Revolusi negara-negara Arab yang mengusung kebebasan dan menentang kediktatoran rezim penguasa menjadi agenda utama masyarakat Arab untuk mengubah keadaan dan mendapatkan partisipasi sesungguhnya dalam masa depan di bidang politik saat ini.
Oleh karena itu, tuntutan mereka berikut slogan-slogannya didasarkan pada urusan di dalam negeri. Sejauh ini, gerakan-gerakan tersebut masih belum mengambil bentuk antipenjajahan dan masih belum menentang kehadiran negara-negara superpower asing di kawasan Timur Tengah.
Biasanya, pemerintahan-pemerintahan yang baru akan berfokus pada upaya menyelesaikan masalah internal guna memenuhi janji-janji mereka terhadap rakyat.
Oleh karena itu, Israel harus berhati-hati dalam mengambil tindakan yang bisa menggerakkan opini publik revolusioner di dunia Arab. Meski sejumlah negara Arab tengah berhadapan dengan para diktator di dalam negeri, bukan berarti mereka melupakan akar sejarah dari permasalahan.
Seiring dengan tumbangnya Hosni Mubarak, sekutu dan harta karun strategis Israel, pada permulaan unjuk rasa populer, Israel menahan diri agar tidak mengambil posisi yang ekstrem. Tapi, hal ini hanya sementara dan tekanan yang muncul tidak dapat ditahan dalam waktu lama.
Para pejabat Israel bertingkah seolah tidak ada yang terjadi di dunia Arab, bahkan seolah-olah segala yang terjadi menguntungkan mereka. Mengapa itu dilakukan? Jawabannya dapat ditemukan dalam meningkatnya kecenderungan fasis yang tidak memperbolehkan mereka mempraktikkan pengendalian diri.
Seperti yang dituliskan Zeev Sternhell dalam tulisannya di surat kabar Israel, Ha’aretz, "Undang-undang yang diloloskan di Knesset dalam minggu yang gelap pekan lalu, UU yang membuat ketidakseimbangan etnis menjadi norma hukum tidak memiliki padanan di negara-negara demokratis karena hal itu bertentangan dengan inti dari demokrasi."
"Tak seperti di negara-negara Eropa yang menumbuhkan hak secara signifikan, namun masih belum berkuasa, di Israel, orang-orang rasis, ekstrem ada di pemerintahan dan tidak ada yang menentangnya," tulis Sternhell.
Sejumlah studi yang dilakukan di Israel baru-baru ini menyiratkan bahwa ada lebih banyak generasi muda Israel yang memeluk fasisme dibandingkan sebelumnya, dan para pendukung perdamaian semakin berkurang. Keberhasilan orang-orang macam Avigdor Lieberman mendapatkan kekuasaan menjadi mimpi buruk bagi orang-orang yang menganggap Israel sebagai jembatan antara Timur dan Barat.
Pengaruh kelompok-kelompok religius sayap kanan dalam bidang yudisial dan eksekutif semakin meningkat. Pemimpin dewan keamanan nasional dan kepala Shin Bet adalah orang-orang baru yang mendapat dukungan para rabbi. Hukum baru di parlemen yang melarang orang-orang Arab memperingati sejarah kelam penciptaan Israel, atau Nikba (bencana), dan juga keharusan sumpah setia kepada Israel menunjukkan arah yang Israel tuju. Hukum-hukum tersebut hanya bertujuan untuk melenyapkan hak-hak warga Arab di Israel.
Dalam tulisannya, Zeev Sternhell mempertanyakan, "Bagaimana cara kita menerima kabar bahwa untuk menduduki salah satu jabatan terpenting di negara ini – kepala dinas kemananan Shin Bet – dibutuhkan persetujuan para pemuka agama? Tentu saja hal-hal semacam itu dapat memantik cemoohan dan rasa muak."
Permasalahan terbesar Israel adalah berubahnya Israel menjadi pusat neofasisme yang hanya bersekutu dengan kelompok dan partai ekstremis di dalam negeri dan Barat, padahal dunia bergerak menuju ke arah penguatan hak-hak kemanusiaan dan menentang diskriminasi ras.
Kecondongan ke arah fasisme selalu ada di Israel, hanya saja sekarang hal itu dilakukan secara legal. Meloloskan undang-undang yang membatasi kebebasan dan melanggar hak-hak penduduk Arab Palestina di Israel perlahan berubah menjadi beban bagi sekutu-sekutu Israel di Barat.
Setelah serangan brutal Israel terhadap Gaza dan opini publik dunia yang menentang kebiadaban itu, Israel kini terancam kehilangan legitimasi di tingkat global.
Israel, satu-satunya "negara" yang didirikan dengan resolusi PBB, sudah lupa bahwa mempraktikkan demokrasi dan menghormati hak-hak penduduk Arab adalah syarat utama agar rezim Zionis bisa mendapat pengakuan dari pemerintahan-pemerintahan Barat. Kini, di saat Dewan Keamanan PBB atau Majelis Umum PBB mungkin saja mengakui Palestina sebagai negara merdeka, Israel dihadapkan pada bahaya yang lebih serius.
Israel menempuh jalur yang di mata Eropa merupakan periode paling memalukan dalam sejarahnya, yakni periode fasisme, kolonialisme, dan rasisme. Menerima Israel yang fasis menjadi kian sulit bagi Eropa, dan secara berangsur-angsur Israel akan kehilangan pendukungnya.
Pemerintah Israel telah melanggar hak-hak warga Palestina dalam berbagai cara yang berbeda dan tidak mengambil tindakan untuk melawan rasisme. Tapi, hal itu membuat ikatan orang-orang Palestina dengan tanah dan identitas mereka semakin meningkat. Hal tersebut membuat mereka bisa lebih berharap dengan masa depan.
Menurut sebuah survei terbaru, para penduduk Yahudi di AS tidak lagi punya harapan di Israel. Hal itu akan membuat Israel kehilangan tenaga penggerak yang tak tergantikan. Saat generasi muda Israel tidak lagi berusaha mendapatkan perdamaian dan menolak terlibat perang, Israel akan berubah menjadi beban bagi Barat dan krisis keabsahannya akan kian meningkat.(SMcom)