Perang itu tak terbatas di negeri Libya. Selasa pekan lalu, arena pertempuran digelar di belahan Eropa, tepatnya di London, Inggris. Dipimpin Mahmud Jibril dan tim kecilnya, Dewan Nasional Libya berusaha meyakinkan petinggi negara-negara Eropa, Liga Arab, Uni Afrika, dan Amerika Serikat akan pentingnya menumbangkan rezim Muammar Qadhafi.
"Dewan adalah mitra politik yang sah dan penting," kata Menteri Luar Negeri Inggris William Hague, yang ikut dalam pertemuan. Jibril, anggota Dewan Nasional yang bertugas mengurusi masalah-masalah internasional, antara lain didampingi mantan diplomat Ali al-Essawi. Mereka mencoba menarik dukungan dan bantuan negara-negara peserta pertemuan.
Rapat Selasa pekan lalu itu memang digelar khusus untuk membahas masalah Libya. Tanpa membuang waktu, Dewan Nasional Libya langsung menawarkan proposalnya. Mereka mendeklarasikan manifesto bertajuk "Visi Libya yang Demokratis".
Jibril, yang pernah menjabat Sekretaris Dewan Perencanaan Nasional Libya, menjelaskan rencana Dewan, seperti soal pembentukan bank sentral, perusahaan minyak nasional, juga stasiun televisi di kawasan yang dikuasai penentang Qadhafi. Dia pun mengutarakan keinginan membuat konstitusi yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, peran masyarakat madani, dan pluralisme.
Beberapa hasil positif diperoleh dari pertemuan itu. Qatar, misalnya, menyusul Prancis mengakui Dewan Nasional sebagai wakil sah Libya. Pertemuan juga menyepakati bahwa Qadhafi harus lengser dan embargo senjata perlu diperketat.
Namun ada beberapa hal yang sangat alot dibicarakan, seperti seberapa jauh serangan koalisi serta nasib Qadhafi dan pemerintahan bila pemimpin Libya itu tersingkir. Tak kalah ruwet adalah persoalan mempersenjatai kelompok oposisi.
Hingga pekan lalu hanya beberapa negara yang serius mengisyaratkan pemberian bantuan senjata kepada kelompok pemberontak Libya. Ada kekhawatiran di luar perdebatan tentang sah-tidaknya memberikan bantuan senjata: ketidakjelasan wajah di balik revolusi Libya.
Dari 31 anggota Dewan Nasional, hingga pekan lalu hanya 11 nama yang diumumkan. Sisanya dirahasiakan. Menurut ahli Libya dari Menas Associates, Charles Gordon, mereka gabungan dari orang militer-sebagian sudah lama membelot, sebagian lagi belum lama membelot-elemen masyarakat sekuler, kelompok Islam, pemimpin suku, dan gerakan pemuda.
Desas-desus menyebutkan ada kelompok lain di belakang revolusi. Al-Qaidah atau kelompok Islam militan lain dicurigai ada dalam rombongan.
Pada awal pecahnya revolusi, Tripoli mengeluarkan daftar 100 anggota Kelompok Perjuangan Islam Libya. Salah satu petinggi kelompok ini, Abu Faraj al-Libi, bergabung dengan Al-Qaidah pada awal 2000-an dan kini berada di Guantanamo. Ada pula Abu Yahya al-Lini, yang awal bulan lalu mengeluarkan video mendukung dan menyerukan perlawanan terhadap Qadhafi.
Charles Gordon seolah memperkuat kecurigaan itu. Dia menyebutkan ada banyak orang dari Libya Timur yang bertempur di Afganistan. "Ada banyak pelaku bom bunuh diri berasal dari Libya," katanya kepada Deutsche Welle.
Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton menyatakan tidak ada informasi terperinci tentang Al-Qaidah di belakang revolusi. Namun Laksamana James Stavridis, komandan pasukan gabungan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), berbicara berbeda kepada anggota Senat Amerika Serikat. "Hingga saat ini saya tidak memiliki perincian yang cukup untuk mengatakan adanya Al-Qaidah atau kelompok teroris lain."
Stavridis menambahkan, pihaknya tengah meneliti secara saksama siapa saja yang terlibat dalam revolusi, komposisinya, orang-orangnya, dan siapa pemimpinnya.
Para anggota Dewan Nasional Libya itu mesti kucing-kucingan tiap kali bertemu. Rapat lengkap belum pernah digelar. Pertemuan dilakukan dengan sangat terbatas. Sebagai gantinya, telepon lebih sering digunakan. Terkadang rapat kecil digelar di sebuah gereja di Benghazi. Pada kesempatan lain di Tobruk, kota dekat perbatasan dengan Mesir.
Suasana di kota-kota yang dikuasai pemberontak sangat mencekam. Ada rasa takut dan saling curiga. -Beredar kabar, misalnya, ada mata-mata Qadhafi di Dewan Nasional. Hal itu membuat anggota Dewan makin tak mau terlihat di permukaan.
Seorang kartunis dan aktor yang memparodikan Qadhafi pada saat demonstrasi ditemukan tewas. Mohammed Nabbous, yang menjalankan stasiun televisi pemberontak, terkapar diterjang timah panas penembak jitu. Pengacara yang membela para aktivis, Fathi Turbed, hingga pekan lalu menghilang.
Praktis tak ada warga yang berani keluar pada malam hari. "Ada pasukan pembunuh di kedua pihak," kata Nasser Buisier, warga Benghazi yang pernah tinggal di Amerika dan baru pulang pascarevolusi.
Selain harus menghadapi teror dari Tripoli dan kurang bersatunya anggota Dewan, ada beda pendapat tajam yang mengancam di masa mendatang. Siapa yang kelak memimpin Libya, misalnya, masih simpang-siur. Saat ini baru ditetapkan bahwa mantan Menteri Kehakiman Mustafa Abdul Jalil merupakan ketua dan Mahmud Jibril sebagai perdana menteri sementara.
Awalnya santer beredar bahwa Abdul Jalil dan mantan Menteri Dalam Negeri Abdel Fattah Younis bakal menjadi pemimpin Libya di masa depan. Keduanya membelot dari Qadhafi setelah Tripoli menggunakan kekerasan untuk mengatasi gerakan revolusi, yang diawali dengan aksi damai.
Belakangan, pamor Abdul Jalil meredup karena tak kunjung ada kemajuan dalam perlawanan terhadap rezim Qadhafi. Adapun Younis, yang kepalanya dihargai US$ 4 miliar oleh Qadhafi, dinilai kurang bisa diterima anak muda. "Dia sangat dekat dengan Qadhafi," kata Mustafa Gheriani, salah satu juru bicara Dewan.
Keraguan dan ketidakpercayaan muncul pula terhadap anggota Dewan yang lain. Fathi Baja, yang ditunjuk sebagai penanggung jawab pendidikan, misalnya dianggap ateis oleh koleganya sesama anggota Dewan.
"Memang masih sangat kacau," kata Ali Tarhouni, pengajar di Universitas Washington, yang ditunjuk menjadi menteri keuangan dalam Dewan Nasional. "Kami memerlukan sebuah badan yang menentukan revolusi ini seperti apa dan bagaimana tentara di lapangan," katanya kepada The Guardian.
Mengelola pasukan di lapangan memang sebuah masalah besar. Tak cuma kalah senjata, kemampuan pasukan pemberontak juga sangat lemah. "Kami tak terorganisasi seperti yang kami bayangkan," kata Tarhouni. "Kami bertaruh, dalam 24 jam Qadhafi akan pergi dari negeri ini. Ternyata tidak."
Pada awal revolusi, begitu banyak terjadi kesalahpahaman. Ada insiden saling tembak oleh sesama kubu pemberontak. Mereka juga langsung menghancurkan tank pasukan Qadhafi yang direbut, kemudian sibuk berfoto dengan latar belakang tank tersebut. Ada pula yang menembak jatuh pesawat teman sendiri.
Tak mengherankan bila mereka gampang ditekan oleh pasukan Qadhafi. Kendati pernah merangsek sampai mendekati Kota Sirte berkat dukungan udara pasukan koalisi, akhirnya justru mereka yang harus mundur.
Perbedaan pendapat tentang masa depan negeri juga mulai meruyak di lapisan bawah. Debat bahkan berlangsung sampai di lokasi latihan kemiliteran. "Kami menginginkan kebebasan dalam menjalankan agama, tapi kami tidak ingin kebebasan bagi Yahudi dan Kristen," kata Abdel-Salam Riyagi, seorang mahasiswa yang mengikuti latihan kemiliteran di kompleks bekas markas militer di Benghazi. "Kami juga menolak perempuan telanjang dan alkohol," dia menambahkan. Pendapat ini jelas berbeda dengan yang dikampanyekan Jibril di London.
Namun banyak pula orang yang bersuara serupa Jibril. "Tujuan kami adalah demokrasi, konstitusi, dan penyerahan kekuasaan," kata Ashraf Mohammed, mantan birokrat yang ikut latihan kemiliteran.
Jalan bagi pemberontak anti-Qadhafi masih sangat berliku. Tapi Gheriani mengembuskan optimisme. "Sekali kami memiliki demokrasi dan konstitusi, tak ada lagi yang perlu ditakuti oleh Barat," katanya. "Demokrasi akan menyingkirkan elemen-elemen ekstremis."