Ancaman Perang Menjadi Senjata Utama Korea Utara - Korea Utara memiliki sejarah panjang konfrontasi dengan dunia luar terkait program nuklir negara itu.
Pada masa lalu, Pyongyang mencatat kemenangan diplomatik dari Amerika Serikat dan negara lain.
Sejak tahun 1990-an, Korea Utara mencoba beberapa strategi termasuk menggunakan ancaman dan aksi militer terbatas untuk memecah negara tetangga dan musuh serta mendapat konsesi dari mereka.
Bahkan sebagian pejabat Amerika Serikat mengakui bahwa Kim Jong-il memiliki keterampilan tersendiri.
Namun kekhawatiran sejumlah kalangan adalah putranya, Kim Jong-un, tidak memiliki pendekatan serupa atau strategi jitu sehingga dapat memicu konflik yang tidak diinginkan.
Tujuan strategis Pyongyang adalah senjata nuklir yang mereka anggap dapat menjamin kelangsungan rezim.
Pyongyang ingin memaksa Amerika Serikat mengakui bahwa Korea Utara adalah mitra kekuatan nuklir.
Sanksi yang diterapkan Washington -terutama dengan sasaran keuangan rezim dan militer Korea Utara- tampaknya seperti menyengat King Jong-un dan penasehatnya.
Konfrontasi yang dipicu oleh program nuklir Korea Utara pecah dua dekade lalu.
Kelangsungan rezim
Kim Jong-il mengklaim bisa mengalahkan pemerintah Amerika.
Pada 1994 konfrontasi ini nyaris menyebabkan perang di Semenanjung Korea.
Pada musim semi 1994 ini pemerintah AS di bawah Presiden Bill Clinton bahkan condong untuk menyerang fasilitas nuklir Korea Utara yang tak begitu besar di Yongbyon.
Krisis berlangsung selama beberapa bulan dan Washington akhirnya bersedia berunding langsung dengan Pyongyang, yang memang menjadi keinginan Korea Utara.
Kesepakatan dicapai dan Korea Utara bersedia membekukan program nuklir ini dengan imbalan bantuan ekonomi dan diplomatik.
Waktu berlalu dan ternyata persediaan senjata nuklir bertambah.
Dalam situasi seperti ini, AS jelas tak bisa lagi merencanakan serangan untuk memaksa Korea Utara sama-sama sekali menghapus program nuklir mereka.
Keberhasilan ini membuat Kim Jong-il dianggap sebagai pemimpin jenius yang berhasil mengalahkan negara adidaya.
Ia juga mengklaim menang dalam konfrontasi dengan AS pada 2002.
Presiden AS ketika itu, George W Bush menuduh Pyonyang curang karena masih saja menjalankan program nuklir.
Pyongyang, yang disebut sebagai poros jahat oleh Washington, menyatakan tak lagi terikat dengan kesepakatan terdahulu dan mengancam melancarkan perang.
Tapi, lagi-lagi krisis ini berakhir di meja perundingan. Kali ini Korea Selatan, Rusia, dan Cina ikut berunding.
Belum jelas
Kim Jong-un lebih sering tampil di depan umum dibandingkan sang ayah.
Tidak ada hasil nyata dari perundingan ini sementara di sisi lain teknologi rudal dan senjata nuklir Korea Utara makin maju.
Ada satu pelajaran yang sepertinya dipegang erat-erat oleh rezim di Pyongyang, bahwa ancaman perang selalu membuat lawan mundur dan bahkan memberi mereka konsesi.
Mereka tahu agar ancaman ini kredibel Korea Utara harus mengesankan bahwa kalau sampai perang pecah, dampaknya akan luar biasa.
Salah satu masalah yang mengemuka saat ini adalah tak banyak yang tahu soal pemimpin Korea Utara sekarang ini, Kim Jong-un.
Bahkan di dalam negeri sendiri namanya tak begitu dikenal sampai kemudian ia diangkat menjadi pemimpin dua tahun silam.
Ia mengesankan seperti jenderal hebat, tampil di garis depan dan mengeluarkan ancaman-ancaman spesifik, sesuatu yang berbeda dengan sang ayah.
Agar ancamannya diperhitungkan, lawan-lawannya harus yakin bahwa ancaman yang ia keluarkan bukan sekedar bualan.
Di sisi lain banyak kalangan berbendapat Korea Selatan, AS, dan Cina tak akan tinggal diam bila Korea Utara mengobarkan perang.
Kim Jong-un dan para penesehatnya sangat tergantung dengan pendekatan lama. Cuma, kali ini belum jelas apakah mereka kembali berhasil atau tidak.