Ungkapan keprihatinan Vatikan atas kekerasan di Suriah minggu ini adalah sinyal terkini mengenai rasa was-was umat Katolik tentang revolusi Arab yang dilihat sebagai ancaman oleh minoritas Kristen di dunia Arab.
"Paus sudah lebih memilih agak diam dalam menanggapi revolusi Arab," kata Marco Politi, seorang ahli Vatikan pada harian Italia Fatto Quotidiano.
"Di satu sisi Tahta Suci andil dalam harapan demokratisasi masyarakat. Di sisi lain, mereka takut Islamisme bakal menguat," kata dia seperti dikutip AFP.
Dia menambahkan bahwa melindungi hak-hak umat Kristeniani adalah "penting" bagi Paus Benediktus XVI, yang membuat isu itu sebagai salah satu ciri utama dalam masa jabatannya sebagai Paus.
Ketika berbicara kepada duta besar Suriah untuk Tahta Suci, Hussan Edin Aala, Kamis lalu, Paus meminta Damaskus untuk "mempertimbangkan masyarakat sipil" dan mengenali martabat yang tidak bisa dicabut untuk semua orang. "Pengenalan ini harus pada pusat institusi, hukum dan masyarakat," kata Paus pada hadirin.
Paus mengatakan demonstrasi besar-besaran melawan pemerintah di Damaskus belum lama ini "menunjukkan perlu segeranya sebuah reformasi yang nyata" tetapi meminta "menaruh respek kepada kebenaran dan hak asasi manusia" ketimbang "sikap tidak tolerans diskriminasi atau konflik."
Paus mengatakan bahwa Suriah secara tradisional sudah menjadi "satu contoh toleransi, keramahtamahan dan keselarasan hubungan antara Kristen dan Muslim."
Kristen sudah ada di Suriah sejak 2.000 tahun lalu. Sebanyak 7,5 persen penduduk Suriah memeluk Kristen dan komunitas ini berintegrasi dengan baik. Banyak dari mereka yang takut skenario mirip di Irak menyusul runtuhnya rezim Baath Saddam Hussein, juga terjadi di Suriah.
Ketidakstabilan yang meledak di Irak menyusul ofensif militer pimpinan Amerika Serikat pada 2003 teklah mendorong meningkatnya gerakan Islamis, sementara komunitas Kristen menyusut dengan cepat dari kira-kira 800.000 orang pada 2003 menjadi hanya 450.000 orang saat ini.
Para militan Alqaeda mencap umat Kristen dengan sebutan "salibis" dan memaksa mereka keluar.
Suriah dan Irak bukan satu-satunya yang membuat pusing Tahta Suci, yang sebenarnya memprihatinkan juga nasib kira-kira 50 juta penganut Kristen, termasuk lima juta umat Katolik, dari total 365 juta penduduk Timur Tengah.
Vatikan sudah berkali-kali meminta jalan keluar yang baik untuk konflik di Libya dan takut jika campur tangan NATO bisa dilihat sebagai agresi dunia Kristen terhadap Muslim sehingga bisa memicu gerakan islamisme.
Utusan Vatikan untuk Libya, Giovanni Innocenzo Martinelli, yang tetap tinggal di Tripoli, menjadi bakan kritik NATO dan Barat karena mau berdialog dengan pemimpin Libya Moamar Kadhafi.
Juga ada ketakutan bila destabilisasi di Suriah bisa mempengaruhi Lebanon yang penduduk beragama Kristennya mencapai 40 persen dari total populasi.
Dalam satu pertemuan dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas awal bulan ini, Paus menekankan "kontribusi yang tidak tergantikan" dari minoritas Kristen yang hidup di wilayah Palestina khususnya dan Timur Tengah umumnya.
Umat Kristen yang hidup di Israel dan wilayah Palestina kira-kira 25 persen dari populasi pada abad 19. Sekarang mereka hanya 1,5 persen, sering melarikan diri karena alasana tidak aman, pendudukan Israel dan ancaman dari gerakan radikal Islam.
Vatikan juga mengkhawatirkan hak asasi umat Kristen di Aljazair, Tunisia, Turki dan Mesir - di mana umat Kristen Koptik yang mencapai enam hingga 10 persen dari total populasi dan sudah mengalami diskriminasi dalam berbagai serangan belum lama ini. (antaranews)