31 Mar 2011

Quo Vadis Serangan Militer AS di Libya

ImageSetelah berhari-hari berdebat dengan para penasehatnya, Presiden AS, Barack Obama Rabu (30/3) akhirnya secara resmi mengeluarkan instruksi menyerang Libya.


Keputusan ini keluar di saat polling terbaru mengungkapkan bahwa setengah warga AS menentang keterlibatan negaranya dalam perang di Libya.


Berdasarkan sebuah jajak pendapat yang diterbitkan Rabu lalu, 47 persen responden menentang keras intervensi militer AS di Libya. Sebaliknya hanya 41 persen responden yang menyetujui agresi militer negaranya di negara Afrika Utara kaya minyak itu.


Tidak hanya itu, mayoritas responden jajak pendapat itu mengungkapkan kekecewaannya atas kebijakan Obama menyikapi krisis Libya. Sebanyak 58 persen responden berkeyakinan bahwa Obama tidak memiliki alasan yang bisa dipertanggungjawabkan mengenai agresi militer ke Libya.


Sebanyak 61 persen responden juga menyatakan bahwa lengsernya Muammar Gaddafi tidak bernilai, jika harus ditebus dengan nyawa para serdadu AS yang kemungkinan tewas dalam serangan militer ke Libya.


Sementara itu, sejumlah laporan Badan Intelejen AS (CIA) yang melakukan operasi rahasia untuk mengumpulkan informasi persiapan serangan udara ke Libya. Anggota Kongres AS, Timothy V. Johnson dan Justin Amash menyiapkan draf mengenai pengurangan tingkat dukungan finansial bagi operasi militer AS di Libya.


Kubu Republik berkeyakinan bahwa Obama tidak berhak untuk menginstruksikan operasi militer di Libya, kecuali negara itu mengancam AS. Statemen ini menunjukkan terjadinya friksi keras antarpejabat AS mengenai krisis Libya.Terutama dari sisi kepentingan sejumlah pejabat AS di negeri Afrika Utara itu. AS dan Libya pada tahun 2003 menandatangani nota kesepahaman yang menyebabkan Tripoli harus bertekuk lutut kepada Washington, dan menyerahkan seluruh instalasi nuklir dan senjatanya ke AS.


Berdasarkan kontrak tersebut, Muammar Gaddafi harus membayar uang ganti rugi sebesar satu milyar dolar, akibat ledakan pesawat Pan American no.103 di Lockerbie, Skotlandia pada Desember 1988. Abdel Basset Ali al-Megrahi adalah satu-satunya orang yang dinyatakan bersalah dalam aksi pengeboman pesawat jet yang mengangkut 259 penumpang itu.


Kubu penentang intervensi AS dalam perang Libya menilai agresi militer di negara kaya emas hitam itu justu semakin membuat Gaddafi kian membabi buta dan menyebabkan sejumlah kelompok Alqaeda menggunakan senjata nonkonvensional.


Sejumlah kalangan lainnya mengkhawatirkan terulangnya pengalaman Irak di Libya. Mereka menilai AS akan mengalami kerugian besar, jika menceburkan diri dalam konflik berdarah di Libya.(irib)