan nyanyian dan hikayat Hasan Husen, semua dilantunkan dalam irama pilu penuh duka lara.

Di komunitas lain di Pidie, agak menarik disimak rentetan nama-nama anggota keluarga Sayed (Habib). Sebut saja berawal dari Nama Sayed Idris alias Teungku Syik di Keude, memiliki tiga anak laki laki dan dua anak perempuan. Yang laki laki bernama Sayed Hasyem, Sayed Husen, Sayed Abidin (Zainal Abidin), sementara anak perempuannya bernama Cutwan Dhien dan Cutwan Samalanga (nama aslinya tidak dikenal lagi). Sayed Husen berputrakan Sayed Abubakar, Sayed Puteh, dan Sayed Bunthok, sementara yang perempuan bernama Cutwan Syarifah, Cutwan Manyak dan Cutwan Fatimah.

Sayed Zainal Abidin mempunyai seorang putri tunggal bernama Ummi Kalsum (Cutwan Kasum) Dari perkawinannya dengan saudara sepupu, Sayed Abubakar, Cutwan Kasum memiliki saeorang putri tunggal diberi nama Cutwan Fatimah, yang menikah dengan Sayed Ali bin Sayed Abdullah Bambi. Sayed Abdullah Bambi menikah dengan Cutwan Khadijah binti Habib Husen Az-Zahir. Sementara kakak Cutwan Khadijah bernama Habib Hasan dan Habib Ahmad Sabil. Khadijah sendiri berputrakan selain Sayed Ali adalah Sayed Muihammad, dan Aja Rohani.

Sementara Habib Hasyem alias Habib Peureumbeue, mempunyai beberapa orang putra, antara lain Sayed Ahmad (Pak Mukim) Sayed Abdullah, dan yang perempuan bernama Cutwan Khadijah pula. Cutwan Khadijah menikah dengan Habib Ahmad Mon Keulayu, dan berputrakan antara lain Sayed Hasan, Sayed Husen, Sayed Aabdurrahman, Sayed Alwi, Sayed Ali dan Sayed Jamaluddin. Simaklah putaran nama-nama itu, semuanya berkisar sekitar nama keluarga Rasulullah, mulai dari Hasyem, Abdullah, Khadijah, Ahmad (Muhammad) Ali, Fatimah, Hasan, Husen, Umi Kalsum, Zainal Abidin, Abubakar, dan seterusnya. Sementara masyarakat umum yang bukan keturunan Sayed, selalu memberikan nama anak-anak mereka dengan nama-nama Abbas, Hamzah, Aminah, Thaleb, Zainab, Rukaiyah, disamping nama-nama seperti yang saya sebutkan itu.

Apakah fenomena ini dapat dijadikan indikasi bahwa para pemilik nama-nama itu merupakah pengikut Syiah Aceh? Apakah nama-nama demikian karena menasabkan diri pada keturunan Rasulullah? Atau telah terjadi pertalian dua kepentingan, petama menasabkan diri pada darah nabi, dan kedua melestarikan nama-nama yang dikenal sebagai nama ahlul bait yang utama? Tentu hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Simak pula, kisah yang selalu dilantunkan pada bulan Muharram (bulan dimana syahidnya Sayyidina Husen di Karbala):

//”Bak siploh uroe buleueun Muharram/ Kesudahan Husen Jamaloe (Jamalul/ Peu na mudah ta khanduri / Po Tallah bri pahla dudoe”// ( “Sepuluh hari bulan Muharram/ Kesudahan Husen Jamalul/ Jika ada kemudahan agar ber khanduri/ Allah memberi pahla nantinya”)

Bagaimanan jika disimak praktek ritual ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji? Orang Aceh semuanya mengikuti praktek ibadah kaum Sunni, sebagaimana lazimnya kaum muslimin di tempat-tempat lain di Indonesia. Namun bacaan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, selalu diucapkan dengan menambahkan kata Sayyidina di depan nama Muhammad, dan Ibrahim. “Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad, wa ’ala ali Sayyidina Muhammad, kama shallaita ala Sayyidina Ibrahim, wa ala ali Sayyina Ibrahim, dan seterusnya”. Hal ini amat ditentang oleh pengikut Wahabi yang sangat anti terhadap praktek ibadah seperti memuja nama Rasul itu dengan meletakkan nama Sayyidina di depan nama-nama mereka.

Saya hampir sampai pada kesimpulan bahwa orang Aceh itu pencinta Ahlul Bait yang sangat setia, kalaupun mereka tidak pernah mengaku sebagai pengukut syi‘ah. Bukankah pada masa tertentu dalam sejarah Islam, kaum syi‘ah meperkenalkan istilah taqiyah (bersembunyi) dan dari itu lahirlah ungkapan, bahwa orang yang mengaku dirinya syi‘ah bukanlah syi‘ah lagi”

Simaklah sebuah cerita lucu tapi mengharukan, yang berlaku dalam satu keluarga miskin dan buta huruf di sebuah desa di Aceh pada tahun 1950-an. Tersebutlah nama Waki Saad Gapui, yang menikah dengan perempuan desa buta huruf, Maimunah namanya. Mereka berputrakan beberapa orang dan semua laki-laki. Saad adalah penggemar hikayat Hasan Husen, seperti juga penduduk kampung lainnya. Maka dalam hikayat itu dikisahkan begini:

“Hasan dan Husen cuco di Nabi/ Aneuek tuan Siti Fatimah Dora/ Tuan teu Husen Syahid dalam Prang / Tuan teu Hasan syahid ji tuba/ Syahid di Husen ka keunong beusoe/ Di Hasan sidroe keunong bencana (racun)/ Tuan teu Husen syahid dalam Prang/ Tuan teu Hasan di rumoh tangga”//

Terkesima dengan keagungan nama yang disebut dalam bait hikayat itu, Saad sepakat memberikan nama-nama anaknya seperti nama-nama cucunda Nabi. Yang tertua diberi nama Hasan (Keuchik Hasan) yang kedua diberi nama Dan (Apa Dan) dan yang ketiga diberi nama Husen (meninggal waktu kecil). Maka kalau dibaca dalam satu nafas menjadi Hasan Dan Husen dilanjutkan dengan Cuco di Nabi. Padahal kata sambung itu bukan nama orang. Saad tidak peduli, dan nama anak keduanya tetap saja DAN, meskipun ketika dewasa nama itu menjadi Mad Dan, karena kesulitan menulis nama dalam KTP. Lalu adik-adiknya diberi nama Sulaiman (nama Nabi), Ibrahim (nama Nabi), Zainal Abidin (nama putra Husen) dan Abdul Hamid. Apa yang terjadi dalam kehidupan kejiwaan Saad? Meskipun buta huruf dan petani biasa, Saad merasa sangat dekat dengan kehidupan Rasulullah, sehingga kumandang nama Ahlul Bait selalu terdengar dalam keluarga mereka. Saya merasa yakin, seandainya Saad memiliki anak perempuan, pasti akan diberi nama Khadijah, Fatimah atau Aminah!

Pertanyaannya kini adalah, apakah, sekali lagi, hal ini dapat dijadikan indikator bahwa orang Aceh baik keturunan Sayyed, atau orang biasa dapat disebut pengukut Syi‘ah? Atau dengan sebutan lain, apakah mereka ini bisa dipanggil dengan sebutan Syi‘ah Aceh? Saya sendiri cenderung berfikir demikian. Namun agar praduga ini cukup memiliki hujjah yang kuat, perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam tentang fenomena yang saya uraikan dalam tulisan ini. Ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa Islam yang mula-mula masuk ke Aceh justru berasal dari para Ahlul Bait yang hijrah karena tekanan politik dinasti Ummayah (turunan Muawiyah bin Abu Sofyan) terhadap keturunan Sayyidina Ali yang belakangan dikenal dengan kaum Alawiyin, pengikut Ali yang sepupu dan menantu Rasulullah.

Ingatlah pula bahwa pada saat haji wadak, Rasul pernah berkata di hadapan jama‘ah yang bergerak kembali ke Madinah setelah selesai berhaji. Rasul sawa sambil mengangkat tangan Ali, Rasul bersabda, “Wahai saudaraku kaum muslimin, aku dengan dia (sambil menunjuk Ali) bagaikan Musa dengan Harun, jika sesudah ku masih ada nabi, maka dialah orangnya. Namun karena tak ada nabi sesudahku, maka dialah penerusku. Kau saksikankah ucapanku ini wahai sekalian manusia?” kata Rasul dibukit Ghadir Khum itu. Maka dari turunan Sayyidina Ali itulah, kaum Alawiyin membangsakan diri. Wallahu a‘lamu bis-shawab.

[Ditulis oleh Oleh: Dr. Hasballah M Saad, pemerhati sejarah dan kebudayaan, pegiatan Aceh Cultur Institut (ACI)]

Artikel Terkait

- Reviewer: Asih - ItemReviewed: Jejak Syiah dan Tradisi Asyura di Aceh Deskripsi: ADAKAH pemeluk Syiah di Aceh? Ini perlu dipertanyakan ketika banyak sekali simbol-simbol “Syiah” ditemukan, dan sangat menonjol di kehidupan... Rating: 4.5
◄ Newer Post Older Post ►