Pasca lengsernya rezim Hosni Mubarak dari pusat kekuasaan Mesir, seandainya Ihkwanul Muslimin mengambilalih kekuasaan Mesir maka akan berakhirlah peran Barat dan Israel dalam proses perdamaian di Timur Tengah.
Frank Wisner, seorang diplomat ulung yang menjadi utusan dan sekaligus mewakili presiden Obama untuk ”mendampingi” presiden Mubarak dalam saat-saat kritis selama revolusi Mesir. Dalam diskusi mereka selalu terbentur ketika Mubarak menghadangkan isu Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood).
Seperti diceritakan oleh wartawan Fareed Zakaria, setiap kali Wisner menyampaikan pesan Obama agar Mubarak segera mengakomodir tuntutan demo yang sudah melimpah ruah, tidak hanya di Lapangan Tahrir, tetapi hampir di setiap kota-kota besar Mesir, yaitu dengan cara yang lebih bijak dan demokratis, Mubarak selalu menjawab ketus : ”if I do what do you want, the Islamic fundamentalists will seize the power!” (Kalau saya ikuti keinginan kamu (Obama), maka Islam Fundamentalis (Ikwanul Muslimin) akan mengambil alih kekuasaan).
Padahal, Ikhwanul Muslimin sendiri tidak mengambil peran yang berarti dalam revolusi Mesir ini. Seperti yang diucapkan sendiri oleh tokoh mereka, Abdel Mineem Abu al-Fotouh, bahwa Ikhwanul Muslimin tidak punya tokoh pengganti Mubarak. Karena itu dalam revolusi Mesir kali ini, mereka tidak punya agenda. Mungkin juga Ikhwanul Muslimin telah berhitung secara matang, kalau revolusi Mesir dijadikan revolusi Islam, maka mungkin tidak semua rakyat Mesir akan turut serta (Time 14 Februari 2011).
Karena itu mereka segera membantah klaim Ayatullah Ali Khamaeni, yang mengungkapkan bahwa revolusi Mesir adalah ”Kebangkitan Islam.” Para pimpinan Ikhwan tetap menyatakan, bahwa revolusi Mesir adalah ”People’s Revolution, not Islamic one!” (Newsweek 14 Februari).
Sementara itu, Presiden Obama tetap menghimbau secara resmi pada hari-hari terakhir Mubarak masih bertengger di istananya, agar dia segera melakukan pengalihan kekuasaan dengan mengikutsertakan semua kekuatan rakyat Mesir, termasuk kesertaan Ikhwanul Muslimin. Tragisnya dari pihak Ikhwan sendiri seakan tidak mendengar bahwa kehadirannya untuk menyambut kejatuhan musuh bebuyutan Ikhwanul Muslimin (Mubarak) itu perlu didengarkan melalui Obama.
Bukankah Obama di mata Ikhwan dianggap ”konco lawas” Mubarak yang selalu tampil mempertontonkan diri sebagai lambang keakraban dan persahabatan rakyat Mesir dan Amerika Serikat. Mungkin di sinilah tragisnya ”high-politics” (politik tingkat tinggi) yang penuh dengan kamuflase, seakan persahabatan antar Kepala Negara AS-Mesir-Israel otomatis pula merupakan lambang persahabatan ketiga rakyat mereka.
Ketakutan terhadap Ikhwanul Muslimin
Baik Obama maupun Israel sangat khawatir bahwa peralihan kekuasaan dalam revolusi Mesir akan jatuh ketangan kelompok Ikhwanul Muslimin yang dicap sebagai ”Islam Fundamentalists” dan selalu dikategorikan sebagai ekstrimis atau teroris. Memang di beberapa negara bentuk-bentuk Ikhwanul Muslimin dapat bertukar bendera seperti di Palestina, Ikhwanul Muslimin muncul sebagai kelompok Hamas yang berseberangan dengan Fatah dalam menghadapi Israel. Bahkan oleh Barat juga ditengarai sebagai barisan Alqaeda.
Kalau Ihkwanul Muslimin mengambilalih kekuasaan di Mesir pasca Mubarak, maka akan berakhirlah peran Barat dan Israel dalam proses perdamaian di Timur Tengah. Apalagi kedudukan Mesir sebagai negara terkemuka di kawasan itu, belum dapat digantikan oleh negara manapun di kawasan Timur Tengah sampai saat ini. Sebab itu, Obama telah berani mengambil risiko untuk menempatkan diri seolah tetap sebagai ”induk semang” Mesir yang akan terus mengayomi kehidupan demokrasi rakyat seribu piramida ini.
Obama tetap menghimbau bahkan memuji rakyat Mesir yang sedang bertahan dan siap menyerbu istana Mubarak. Memang suatu keajaiban dalam revolusi Mesir terjadi, pada minggu terakhir revolusi Mesir. Temperamen demo orang Mesir secara massif berubah. Tidak seperti biasanya orang Arab, apabila sedang marah, mereka akan kehilangan kontrol, seperti harimau yang terluka mengamuk kesana kemari dan menciderai semua orang yang ditemuinya.
Tetapi, temperamen seperti itu tidak kita temui pada hari-hari terakhir di Lapangan Tahrir dan di tempat demo lainnya. Pemuda dan pemudi Mesir masuk dalam kerumuman massa demo, dengan menari dan menyanyi bahkan membawa bola (soccer), bendera Mesir, bunga dan rokok sigaret. Sambil menari dan menyanyi mereka menyisipkan bunga dan rokok sigaret ke dada para tentara yang sedang menyandang senjata terhunus. Ada yang merangkak memanjat tank baja Abrams yang terpakir di setiap sudut dan simpang Lapangan Tahrir, seperti sosok bangunan hantu yang menakutkan.
Suasana inilah yang turut menggetarkan hati Obama dari Washington. Secara spontan dia memuji rakyat Mesir yang tetap disebutnya sebagai ”sekutu” Amerika, yang percaya terhadap kemerdekaan kodrati manusia, ”who believe in the inevitability of human freedom,” bahwa kemerdekaan itu melekat secara alamiah pada diri manusia.
Obama bahkan terharu dan kagum betapa mulusnya suksesi pada hari-hari terakhir kekuasaan tiran tiga dekade di negeri Firaun itu, dengan mengatakan ”the passion and the dignity that has been demontrated by the people of Egyp” (Cinta dan Martabat yang tinggi telah didemonstrasikan oleh rakyat Mesir). Ternyata, kualitas kemanusiaan rakyat Mesir yang mempesona Obama itu telah menyelamatkan revolusi Mesir, sesuatu yang ditengarai sebagai warisan peradapan tinggi yang telah mengalir dari buyut mereka (Time, 14 Februari 2011).
Tentera Mesir penyelamat
Rayat Mesir telah bergumul dalam berbagai aliran politik, dari Islam Radikal ke Marxis, kemudian ke Arab Nasionalis dan ke Politik Liberal. Di akhir tahun 1950 rejim militer telah mengekang keseluruhan aktivitas politik rakyat mereka. Semua partai politik dibubarkan, seluruh surat kabar dibredel, memenjarakan bahkan menggantung para politisi (Ikhwanul), menutup mulut para ahli hukum dan mengibiri para intelektual.
Pergumulan dalam politik ini telah menghasilkan para jenderal dan perwira militer yang beragam pula. Mubarak dan Omar Sulaiman (Presiden dan Wakil Presiden Mesir terakhir) umpamanya adalah tentera didikan Uni Soviet, dengan doktrin Marxisme. Sedang generasi muda para perwira militer Mesir sekarang ini sebagian besar adalah didikan Amerika Serikat, yang mendapatkan doktrin bahwa di samping keahlian militer, juga dididik bagaimana membina hubungan baik antara tentara dengan rakyat.
Bill Daley (2011), Kepala staf Gedung Putih menyatakan bahwa perwira-perwira muda Mesir jebolan Amerika Serikat dewasa ini, tidak hanya menjadi pasukan penghancur musuh. Tetapi juga pembela rakyat. Dan ini menurutnya adalah nilai plus didikan Amerika. Ternyata nilai plus ini banyak berperan dalam memenangkan revolusi Mesir kemaren itu. Kesatuan yang terjelma antara rakyat dengan tentera merupakan faktor penentu kejatuhan Mubarak.
Obama, pada hari-hari terkhir itu, memang berada dalam situasi yang tragis. Mubarak dan Omar yang harus ”diselamatkannya” adalah opsir lulusan Uni Soviet, sedang tentera Mesir yang menggulingkan Mubarak dan Omar dipimpin para perwira didikan dan lulusan Amerika Serikat. Obama seyogianya harus bersahabat dengan siapa? Di situlah tragisnya! *****(waspadamedan)
( Prof Usman Pelly, PhD : Penulis adalah Antropolog, Unimed Medan )