Kebangkitan dan revolusi rakyat di sejumlah negara-negara Arab terus berkobar untuk menumbang rezim-rezim otoriter. Tuntutan kebebasan, keadilan, dan pemerintahan yang bersih dan adil terus berkumandang mulai dari Libya hingga Yaman dan Bahrain. Tentu saja dengan kian makin meluasnya gerakan kebangkitan rakyat di Timur Tengah, mau tak mau Barat terutama AS yang selama ini mengklaim dirinya sebagai pejuang demokrasi dan kebebasan terpaksa memberikan dukungan mesti dengan penuh kemunafikan dan motif tersembunyi.
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam rangkaian pidatonya di awal tahun baru Iran 1390 HS baru-baru ini, kerap menyinggung isu transformasi di Timur Tengah dan memaparkan beragam analisa mengenai kebijakan standar ganda AS terhadap revolusi rakyat di dunia Arab.
Ketika sebuah rezim mengabaikan kepentingan dan maslahat nasional serta merendahkan martabat bangsanya lantaran takut terhadap kekuatan arogan semacam AS dan rezim zionis Israel, tentu cepat atau lambat mereka akan menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri. Rakyat niscaya tidak akan tinggal diam begitu saja dan bangkit menghidupkan kembali harga diri negaranya. Situasi inilah yang kini terjadi di negara-negara seperti Mesir, Libya, Tunisia, Bahrain, dan Yaman.
Dalam pandangan Ayatollah Khamenei, penyebab utama kebangkitan rakyat Mesir dipicu oleh terjalinnya kerjasama luas antara Hosni Mubarak dengan Israel. Rahbar menjelaskan, "Dalam kasus blokade Gaza, jika Hosni Mubarak tidak bekerjasama dengan Israel, tentu Israel tidak akan bisa sebegitu brutalnya menekan Gaza dan melakukan kejahatan yang demikian kejinya. Namun Hosni Mubarak ternyata menjalin kerjasama dan turun ke lapangan. Gerbang keluar-masuk Gaza pun ditutup. Setelah itu tersebar informasi, rakyat Gaza menggali terowongan bawah tanah. Lantas ia pun segera membangun tembok baja setinggi 30 meter hingga di kedalaman bawah tanah untuk membendung terowongan dan menangkal aksi rakyat Gaza. Tindakan itu dilakukan oleh Hosni Mubarak. Rakyat Mesir pun merasa harga dirinya dicederai. Kasus-kasus seperti ini juga terjadi di negara-negara lain".
Rahbar berkeyakinan, partisipasi langsung rakyat dan nuansa keagamaan revolusi rakyat Timur Tengah merupakan ciri utama transformasi akhir di kawasan. Digelarnya demo-demo besar yang umumnya digelar pasca shalat jumat atau berjamaah, teriakan Allahu akbar, peran aktif para ulama dan mubaligh dalam rangkaian aksi unjuk rasa, semakin memperkuat identitas keislaman gerakan kebangkitan rakyat di Timur Tengah. Namun akibat minimnya pengetahuan dan lemahnya analisa para politisi AS mengenai kondisi rakyat regional, mereka pun akhirnya sering melontarkan beragam reaksi dan pandangan yang kontradiktif.
Menyikapi reaksi AS terhadap gerakan revolusi rakyat Timur Tengah itu, Ayatollah Khamenei menuturkan, "Apa yang selalu terlihat kasat mata dari tindakan AS adalah dukungannya terhadap rezim-rezim diktator. Hosni Mubarak dibela sedemikian rupa hingga di akhir waktu yang memungkinkan. Namun ketika tidak memungkinkan lagi, dia pun disingkirkan begitu saja".
Pemimpin besar Revolusi Islam Iran itu menambahkan, "Apa yang menimpa Barat dan AS merupakan kenyataan yang sulit diterima oleh mereka. Mesir merupakan salah satu pilar utama politik AS di Timur Tengah. Washington sangat bergantung pada pilar tersebut. Karena itu, ketika Hosni Mubarak di Mesir atau pun Ben Ali di Tunisia telah hengkang, AS pun berusaha keras mempertahankan sistem kekuasaan yang ada. Para pejabatnya boleh saja berganti, namun sistem harus tetap bertahan. Oleh sebab itu, mereka pun berupaya sebisa mungkin memasang seorang perdana menteri yang bisa dijadikan boneka. Akan tetapi rakyat terus bangkit berjuang dan melumpuhkan konspirasi tersebut. Rezim-rezim buatan itu pun tumbang. Sehingga berkat karunia dan kehendak Ilahi, rangkaian kekalahan AS di kawasan terus berlanjut".
Rahbar mengungkapkan, setelah kehilangan pion-pion politiknya di Mesir dan Tunisia, AS lantas menerapkan dua model konspirasi. Pertama, mempraktekkan politik pragmatis dan kedua melakukan politik rekayasa. Mulanya, Washington berusaha sebisa mungkin mengarahkan transformasi politik di Mesir dan Tunisia untuk kepentingannya. Guna merealisasikan tujuan tersebut, dengan munafiknya AS pun berpura-pura mendukung gerakan revolusi. Namun berkat kesadaran dan kewaspadaan rakyat, kedok hipokrit AS itu pun segera terbongkar.
Gagal merealisasikan politik pragmatisnya, AS lantas menjalankan strategi berikutnya dengan menerapkan politik rekayasa. Strategi itu diterapkan terhadap negara-negara yang menentang hegemoni Paman Sam. Terkait hal ini, Ayatollah Khamenei menjelaskan, "AS berusaha menciptakan revolusi seperti yang terjadi di Mesir, Tunisia, Libya dan negara-negara lainnya untuk kemudian diterapkan di negara-negara seperti Iran dan memunculkan sebuah gerakan yang lebih pantas disebut sebagai dagelan politik. Namun untungnya, bangsa Iran berhasil menggagalkannya".
Menanggapi ajakan dan seruan Presiden AS Barack Obama kepada rakyat Iran untuk melakukan revolusi dan menumbangkan pemerintahan Republik Islam Iran, Rahbar menyebut tindakan presiden AS itu berangkat dari kebodohan dan kelalaiannya. Rahbar menuturkan, "Dia (baca: Presiden AS) menyatakan rakyat yang berkumpul di Lapangan Azadi Tehran tak lain adalah rakyat Mesir yang berada di lapangan Al-Tahrir. Memang benar apa yang dikatakannya. Setiap tahun tanggal 12 Februari, rakyat yang sama berkumpul di Lapangan Azadi meneriakkan yel-yel ‘Matilah AS!'".
Pembantaian dan kezaliman terhadap rakyat tak berdosa Libya merupakan hal yang ditentang oleh siapapun. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatollah Ali Khamenei pun mengutuk keras aksi brutal tersebut. Serangan militer rezim Muammar Gaddafi terhadap para demonstran pro-revolusi dan intervensi militer AS dan sekutunya terhadap Libya, kedua-keduanya merupakan hal yang juga tidak bisa diterima. Rahbar dalam pernyataannya yang ditujukan kepada Barat terutama AS menegaskan, "Jika kalian memang benar-benar tulus membantu rakyat Libya. Semestinya sejak awal kalian bantu mereka. Beri mereka senjata, beri mereka fasilitas! Beri mereka senjata penangkis anti-serangan udara! Tapi sudah sebulan berlalu kalian biarkan rakyat Libya terus-menerus menjadi korban pengeboman. Selama sebulan kalian hanya duduk menyaksikan rakyat dibantai. Lantas kini kalian ingin bertindak?"
Rahbar menilai intervensi militer Barat sejatinya bukan bertujuan untuk membantu rakyat Libya tapi guna merampas minyak dan menarget sejumlah kepentingan lainnya. Ayatollah Khamenei menjelaskan, "Kalian tidak datang untuk membela rakyat. Kalian hanya mengejar minyak Libya. Kalian ingin menduduki negara itu. Kalian ingin menjadikan Libya sebagai pangkalan untuk mengawasi dua pemerintahan revolusioner Mesir dan Tunisia mendatang. Niat kalian sungguh sangat keji!"
Di bagian lain pidatonya, Rahbar mengkritik keras sikap PBB dalam menyikapi gerakan revolusioner rakyat Timur Tengah dan menilai sikap tersebut hanya menguntungkan negara-negara arogan. Dia menilai sikap seperti itu sungguh sangat hina bagi sebuah otoritas yang berfungsi sebagai pembela hak bangsa-bangsa.
Kebangkitan rakyat Bahrain sebagaimana di negara-negara Arab lain, merupakan gerakan revolusioner untuk menumbangkan rezim-rezim diktator. Tuntutan utama mereka sungguh sangat wajar. Mereka hanya menginginkan pemilihan umum yang adil dan bebas. Semua rakyat memiliki hak yang sama untuk memberikan suara. Namun lantaran mayoritas rakyat Bahrain adalah muslim Syiah, maka sejumlah politisi dan kalangan Media di negara-negara Teluk Persia yang merasa kekuasaannya terancam berusaha mengesankan revolusi di Bahrain sebagai konflik antar mazhab, antara Sunni dan Syiah.
Dalam kritikannya mengenai masalah itu, Rahbar menandaskan, "Sekelompok orang jahat berusaha menampilkan kasus di Bahrain sebagai konflik Sunni dan Syiah. Ironisnya, sejumlah kalangan yang dikenal tidak memiliki niat jahat justru termakan oleh isu tersebut. Jika memang di antara mereka masih memiliki iktikad baik, saya nyatakan kepada mereka. Jangan kalian anggap isu tersebut sebagai konflik Sunni-Syiah. Itu merupakan pelayanan terbesar kepada AS. Itu merupakan pelayanan terbesar bagi musuh-musuh umat Islam. Tidak ada konflik antara Syiah dan Sunni!".
Secara umum, di mata Ayatollah Khamenei kebangkitan rakyat Timur Tengah sejatinya beridentitaskan Islam dan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mewujudkan keadilan, kebebasan, mendirikan pemerintahan yang independen dan bermartabat. Maraknya gerakan kebangkitan Islam di kawasan akhir-akhir ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa dibendung lagi. Bahkan Barat pun mengakui bahwa transformasi yang lebih besar di Timur Tengah akan segera lahir.(irib)