Efektifitas gempuran ke Libya pasukan koalisi barat kembali dipertanyakan, setelah sepuluh hari gempuran udara koalisi pimpinan NATO gagal melumpuhkan pasukan pendukung pemimpin Libya itu, bahkan pasukan Muammar Khadhafi kemarin berhasil merebut Kota Misrata, Nawfaliyah, Bin Jawwad, dan Ras Lanuf direbut kembali dari para pemberontak. Di Sirte, pasukan Khadhafi menyergap konvoi truk pemberontak di luar kota dan mengepungnya dari padang pasir. Dengan kata lain, tidak mudah menundukkan pasukan Khadafy atau serangan udara yang dilakukan koalisi selama ini masih belum cukup, masih belum mematikan.
Memang sudah banyak mesin perang pasukan Khadafy yang hancur. Namun, menurut citra satelit, Khadafy masih memiliki 20 barak pasukan lengkap dengan tank dan senjata artileri. Kedua puluh barak itu ada di sepanjang pantai Laut Tengah (The New York Times, 29/3).
Henry Boyd, seorang analis militer dari International Institute for Strategic Studies di London, menambahkan, dari sekitar 50.000 tentara yang ada, Khadafy hanya memercayai dua milisi, yang seluruhnya berjumlah sekitar 10.000 personel.
Kedua milisi itu adalah Brigade Ke-32 yang sangat loyal kepada Khamis—salah seorang anak Khadafy yang beberapa hari silam diberitakan tewas—dan Resimen Kesembilan, yang di bawah komando anaknya yang lain, Muatassim. Kedua milisi ini beranggotakan orang-orang dari suku Warfalla, Margaha, dan Qaddafa.
Masih menurut Henry Boyd, sebagian besar milisi itu ada di sekitar Tripoli, ”untuk melindungi Khadafy dari ancaman internal dan bukannya eksternal”. Mereka yang ada di sekitar Khadafy adalah orang-orang satu suku.
Kekhawatiran akan ada ”pembelotan” memang sudah muncul. Khadafy masih mencatat peristiwa tahun 1986. Saat itu salah seorang sepupunya, yang jadi komandan militer, berbeda pendapat, menentang Khadafy. Masalah selesai setelah jasad sang sepupu ditemukan di luar pintu gerbang kompleks Khadafy di Tripoli. Tahun 1993, ada usaha kudeta yang dilakukan para perwira dari suku Warfalla dan Qaddafa. Gagal.
Kemungkinan adanya ”pembelotan” itu menjadi salah satu skenario yang akan mengakhiri rezim Khadafy. Gerald F Seib dalam artikelnya di The Wall Street Journal (29/3) menambahkan, ada tiga skenario lagi. Pertama, meningkatnya tekanan dari luar. Pertemuan para pemimpin dan diplomat dari 40 negara di London hari Selasa lalu adalah salah satu bentuk peningkatan tekanan. Mereka bersepakat untuk menyiapkan pemerintahan dalam pengasingan yang akan mengambil alih pemerintahan Khadafy. Selain itu, juga peningkatan serangan udara untuk melemahkan legitimasi Khadafy.
Kedua, memecah Libya menjadi dua: Libya barat dengan Tripoli sebagai ibu kotanya dan Libya timur dengan Benghazi sebagai ibu kotanya. Ini akhir yang tragis. Ketiga, Khadafy dan anak-anaknya menunggu sampai Barat (koalisi) tak begitu tertarik lagi kepada Libya. Lalu mereka menggempur lagi pasukan oposisi. Bagi Khadafy, tak masalah Libya ada di bawah zona larangan terbang. Saddam Hussein pernah mengalami hal yang sama dan tidak apa-apa.
Semua itu hanyalah skenario, reka-rekaan yang bisa kejadian dan bisa juga meleset. Pemimpin Libya yang saat ini berusia 68 tahun itu sudah mengalami tujuh presiden AS, yang ketika ia mulai berkuasa barangkali Barack Obama masih mahasiswa.
Namun, perlu diingat, Resolusi DK PBB Nomor 1973 tidak memberikan mandat penyingkiran Khadafy, tetapi hanya untuk melindungi rakyat sipil dari serangan tentara Khadafy. Itu saja!! (kompas)