Berlanjutnya dukungan Amerika Serikat terhadap rezim Khalifa memicu kritikan keras rakyat, politisi dan tokoh masyarakat negara Arab itu. Para aktivis politik menyebut AS terlibat dalam kejahatan yang dilakukan penguasa negaranya. Meski demikian, para aktivis politik Bahrain ini menegaskan bahwa aksi protes menuntut keadilan yang disuarakan rakyat negara ini akan tetap berlanjut hingga mereka berhasil mencapai tujuannya.
Statemen terbaru Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton menunjukkan dukungan Washington terhadap aksi pemberangusan yang dilakukan tentara Bahrain yang dibantu pasukan Saudi dalam menumpas demontrasi damai rakyat.
Para aktivis politik Bahrain menuntut sikap tegas negara-negara Barat yang mengklaim sebagai pendukung HAM. Mereka mendesak Washington segera menghentikan dukungannya terhadap rezim Khalifa, terutama bantuan militer yang digelontorkan untuk menumpas unjuk rasa damai rakyat Bahrain.
Selain itu mereka menuntut supaya Deputi Menlu AS, JeffreyFeltman dan Menteri Pertahanan, Leon Panetta diseret ke pengadilan. Kedua pejabat teras AS itu mengeluarkan instruksi melanjutkan dukungan bagi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk mencampuri urusan dalam negeri Bahrain. Kedua orang itulah yang terang-terangan mendukung aksi brutal pasukan Perisai Jazeera memberangus demonstran damai Bahrain.
Bagi AS, Bahrain adalah mitra penting di kawasan Timur Tengah, karena negara Arab itu begitu menguntungkan bagi Washington. Rezim diktator Bahrain terbukti mengimpor senjata dari AS untuk membantai warganya sendiri. Rezim Bahrain mengimpor berbagai jenis senjata dari Amerika seperti tembakan gas air mata yang digunakan untuk membubarkan demonstrasi.
Aksi ini memicu protes keras dari organisasi hak asasi manusia internasional. Kelompok hak asasi manusia mendesak Kongres AS segera memblokir dana senilai $53 juta bagi penjualan senjata ke Bahrain yang menyebabkan puluhan demonstran tewas akibat penumpasan yang dilakukan monarki Khalifa.
Tidak hanya itu, sebulan lalu, surat kabar Inggris Financial Times mengungkapkan sebuah perundingan rahasia antara Amerika dan Bahrain yang menyepakati perpanjangan kesepakatan pertahanan bersama hingga tahun 2016.
Bahrain adalah pangkalan armada kelima Amerika. Dua negara ini pada tahun 2001 menandatangani kesepakatan selama 10 tahun guna menyelenggarakan pertahanan bersama.Tapi setahun setelah itu, George W. Bush, Presiden Amerika waktu itu dalam sebuah perundingan rahasia dengan pemerintah Manama memperpanjang perjanjian ini lima tahun lagi yang berarti tahun 2016 menjadi akhir dari perjanjian ini.
Sejatinya, dukungan mati-matian Washington terhadap rezim Khalifa adalah bentuk ketakutan Gedung Putih atas ambruknya pilar-pilar kepentingan AS di kawasan Timur Tengah. Setelah kehilangan rezim-rezim despotik yang ditumbangkan rakyatnya sendiri di Tunisia, Mesir dan Libya, kini rezim Khalifa adalah taruhan yang harus dipertahankan demi sebuah kelanggengan hegemoni AS di kawasan. Meski itu harus mengorbankan darah rakyat tak berdosa.
Sumber : IRIB.com