Setelah melewati perdebatan panjang yang alot, akhirnya pasukan koalisi yang dipimpin AS, perancis dan Inggris menyerahkan komando operasi militer pasukan koalisi internasional di Libya ke Organisasi Pakta Pertahanan Militer Atlantik Utara (NATO).
Sekjen NATO Andres Fogh Rasmussen kemarin (Kamis, 24/3) mengungkapkan, "Anggota NATO telah mencapai kesapakatan soal implementasi zona larangan terbang di Libya untuk melindungi warga sipil".
Dengan demikian, ini merupakan pengalaman perang NATO yang ketiga setelah sebelumnya di Balkan dan Afghanistan. Kenyataan ini juga kian menegaskan posisi aliansi militer Barat tersebut sebagai polisi dunia dan eksekutor keputusan Dewan Keamanan PBB. Pakta militer yang terbentuk pada masa-masa awal perang dingin ini awalnya ditubuhkan untuk melindungi Eropa dari munculnya kembali kekuatan nazisme Jerman dan cengkraman komunisme blok Timur. Karena itu banyak yang berpendapat bahwa keberadaan NATO saat ini sudah tidak relevan lagi dengan filosofi pembentukan pakta tersebut dan mesti dibubarkan sebagaimana rivalnya terdahulu, Pakta Warsawa.
Namun belakangan AS berusaha kuat mempertahankan eksistensi militernya di Eropa dengan tetap membiarkan NATO terus bercokol dengan cara menggariskan misi-misi baru bagi aliansi militer Barat itu. Tak heran jika kini tanggung jawab perlindungan terhadap warga sipil Libya dan implementasi Resolusi 1973 soal penetapan zona larangan terbang di Libya dibebankan pada NATO.
Tentu saja penyerahan tanggung jawab itu kepada NATO tidak mulus begitu saja diputuskan. Sebagai misal, Jerman selaku anggota kunci NATO dan anggota tidak tetap DK PBB menolak pengesahan Resolusi 1973. Begitu juga dengan Turki. Satu-satunya negara muslim anggota NATO ini pun menentang keras penggunaan opsi militer atas Libya. Bersamaan dengan itu, gelombang protes di dalam negeri AS terhadap kebijakan militeristik Barack Obama juga kian mencuat. Rangkaian reaksi tersebut akhirnya memaksa Gedung Putih untuk memangkas dominasi peran AS dalam operasi militer di Libya. Tentu saja konsekuensi dari keputusan Washington itu akan memberikan porsi yang lebih besar bagi Eropa untuk menanggung ongkos operasi militer di Libya.
Di sisi lain, beban baru yang diemban NATO kali ini pun tentu tidak bisa dianggap murah. Apalagi NATO saat ini harus menghidupi 140 ribu pasukannya yang ditugaskan di Afghanistan. Parahnya lagi, selama satu dekade belakangan ini, sudah lebih dari 2500 tentara NATO tewas sia-sia dalam misi militer di Afghanistan. Sepanjang kurun waktu itu pula sudah banyak pemerintahan negara-negara Eropa yang berjatuhan lantaran tak mampu menahan beban ongkos perang dan dampak krisis ekonomi yang ditimbulkannya.
Karenanya, tanpa iming-iming imbalan minyak dan gas Libya, mustahil rasanya Eropa sudi begitu saja membuka lahan perang baru di Afrika Utara. Asal tahu saja, biaya operasi militer NATO di Libya selama beberapa bulan ke depan diramalkan bakal melampaui angka satu miliar dolar. Tentu ini terbilang ongkos mahal bagi Eropa yang kini masih kesulitan bangkit dari krisis ekonomi. (irib)